Caption foto : Mapala dan pegiat alam bebas se-Semarang Raya nonton bareng, bedah film Gie, dan diskusi dalam kegiatan refleksi peringatan hari Sumpah Pemuda. (WARTAPALA INDONESIA / PKD Mapala Jawa Tengah).
WartapalaIndonesia.com, SEMARANG – Memperingati Sumpah Pemuda ke-96, PKD Mapala se-Jawa Tengah mengadakan kegiatan nonton bareng, bedah film, dan diskusi di halaman depan wall climbing Aldakawanaseta Mapala Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Pada Selasa, 29 Oktober 2024.
Kegiatan dibuka oleh Likat dari Kamapala Upgris sebagai MC pada pukul 20.00 WIB. Film yang ditonton adalah film berjudul Gie (2005) karya Riri Riza.
Menurut Koordinator PKD Mapala Jateng Tupai, Film tersebut dipilih sebagai bahan diskusi dan upaya merefleksikan pemuda hari ini soal nilai-nilai dan peran pemuda, khususnya mahasiswa dalam sosok Soe Hok Gie (Mapala UI) dalam film.
Sementara Tiara saat membuka acara menerangkan, bicara soal pemuda dan patriotisme, mengutip apa yang dinyatakan oleh Gie, bahwa (Mapala) mereka adalah sekelompok yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil.
“Mereka percaya dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia lebih dekat, barulah seseorang dapat menjadi patriot yang baik. Itulah sebabnya kenapa saya mendaki gunung”, jelas Tiara.
Setelah pembukaan, acara diawali dengan nonton bareng, kemudian dilanjutkan bedah film disertai diskusi yang dimoderatori oleh Tupai dari PKD Mapala se-Jateng.
Pada pukul 23.30 WIB, kegiatan ditutup dengan pembacaan puisi berjudul “Manusia” oleh Ateng dari Mahapawha Unwahas.
Diskusi dan bedah film berlangsung khidmat, dihadiri Mapala se-Semarang Raya dan beberapa pegiat alam bebas. Audience aktif berbagi informasi dan berdiskusi banyak hal, dimulai dengan persoalan pemuda dan perannya sebagai Mapala, latar dan tokoh dalam film, kerusakan lingkungan saat ini, hingga proses demokrasi yang seharusnya Mapala sangat perlu berada di sana untuk menyuarakan hak-hak atas lingkungan hidup, tempat mereka berkegiatan.
Sebelum kegiatan ditutup dengan puisi, Walang dari tuan rumah Mapala Aldakawanesata Udinus yang dirasa mewakili keresahan Mapala saat ini membacakan sebuah catatan dan kesimpulannya sebagai refleksi dan renungan. Berikut catatanya :
Apakah Mapala yang sekarang sudah pada jalannya? Apakah ini sudah jalan yang benar dan tidak melenceng dari asal muasal kenapa Mapala di bentuk dan untuk apa mapala pada saat itu?
Mapala sekarang sedang krisis, apakah dikarenakan sudah melenceng dari tujuan di ciptakannya? Apakah ini bisa dijadikan alasan untuk menjawab pertanyaan untuk krisis itu?
Mapala didirikan dari seorang patriot yang memperjuangkan keadilan, dan apakah kita orang-orang yang sekarang membawa nama itu sudah seperti itu?
Apakah ini semua dikarenakan Mapala yang sudah salah jalan atau apa jawaban yang tepat?
Para pemuda khususnya di Mapala, apakah kita sebagai Mapala hanya mau memberikan solusi akhir dari sebuah bencana? Apakah kita tidak punya cukup nyali untuk melawan semua penyebab bencana itu?
Dalam artian yang lain orang Mapala adalah kumpulan orang-orang yang tidak mewakili siapa pun selain warga dan juga rakyat Indonesia pada saat itu. Mengutip dari apa yang dinyatakan pencetus Mapala itu sendiri, “Mapala itu tempat untuk bersenang-senang, wadah diskusi dan belajar, tapi jangan lupa, sesekali juga kita harus menghantam pemerintah’, begitu kata Soe Hok Gie.
Artinya, jiwa pejuang harus ada dalam diri kita, sedangkan Mapala yang sekarang hadir hanya untuk meneruskan hidup dan juga disibukkan dengan kegiatan yang banyak, yaitu solusi akhir dari bencana. Intinya kita tidak boleh menerima hidup, seakan pasrah.
Aku tak mau menjadi pohon bambu, aku mau menjadi pohon oak yang berani menentang angin.
Bukankah kita Mapala yang sekarang hanya penerus dan meneruskan apa yang sudah ada? Mau berubah pun sudah susah dan harus susah lagi menentang pemikiran melintas zaman.
Bagaimana kita mau mengurus negara dan alam kita, jika kita hanya sibuk mengurus Mapala kita dan keberlangsungan hidup Mapala kita?
Aku lebih pilih di asingkan daripada tunduk pada kemunafikan.
“Jangan mengharapkan orang-orang dalam Mapala itu berubah sedangkan Mapala itu sendiri tidak kamu ubah. Entah itu orang atau sistem turun temurun yang dilawan, dan daripada itu semua adalah mencakup banyak hal, ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” kata Walang mengakhiri catatan yang dibacanya. (rs).
Kontributor || Rizki Mubarok, Mawapala UIN Walisongo Semarang
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)