Talkshow Wartapala Bersama Djukardi “Bongkeng” Adriana : Pendakian Sekarang Sudah Amburadul

Caption foto : Flyer Talkshow Wartapala. (WARTAPALA INDONESIA / Dala Aria).

WartapalaIndonesia.com, PERSPEKTIF – Djukardi Adriana nama lengkapnya. Pria kelahiran Bandung ini, akrab disapa kang Bongkeng – sebagian menyapanya om bongkeng dan abah Bongkeng.

Terhadapnya semua sapaan itu kang Bongkeng tidak pernah mempermasalahkannya. Baik yang menyapa diawali dengan kang, om atau abah, semua dilayaninya dengan ramah.

Dari 3 sapaan itu, terlihat jika lelaki berperawakan biasa yang di tahun 1989-1990 melakukan Ekspedisi Pendakian Puncak tertinggi di 5 Negara Eropa Barat, usianya tak lagi muda.

Usia kang bongkeng memang 74 tahun lebih. Tetapi seperti pepatah generasi old, “Tidak ada kaitan usia dengan aktifitas. Usia hanyalah angka di KTP”. Kang Bongkeng sepertinya tergolong penganut pepatah yang kalau dipikir-pikir, ada juga benarnya.

Kang Bongkeng mengawali “karier” alam bebasnya tahun 1973, yakni tatakala mengikuti pendidikan Dasar Wanadri. Usai Diksar, kang Bongkeng muda langsung berkiprah sampai hari ini.

Kalau menggunakan rumus sederhana matematika 1973 dikurangi 2024, berarti sudah 51 tahun kang Bongkeng berkiprah di kegiatan alam bebas.

Setengah abad lebih berkiprah, sungguh hanya orang konsisten yang sanggup menapakinya.

Lantas, apa yang membuat kang Bongkeng “kerasan” di dunia alam bebas?

Pertanyaan itu kerap mendatangi kang Bongkeng, termasuk tatkala menjadi narasumber tunggal acara Talkshow Wartapala, Selasa, 25 Juni 2024.

Talkshow yang disiarkan secara daring tersebut, diikuti oleh pecinta alam dari berbagai daerah. Diikuti pula oleh beberapa orang pecinta alam dari negara Timor Leste.

Tulisan berikut adalah resume talkshow Wartapala. Disajikan dalam bentuk pertanyaan pemandu acara dan peserta talkshow, serta jawaban kang Bongkeng. Kemudian sudut pandang beberapa peserta. Selamat membaca.

Perbedaan pendaki Zaman dulu dengan sekarang?

Berbicara pendakian di era saya hingga era sekarang, saya lihat ada pergeseran.

Tidak seperti dulu saat melakukan suatu pendakian, di mana saya mendaki gedung di tahun 1970-an, mulai dari sana saya mulai berpetualang.

Jadi kalau saya lihat sekarang, kegiatan ini sudah sangat bergeser. Kegiatan ini menurut saya adalah petualangan. Sekarang sudah menjadi wisata.

Mungkin mereka bisa petualangan juga. Tetapi petualangannya sudah sangat berkurang.

Di situasi pergeseran itu, apakah dibutuhkan media seperti Wartapala sebagai salah satu media kepecintaalaman?

Sebetulnya sangat tepat. Dulu saya juga bikin buletin Wanadri. Kemudian ke majalah panjat tebing. Di luar negeri juga banyak buletin dan media kegiatan alam bebas.

Media seperti itu perlu, karena terus berkembangnya kegiatan juga dari sana.

Tujuan dari media itu adalah membawa misi tertentu, yaitu memberikan edukasi ke pecinta alam.

Kegiatan pendakian sekarang sudah amburadul. Mana pendaki gunung, mana pecinta alam, sekarang sudah tidak jelas lagi. Situasi amburadul ini timbul akibat munculnya media dan film yang tidak mengedukasi.

Gara-gara film itu kegiatan pendakian jadi ramai. Tetapi mereka tidak berbekal dengan wawasan dan teknik hidup di alam terbuka.

Dengan adanya media seperti Wartapala mudah-mudahan bisa mengimbangi kegiatan yang sudah terlanjur kita tonton sebelum ini.

Siapa tahu dengan membaca media Wartapala ini, akhirnya orang tahu bahwa mendaki gunung kegiatan yang mengandung risiko.

Dulu zamannya saya mendaki gunung, kalau tidak terlalu menguasai tentang teknis kegiatan alam bebas, banyak yang kemudian hilang, tersesat dan sebagainya.

Nah, kalau sekarang, tidak tersesat pun banyak yang sampai meninggal.

Itu terjadi karena mereka tidak tahu membawa apa ke gunung. Harus membawa perbekalan seperti apa ke gunung dan lain sebagainya.

Jadi karena sekarang itu melihat tren saja. Bahkan perlengkapan juga jadi barang bergengsi.

Mereka membelinya mahal, tetapi kegunaannya dia malah tidak tahu.

