Caption foto : Ketua Basecamp Gunung Kembang Wonosobo, Iwan Santoso, narasumber Indonesia Mountain Tourism Conference 2024. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar Stone).
Wartapalaindonesia.com, FEATURE – Menjaga agar sampah tidak bertambah di jalur pendakian, dan memunguti sampah yang sudah terlanjur bertebaran di sana, sehingga gunung menjadi bebas dari sampah – istilah kekiniannya zero waste mountain – sungguh tidak mudah.
Bagimana “jalan mendaki” Iwan Santoso dan teman-temannya menerapkan zero waste mountain di Gunung Kembang via Blembem?
Berikut bagian kedua dari sepenggal kisah yang disampaikan Iwan saat tampil sebagai narasumber Indonesia Mountain Tourism Conference 2024. Selamat membaca.
Siap Dimusuhi Pihak Lain
Saya mengkampanyekan gunung harus bersih prosesnya lama. Tetapi yang paling urgent dan yang paling kami harapkan adalah minta tolong teman-eman yang banyak link (jaringan, red) mau membantu kami menerapkan regulasi yang sudah dibangun senior-senior kita, yaitu SNI tentang pengelolaan gunung.
Menurut saya, regulasi itu bagus. Tetapi kenapa tidak bisa dijalankan? Jadi itu harapan kami, semoga saja ini bisa segera terealisasi, dan kami bisa punya saudara lebih banyak lagi untuk membangun gunung-gunung menjadi lebih baik.
Makanya kami berharap kepada pengelola-pengelola gunung dan pelaku wisata, ayolah kita bersama-sama berkolaborasi yang baik.
Mengajak pihak lain berkolaborasi menerapkan aturan pengelolaan gunung seperti yang sudah kami terapkan, memang tidak mudah. Malah ada yang merasa gengsi menerapkan aturan seperti ini.
Mereka malu karena merasa lebih dulu mengelola gunung dibanding kami. Mereka merasa senior.
Padahal kita sebenarnya tidak usah merasa malu menerapkan sesuatu yang baik. Kami di Basecamp Gunung kembang saja tidak malu belajar dari pengelola gunung lain. Termasuk meniru list barang bawaan pendaki yang dibuat pengelola gunung lain.
Contoh, kami dengan tetangga sebelah saja, masih ada problem. Di Lengkong (jalur lain pendakian ke Gunung Kembang, red), banyak tamu yang datang dari open trip dan sebagainya. Mereka jarang masuk ke Basecamp Gunung Kembang, karena takut repot.
Kami sama sekali tidak masalah mereka masuk di jalur sebelah (Lengkong, red). Cuma yang bikin repot, pengelola yang di Lengkong tidak menerapkan aturan seperti di tempat kami (Blembem)
Kebetulan view yang bagus dari Blemben. Ini yang kemudian membuat pendaki dari Lengkong masuk dan nge-camp di area kami, Blemben. Kadangkala teman-teman dari Basecamp Gunung kembang menemukan sampah area ini.
Sebenarnya nggak etis menyebut, “Ini area saya, itu area kamu”. Karena ini satu gunung dan kita sama-sama mengelolanya. Kesannya mengkotak-kotakkan dan memunculkan permusuhan.
Kami tak ingin muncul situasi seperti itu. Tetapi harus juga disadari, akibatnya teman-teman di Basecamp Gunung Kembang jadi tambah repot. Mereka sudah repot mengecek sampah di basecamp, kemudian harus repot lagi mungutin sampah yang dibawa pendaki dari Lengkong.
Masalah ini sudah kita obrolkan dengan pengelola Lengkong. Tetapi tidak berpengaruh juga.
Nah, ini contoh kecil bahwa harus ada pihak yang punya kewenangan khusus untuk mengingatkan.
Kalau kami yang langsung mengingatkan, kami justru dianggap iri. “Situ iri karena kamu repot, kami tidak repot. Kamu sepi, kami ramai”.
Jadi, kalau aturan tidak diterapkan, maka yang ramai tetap ramai. Yang sepi tetap sepi.
Itu pun kami yang sepi masih dimusuhi, karena dianggap bikin repot kalau nanti regulasi pengelolaan gunung diterapkan.
Padaha tujuan kami, agar wisatawan yang datang merasa aman. Jangan sampai wisata justru dibodohi. Sudah bayar tetapi tidak mendapat imbal balik apapun.
Kalau kami tidak berani menerapkan aturan, keinginan kita semua agar gunung menjadi bersih, tidak akan terealisasi.
