Tamparan Keras Buaya Berkalung Ban

Wartapalaindonesia.com, OPINI – Masyarakat dibuat geger dengan pemberitaan secara berseri terkait upaya penangkapan buaya berkalung ban di Teluk Palu Sulawesi Tengah oleh berbagai kalangan mulai dari kepolisian, komunitas pecinta satwa, BKSDA (balai Konservasi Sumberdaya Alam) hingga sang Panji Sang Petualang.

Upaya penangkapan heroik ini dilakukan untuk membebaskan ban sepeda motor yang sekian lama membelenggu lehernya. Dikhawatirkan seiring dengan pertumbuhan tubuh buaya, ini akan membahayakan kelangsungan hidupnya  dan juga pastinya mengganggu aktifitas alamiahnya.

Diduga buaya itu adalah jenis buaya muara (Crocodylus porosus) yang sesuai dengan PP Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa termasuk jenis satwa yang dilindungi.

Demikian juga menurut The IUCN Red List of Threatened Spesies, sebuah lembaga inventory tingkat dunia yang sangat komprehensif dalam melakukan inventory spesies tumbuhan dan satwa memasukkan spesies ini dalam kategori Least Concern. Reptil yang masuk dalam family crocodylidae ini menempati wilayah terestrial, air tawar, payau  dan laut.

Penyebarannya meliputi Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, Philippines, Vietnam, Papua New Guinea, Bangladesh, Cambodia, India, Palau, Kepulauan Solomon, Sri Lanka, Vanuatu dan Australia.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana bisa ban sepeda motor tersebut dapat membelenggu leher buaya?

Apapun analisis yang dilakukan, semuanya pasti sepakat bahwa itu terjadi karena kecerobohan penempatan/ membuang benda yang tak terpakai (sampah ban bekas) di wilayah tidak semestinya. P

adahal wilayah tersebut menjadi range aktivitas satwa liar yang tak sepantasnya sampah dibuang di tempat tersebut.

Hal ini tentunya menjadi tamparan keras dan show up  akan buruknya perilaku manusia terhadap lingkungan. Seakan-akan kejadian ini membelalakkan kepada dunia bahwa akibat ulah manusia yang serampangan mengakibatkan kejadian menghebohkan.

Ini menjadi penguat akan ungkapan Marten terkait kajian Human Ecology,  bahwasannya segala sesuatu di alam adalah saling berkaitan (nature is connected). Artinya,  semua kejadian di alam ini baik secara langsung ataupun tak langsung merupakan konsekuensi tindakan manusia.

Ini menjadi sebuah ironi, mengingat Indonesia dikenal kaya keanekaragaman hayati. Setidaknya terdapat 38.000 jenis tumbuhan dan 5.654 jenis satwa. Meski demikian ternyata banyak juga macam tumbuhan dan satwa yang terancam punah dan masuk dalam klasifikasi dilindungi.

Sedikitnya ada 221 jenis satwa terdiri atas 70 jenis satwa mamalia, 93 jenis aves, 31 jenis reptil, 20 jenis insecta dan  7 jenis pisces. Demikian juga ada 73 jenis tumbuhan yang dilindungi  terdiri atas 1 jenis anthoza, 14 jenis bivalvia, 14 jenis almae, 1 jenis raflesiaceae, 29 jenis orchidaceae, 1 jenis nephentes dan 13 jenis dipterocarpaceae.

Kondisi ini tentu perlu upaya konservasi yang tidak sekedar secara fisik-teknis biologi saja sebagaimana konsep environmentalis,  namun juga mencakup aspek sosial ekonomi dan budaya sebagaimana konsep green yang telah diakui luas dalam praktek konservasi.

Bagi penganut konsep green, memahami prinsip dasar konservasi perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek holistik, keberberlanjutan, keanekaragaman dan keseimbangan. Sehingga kesadaran dan peran serta masyarakat sangatlah besar selain lembaga pemerintah dan non-pemerintah.

Pada sisi lain,  upaya konservasi satwa tidak dapat dipisahkan dengan upaya konservasi habitatnya. Dalam tingkatannya, konservasi dapat dibagi menjadi mikro, mezo dan makro yang saling terkait dan berlanjut.

Tingkatan mikro meliputi dukungan masyarakat lokal dalam konservasi dan pemeliharaan nafkah masyarakat agar tidak mengganggu konservasi. Tingkatan mezo  menyangkut penyadaran masyarakat akan pentingnya konservasi serta edukasi masyarakat tentang bagaimana selayaknya melakukan konservasi.

Terakhir, tingkatan makro  meliputi dukungan politik, pengelolaan polusi, pencegahan dan penindakan perdagangan ilegal, pendanaan dan global agreement.

Bila kesemuanya itu mampu disadari dan dilakukan secara benar, konsisten dan kontinyu niscaya kejadian menghebohkan ini tidak akan pernah terjadi. Semoga tamparan keras buaya berkalung ban tidak akan terulang lagi di kemudian hari, di republik yang dikenal dengan karunia kekayaan keanekaraman hayati. SEMOGA.

Penulis : Ihsannudin (Peneliti Pemberdayaan Masyarakat dalam Konservasi, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan Jawa Timur & Kader Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI)

Editor : A. Phinandhita P.

Kirim Pers Release kegiatan / artikel / berita / opini / tulisan bebas beserta foto kegiatan organisasi / komunitas / perkumpulan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

Tentang Penulis :

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.