Kalau Wartapala sebagai media pecinta alam untuk bercerita, tentu cerita yang diangkat haruslah cerita yang mengedukasi.

Karena sekarang banyak juga yang bercerita, tapi tidak mengedukasi. Seperti di Tiktok.

Mereka cuma joget Tiktok gitu. Gambarnya itu sebetulnya bercerita tapi masih sebatas selfie, lalu ini apa gunanya?

Makanya saya mohon, membuat Tiktok itu yang mengedukasi.

Tapi dari mana mereka bisa memulai membuat tayangan Tiktok yang mengedukasi? Nah mungkin dari yang disampaikan Wartapala.

Secara organisasi, apakah kang Bongkeng pecinta alam?

Oke, sebetulnya kalau secara organisasi saya bukan pencinta alam.  Tetapi penempuh rimba dan pendaki gunung. Dari kegiatan ini kemudian saya mencintai alam.

Saya anggota Wanadri, organisasi penempuh rimba dan pendaki gunung yang lahir tahun 1964 di Bandung. Nah, ini sebetulnya sama saja dengan Mapala.

Dari dulu saya memang menggeluti kegiatan ini, dengan dengan cita-cita ingin mengembangkan kegiatan ini melalui pendakian yang saya lakukan.

Dulu bayangan orang, “buat apa mendaki gunung? Itu khan capek banget”.

Ketika saya bertemu dengan mereka, rupanya mereka tidak tahu kalau melakukan kegiatan ini banyak hikmahnya. Banyak banget pengetahuan yang kita dapat dari alam.

Nah, itu makna kenapa kita mencintai alam, karena sebetulnya ketika di alam atau mendaki gunung, bisa membentuk karakter kita. Termasuk membuat kita tahan banting dalam kehidupan sehari hari.

Dari mencintai alam, kemudian saya hidup dari kegiatan ini.

Kang Bongkeng pernah kuliah?

Dulu saya kuliah. Tetapi saat kuliah, saya sering bermain ke gunung dan air. Saya akhirnya DO.

Tetapi dengan begitu saya justru memutuskan, saya harus bisa hidup dari kegiatan ini.  Akhirnya sekarang jadi kenyataan.

Sekarang kegiatan alam bebas di Indonesia sudah berkembang, dan juga sudah bermunculan orang yang membuat produk untuk kegiatan naik gunung.

Mungkin itulah yang menjadi garis kehidupan. Kegiatan dan pengalaman bisa dijadikan untuk tumpuan hidup.

Dari sekian banyak ekspedisi, yang mana ekpedisi paling berkesan?

Sebetulnya semua ekspedisi berkesan. Tapi kalau yang paling berkesan, belum saya temukan karena saya masih melakukan.

Siapa tahu kalau besok saya pergi ke mana, misalnya yang belum saya datangi di 7 benua. Saya baru 4 benua. Selanjutnya mungkin yang 3 benua lagi.

Siapa tahu di sana saya baru mendapatkan ekspedisi yang paling berkesan.

Berarti masih mengejar Seven Summits?

Tidak juga.  Saya sebetulnya tidak bermimpi untuk mencari itu, tapi siapa tahu kesempatan itu datang.

Karena selama ini, untuk masalah kegiatan saya tidak mengejar mimpi. Saya tidak menjadwalkan. Bagimana jodohnya saja. Bisa saja saya mendapatkan keinginan dan dana. Kalau seperti ini kemana pun pasti saya satroni.

Catoer Choos. Pembina OPA se-Magelang Raya : Adakah korelasi antara pecinta alam dan pendaki gunung? Haruskah seorang pendaki gunung itu seorang pecinta alam? Ataukah seorang pecinta alam itu tidak harus mendaki gunung?

Sebetulnya pecinta alam itu identik dengan pendaki gunung. Tetapi pendaki gunung belum tentu pecinta alam.

Tiap liburan orang ramai memadati gunung.  Puncak gunung khususnya jadi kotor karena sampah.

Dari sekian ratus orang yang ada di puncak gunung berapa banyak yang pecinta alam?

Nah, itu jelas sekali karena mereka tidak berwawasan dan berpengetahuan tentang masalah konservasi dan lingkungan.

Sebetulnya pecinta alam tidak harus mendaki gunung.

Kalau di luar negeri kelompok cinta alam itu punya spesialisasi. Kalau di luar negeri mereka itu yang namanya pencinta, kebanyakan justru para peneliti.

Mereka tidak naik gunung, tapi mereka meneliti di misalnya di kawasan pegunungan atau hutan-hutan di daerah gunung tersebut.

Amir Fauzi. Bandung : Kenapa kang Bongkeng masih eksis sampai sekarang, apa rahasianya?

Kenapa saya masih eksis, karena mungkin itu “hutang” saya.

Dulu saya mengawali kegiatan, saat minat orang mendaki masih minim. Artinya orang tidak mau pergi untuk mendaki gunung.