Kami harus berani, walaupun risikonya dimusuhi dari sana-sini untuk sementara waktu.
Tetapi bagi kami, itu tidak apa-apa. Kalau kami sudah bisa tunjukkan hasilnya seperti ini, mungkin pihak lain yang nggak suka sama kami, akan sadar, “Oh, ternyata kalau gunungnya bersih, pendakinya aman, pengelolanya nyaman karena tidak harus evakuasi dan sebagainya”.
Sampah yang Bisa Terurai Jangan Dibuang Sembarangan
Di Basecamp Gunung Kembang, kami tidak bicara tentang sampah “terurai” dan” tidak terurai”. Kami hanya bicaranya tentang “bersih” dan “kotor”. Itu saja.
Ada teman-teman pengelola gunung lain yang menerapkan sistem sampah terurai dan tidak terurai. Yang terurai artinya bisa dibuang sembarangan. Padahal yang terurai dibuang sembarang, risikonya besar.
Memang ada yang mengatakan, “Sampah yang terurai itu akan menjadi pupuk”. Ini benar. Tetapi proses penguraiannya sangat lama.
Contohnya, Anda membuang kulit pisang di puncak gunung. Anda turun dan sudah sampai di bawah, kulit pisang tadi belum terurai. Masih butuh waktu sekitar 2 bulan.
Lagipula 1 kulit pisang itu, bisa memancing yang lain. Orang yang bawa kulit mangga, akhirnya ikut-ikutan membuangnya karena beranggapan bisa terurai. Lama kelamaan, sampah kulit buah menumpuk di gunung.
Kulit buah itu akhirnya memang jadi pupuk, tetapi prosesnya lama. Sebelum terurai, sampah-sampah itu sudah diberantakin babi hutan.
Babi hutan itu kemudian merambah ke dalam tenda-tenda pendaki. Rangsel dan semua perbekalan pendaki, akhirnya dirusak babi hutan yang tadinya tidak merambah ke gunung, tetapi karena banyak sampah kulit buah di gunung, babi hutan akhirnya merambah tenda-tenda. Ini sudah kami buktikan.
Dulu, awal-awal kami mengelola Gunung Kembang, tiap malam minggu tamu-tamu kita yang ke Gunung Kembang, tendanya dijebol babi hutan. Logistiknya hilang. Bahkan hingga sekarang, masih ada 7 karier tamu kami yang belum ketemu karena dibawa lari babi hutan.
Kami sudah pakai racun babi. Hasilnya hanya 1 sampai 2 ekor babi yang mati. Kami juga pernah sewa pemburu babi. Hasilnya selama 3 hari, cuma 1-2 ekor babi yang didapat.
Kami pernah membuat jerat babi. Jerat sepanjang 200 meter, kami pasang di daerah puncak. Jerat kami pasang sore, paginya kami cek. Hasilnya ada 8 ekor babi yang tertangkap.
Ternyata kami yang cuma 3 orang, justru repot dengan hasil jerat sebanyak itu. Babinya mau kami bawa ke bawah, berat. Dilepas, nanti ngerusak lagi. Dibunuh, nanti bangkainya busuk dan membuat lingkungan tidak sehat.
Ternyata serangan babi hutan di Gunung Kembang, dapat kami atasi dengan menerapkan gunung bersih.
Alhamdulillah sampai sekarang babi hutannya masih ada di sana, karena di sana memang habitatnya, memang tempat tinggalnya. Tetapi babi hutan itu tak lagi mengganggu pendaki yang naik ke Gunung Kembang.
Perlu Dukungan Pemerintah
Sekali lagi mengajak orang berkolaborasi menjadikan gunung bersih dari sampah, tidak mudah. Meski kami siap ambil risiko dimusuhi pihak lain, tetapi saya pribadi dan teman-teman khususnya pengelola basecamp, tetap butuh support dari pihak terkait di pemerintahan. Atau bagian yang khusus punya wewenang di bidang ini.
Kalau bisa, standar SNI yang yang sudah dirancang, mohon di-support. Kalau bisa untuk diterapkan di seluruh gunung di Indonesia.
Kalau yang punya kekuasaan sudah memerintah, saya pikir tidak akan ada yang susah. Kita orang pinggiran aja bisa. Apalagi pemerintah yang saya yakin orangnya cerdas-cerdas. (Selesai)
Note :
Indonesia Mountain Tourism Conference 2024. Diselenggarakan Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Events) c.q. Direktorat Wisata Minat Khusus bekerja sama dengan Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI).
Kontributor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Editor || Nindya Seva Kusmaningsih, WI 160009
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)