Ekspedisi Mapala IMPA Akasia Jember ke Gunung Latimojong, Menguak Tradisi Pangewaran Desa Adat Kaluppini Enrekang

Pengantar redaksi : Tim Mapala IMPA Akasia Fakultas Hukum Universitas Jember, pada 19 hingga 29 Agustus 2023 melakukan pendakian ke Gunung Latimojong. Pendakian ini merupakan bagian dari rangkaian Ekspedisi Seven Summits of Indonesia Mapala IMPA Akasia. Selain mendaki Gunung Latimojong, anggota tim ekspedisi — Dinda Anggun Lestari/Oryza dan Sofyan Maulana Akbar/Raung — juga melakukan reportase tentang tradisi Pangewaran. Tradisi ini merupakan upacara ritual nenek moyang masyarakat Desa Adat Kaluppini. Berikut reportasenya.

WartapalaIndonesia.com, FEATURE – Gunung Latimojong terletak di Kabupaten Enrekang, merupakan bagian dari tujuh puncak tertinggi di Indonesia (Seven Summits of Indonesia).

Pegunungan yang berada di utara Provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki beberapa puncak. Titik tertinggi dari pegunungan ini dinamai Puncak Rante Mario dengan ketinggian 3.430 mdpl.

Rangkaian pegunungan ini bukan merupakan gunung berapi seperti gunung-gunung lain yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Wilayah dari pegunungan Latimojong dipenuhi oleh hutan tipe Montana di mana karakteristik dari hutan tipe ini adalah tumbuh di wilayah dengan ketinggian 2.000 hingga 3.000 meter dari permukaan laut.

Salah satu desa terakhir pendakian Gunung Latimojong adalah Desa Karangan yang merupakan titik awal, dan terdapat sebuah sungai berair jernih yang cukup besar bernama Salu Karangan.

Terdapat tujuh pos peristirahatan yang bisa digunakan para pendaki untuk beristirahat, atau mendirikan tenda sebelum mencapai Puncak Rante Mario.

Puncak Rante Mario. (WARTAPALA INDONESIA / Oryza & Raung)

Jalur pendakian Gunung Latimojong cukup menantang, berbeda dari gunung di Jawa yang sebagian besar medannya adalah tanah, kerikil bebatuan, dan sedikit akar. Medan jalur Gunung Latimojong dipenuhi akar pohon besar dan disepanjang jalurnya masih banyak lumut tebal yang menempel di setiap pohon. Di bawah kaki Gunung Latimojong terdapat sebuah tradisi yang masih kental adatnya. Salah satunya masyarakat adat Desa Adat Kaluppini.

Desa Kaluppini adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang yang masih menjunjung tinggi adat istiadat.

Masyarakat adat Kaluppini terdiri dari 5 Desa yaitu: Kaluppini, Rosoan, Tokkonan, Lembang dan Tobalu, sampai pada wilayah Gunung Nona (Buttu Kabobong).

Wilayah adat Kaluppini terdiri dari tanah, hutan adat, sungai, perkebunan, perbukitan dan lain-lain yang merupakan warisan dari leluhur masyarakat adat Kaluppini.

Meskipun sudah masuk di zaman modern, masyarakat Kaluppini masih sering melakukan upacara ritual dari nenek moyang mereka. Salah satu ritual yang dilakukan ialah ritual tradisi Pangewaran. Ritual pangewaran merupakan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat yang diberikan ke Desa Kaluppini.

Dahulu Desa Kaluppini adalah desa yang memiliki tanah subur dan kaya raya dengan kekayaan alam yang melimpah seperti pertanian, peternakan, dan perkebunan, pernah mencapai puncak kekayaan. Namun karena takabur dan penduduknya lupa bersyukur, akhirnya diberikan sebuah musibah berupa kekeringan dan kemiskinan.

Hingga suatu ketika ada 9 bersaudara, yang diketahui generasi To Manurun berkumpul untuk meminta doa agar diturunkannya hujan. Pengampunan atas kesalahan yang telah diperbuat, kesucian hati yang ikhlas, khusyuk, dalam sebuah penyampaian melebur jadi satu.

Permohonan mereka diijabah oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Lambat laun Desa Kaluppini dituruni hujan, mata air mulai mengalir, tumbuh-tumbuhan bertunas lagi di Desa Kaluppini, dan ritual itulah yang dinaman tradisi Pangewaran yang sampai saat ini masih dijalankan.

Ada beberapa tempat penting yang wajib dikunjungi saat tradisi Pangewaran berlansung, yakni makam Rung dan sumber mata air Aing Weing.