Saat itu gunung masih asri. Alam masih mempesona.

Meski di jaman itu kegiatan mendaki sepi peminat, saya mencoba mengajak orang mendaki gunung.

Alam banyak memberikan mafaat buat hidup kita. Alam juga termasuk guru kita,

Saya ingin suatu saat, orang berbondong bondong mendaki gunung karena kegiatan ini memberikan manfaat buat dirinya.

Sekarang, sudah sangat jelas terlihat, bagaikan jamur di musim hujan, para pendaki bermunculan memadati gunung-gunung di setiap minggu.

Melihat situasi itu, saya justru sangat prihatin. Ternyata dengan banyaknya yang menyenangi kegiatan ini, gunung malah kotor karena jadi tempat buang sampah.

Nah ini, saya sangat perihatin melihat kondisi alam sekarang.

Yang saya alami — dan kemungkinan besar dialami pula kalau orang ke gunung — akan mendapatkan manfaat dan keindahan isi alam yang memberikan sesuatu terhadap kita. Yaitu pengetahuan atau mungkin pengalaman pribadi buat diri sendiri.

Saya mendaki gunung bukan untuk melakukan penaklukan alam. Tetapi saya mendaki gunung, untuk menaklukkan diri sendiri

Saya merasa harus mengembalikan alam itu bersih kembali.

Orang yang mendaki gunung harus kita sadarkan, kalau alam rusak atau dirusak dan gunung orang sembarangan membuang sampah, maka kegiatan mendaki gunung itu tidak akan ada manfaatnya lagi.

Jadi, saya merasa gelisah sekaligus berpikir, dengan ramainya orang ke gunung, bagaimana caranya mengajak mereka untuk bersihkan sampah. Alam pegunungan yang rusak, kita perbaiki.

Lalu berbaur dengan alam dengan segala kondisi alam yang utuh dan lestari. Ini akan baik untuk kita semua.

Thon Cheng Mapala UMY. Tinggal di IKN : Apakah sudah terjadi pergeseran bagaimana kegiatan di alam bebas atau pecinta alam ini.  Selain hobi bisa dijadikan sebuah profesi yang menjanjikan?

Kalau era tahun70 sampai 90 an kegiatan kegiatan pembinaan lapangan dan di akhir ditandai dengan status keanggotaan dan simbol organisasi sebagai tanda kelulusan dari pendidikan dasar itu sehingga dianggap layak untuk berkegiatan di alam terbuka.

Nah, menjelang era 2000-an pola itu berubah. Membentuk komunitas, tanpa harus mengikuti pendidikan dasar kepecintaalaman, seseorang lebih mudah ikut berkegiatan di alam terbuka.

Sekarang bahkan tanpa mengikuti komunitas sekalipun. Hanya ikut open trip, seseorang sudah dapat melakukan pendakian.

Nah, itu pertanda booming-nya kegiatan di alam terbuka. Yang dilakukan oleh newbie ini adalah dokumentasi yang dihasilkan bagus-bagus sekali malah dan beredar luas di media sosial.

Tapi simbol simbol organisasi pecinta alam mulai pudar, tidak terlihat lagi. Karena lebih menunjukkan eksistensi para pendaki (newbie) itu.

 

Sudut Pandang Beberapa Peserta Talkshow

Risna Pranandari. Arcadian UIN Jakarta. Domisili Bandung.
Sulit mengedukasi adik-adik kita generasi sekarang, khususnya yang tidak terlibat dalam Mapala, Sispala atau komunitas komunitas pecinta alam yang lain.

Mereka merasa wah, dengan berbagai gaya arogansinya, “Ini kami pendaki nih”.

Sehingga merasa paling mengerti cara atau prosedur dalam berkegiatan alam bebas. Mereka enggan menerima masukan.

Teman-teman saya suka cerita, ketika adik adik itu diarahkan dan diajak diskusi saat mereka hendak ke gunung, mereka itu malah bilang “Ih ribet banget sih, orang kita yang mau naik gunung”, atau “Cerewet banget sih”.

Ahmad Syarofi. Mapalangit Biru. Cirebon.
Pendidikan dasar pecinta alam era sekarang harus berbeda dengan dulu. Kalau pendidikan dasar sekarang, harus tidak ada kekerasan.

Kalau masih ada kekerasan, mungkin teman-teman sudah mental duluan.

Thon Cheng Mapala UMY. Tinggal di IKN
Miris sekali saya melihat terjadi kekurangan anggota khususnya di Mapala karena ada regulasi yang mengatakan mahasiswa di-DO jika sekian semester tidak tamat kuliah.

Mirisnya juga, kita tidak bisa mengeluarkan sebuah pernyataan bersama untuk menyikapi regulasi itu. Atau mengajak kementerian terkait untuk membahas regulasi tersebut. (AS)

Kontributor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Editor || Nindya Seva Kusmaningsih, WI 160009

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.