Makam Rung dipercaya sebagai makam dari Dajeng, seorang perempuan yang melahirkan 9 bersaudara dan di antaranya sebagai pendiri Kaluppini. Sedangkan sumber mata air Weing adalah mata air yang hanya keluar saat dibacakan mantra atau doa-doa di tradisi Pangewaran.

Situs Makam Rung. (WARTAPALA INDONESIA / Oryza & Raung)

Pada proses pelaksanaan tradisi Pangewaran, masyarakat yang ingin mengunjungi atau menghadiri tradisi tersebut, tidak diperbolehkan memakai pakaian kuning, dan bagi perempuan yang haid maupun suami istri yang tidak dalam keadaan suci.

Ada beberapa tahap pelaksanaan ritual Pangewaran yang akan berlangsung yaitu : Ma’pabangun Tanah (pembaharuan tanah), diadakan penyembelihan hewan berupa kerbau, sapi maupun ayam dan memanjatkan doa-doa khusus kepada Allah SWT.

Ma’jaga Bulan (menjaga bulan), artinya mendoakan keselamatan masyarakat Kaluppini dan semua manusia baik di dunia maupun di akhirat. Ma’peong di Bubun Nase (beras ketan yang dibakar menggunakan bambu di sekitar sumur Nase). Ma’jaga (menjaga seni seni tradisi Masyarakat Desa Kaluppini) tarian yang berisi syair dan doa-doa keselamatan, So’diang Gandang (menabuh gendang).

Ritual So’diang Gandang berarti pemukulan gendang sebagai tanda masuknya tokoh adat dan syariat ke dalam area pelaksanaan dan disusul dengan ke luarnya gendang dari dalam masjid. Seni tradisional Ma’gandang dan Mappadendang (memukul gendang dan menumbuk kesung), Massemba’ (menendang), yakni antraksi laga tradisional.

Mengunjungi Liang Wai sebagai sumur tempat pengambilan air dan mengunjungi Makam Rung, Parallu Nyawa (penyembelihan hewan) penyembelihan ayam, sapi dan kerbau untuk dimakan secara bersama, dan terakhir Massima’ Tanah (meminta kesuburan tanah).

Hari terakhir dari tradisi Pangewaran yaitu ditutup dengan ritual Massima’ Tanah di Bukit Palli. Bukit Palli adalah awal mula peradaban di Desa Kaluppini. Sebagai tanda penghormatan kepada leluhur.

Masyarakat Kaluppini memegang erat tradisi budayanya yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal.

Istilah “Kasih Turutan” sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Desa Kaluppini yang memiliki arti gotong royong, kebersamaan, dan kesetaraan. Kesadaran akan rasa memiliki, kecintaan, kepedulian dan kebersamaan untuk mempertahankan, merupakan perwujudan dari kegiatan ritual adat dan agama.

Masyarakat Kaluppini dapat merasakan efek positif dari tradisi Pangewaran. Efek positifnya adalah masyarakat dapat merasakan keramaian, kebersamaan serta dapat mempererat tali silaturahmi sesama manusia.

Masyarakat Kaluppini mempertahankan tradisi Pangewaran, juga tidak terlepas dari peran dan fungsi lembaga/pemangku adat Kaluppini yang sangat gigih untuk mempertahankan adat dan tradisinya.

Rumah adat Desa Kaluppini. (WARTAPALA INDONESIA / Oryza & Raung)

Selain dari itu, solidaritas masyarakat terlihat pada saat makan bersama dengan menggunakan daun jati yang sering disebut oleh masyarakat Kaluppini dengan sebutan Ma’balla dan masyarakat tidak diperbolehkan makan sebelum semuanya mendapat jatah makanan.

Dalam segi ekonomi, masyarakat Desa Kaluppini sangat loyal kepada pendatang yang menyaksikannya — dalam artian tidak ada yang mencari keuntungan pada ritual tersebut.

Dalam budaya Kaluppini, masyarakat Desa Kaluppini ketika ada tradisi Pangewaran tidak ada yang menjual sejenis makanan dan minuman. Bahkan rumah/tempat singgah bagi para pendatang pun terbuka lebar tanpa harus membayar sepeser pun.

Mereka terbuka terhadap orang yang menyaksikan Pangewaran, entah itu keluarga ataupun tidak. Nilai kasih turutan yang dijunjung tinggi itulah yang membuat masyarakat Desa Kaluppini senang berbagi sesamanya. (O &R)

Kontributor || Dinda Anggun Lestari (Oryza) & Sofyan Maulana Akbar (Raung)
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.