Oleh : Yat Lessie
Jana Buana – IMT
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Butuh usaha dan keberanian untuk menentukan definisi diri. Masih ingat, di tahun-tahun 70 – 90 an, sekian banyak koran, TV dan media massa lainnya, yang suka banget ngasih judul berita yang bikin jengkel. Di puncak gunung anu, terjadi kebakaran, yang diduga akibat sekelompok pecinta alam yang lupa mematikan api unggun. Lain lagi, kebakaran hutan akibat lupa membuang puntung rokok menyala. Lalu hutan yang mulai rusak karena terlalu sering dijelajahi. Tebing-tebing alam yang kotor karena coret-moret cat. Belum lagi jika ada yang tersesat dan mati di gunung, bikin repot semua orang saja.
Semuanya menunjuk pada ulah para pecinta alam. Bikin gerah memang. Jika kelompok pendaki gunung dan penempuh rimba, sudah jelas seperti apa. Lalu makhluk semacam apa sang pecinta alam ini?
Definisi Pecinta Alam
Hasil kesepakatan rapat pleno Kongres II tahun 2002, Forum Komunikasi Keluarga Besar Pecinta Alam Bandung Raya (FK KBPA BR) di Gunung Manglayang, setelah berdiskusi ketat selama 3 hari 3 malam, di komisi D, dari pagi sampai subuh. Lalu definisi pecinta alam itu keluar.
Sebuah tonggak baru, yang sekaligus mengisi celah antara kode etik dan kelompok pecinta alam.
Sebelumnya, hal ini bermasalah, karena kode etiknya sudah ada, namun pelakunya tak jelas. Mirip kode etik kedokteran, tapi dokternya siapa tidak tahu. Harus jelas dulu siapa itu dokter, yang pasti bukan terapis, bukan dukun, bukan orang pinter, bukan masseur dan lain-lain. Setelah jelas siapa dan bagaimana itu dokter, baru disusun kode etiknya.
Jika pun ada definisi, pasti bikinan orang lain. Menurut departemen kehutanan, pecinta alam adalah… Menurut departemen pendidikan dan kebudayaan, pencinta alam adalah… Menurut KBBI dan ahli Bahasa, pecinta alam adalah… Menurut anu…anu dan anu.
Mereka semua mencoba mendefinisikan apa itu pecinta alam, kecuali definisi dari para pegiatnya sendiri. Kita habis didefinisikan orang lain, yang jangan kata ngerti dan faham, bahkan kenal juga tidak.
Jadi munculah keanehan bin kegamangan. Orang lain sibuk mendefinisikan pecinta alam, namun yang didefinisikan cuma ketar ketir, plonga-plongo, cengengesan, ngangguk sana ngangguk sini persis burung beo… Uuuh cape deh!
Stop, rasanya kami para pecinta alam, bukan mahluk seperti semua gambaran di atas itu. Pecinta alam dituntut untuk lebih berani “keluar” seraya mendefinisikan siapa diri yang sesungguhnya. Intinya harus ada keberanian untuk menarik “benang merah”, mana pecinta alam dan yang bukan.
Harus ada pembeda yang jelas, antara pecinta alam, dengan penikmat, petualang, pemerhati, perusak, pembalak, dan pe-pe-pe lainnya, yang sekedar mirip namun bukan makhluk yang sama.
Pada kongres ke II, Forum Komunikasi Keluarga Besar Pecinta Alam se-Bandung Raya (FK KBPA BR) Tahun 2002, anak-anak Bandung mulai melakukan “resection”. Dalam peta aktifitas anak negeri, pecinta alam harus menentukan di mana letak “plot”-nya, sesuai dengan kejelasan peran dan fungsinya. Tepatnya di komisi D, setelah berdiskusi dan berdebat alot berhari-hari, maka munculah definisi pecinta alam menurut pecinta alam sendiri, yang setidaknya diakui oleh para anggota FK KBPA BR sampai saat ini.
Definisi pecinta alam yang tersusun adalah sebagai berikut :
“Pecinta alam adalah sekelompok manusia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, terdidik, terlatih, bertanggung jawab, serta bertujuan untuk menjaga dan memelihara alam”.
Penjelasan Singkatnya
Sekelompok Manusia
Dalam pengertian tergabung dalam organisasi, sebuah kumpulan manusia yang mengacu pada kesamaan nilai. Artinya pecinta alam bukan bersifat individual. Organisasi yang mengacu pada kriteria sistemik sebuah organisasi, seperti struktur dan fungsi, demikian pula adanya visi dan missi, serta kebutuhan AD dan ART-nya. Sekalipun bisa saja bersifat minimum karena adanya keterbatasan.
Dengan adanya organisasi, maka tindak tanduk seorang anggota lebih mudah untuk dievaluasi dan dikoordinasikan, termasuk adanya sistem sangsi dan hukuman, ketika melanggar aturan organisasi. Organisasi pecinta alam pun secara etis harus tunduk dan menginduk pada Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang dibidani pada Gladian IV di Makassar tahun 1974.
Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Konsep taqwa bukan hanya dilihat dari menjauhi laranganNya, dan melakukan perintahNya, namun lebih jauh lagi pada konteks “senantiasa memelihara hubungan denganNya”.
Artinya apa pun yang kita lakukan, bukan mengacu pada sesuatu yang bersifat duniawi belaka, namun terlebih lagi sebagai ladang amal. Konsep semata karena Allah, keikhlasan dan kepasrahan untuk bekal bagi kehidupan abadi kelak.
Dari sisi ini pula, maka dalam setiap aspek “memelihara” hubungan, maka akan selalu dibutuhkan seperangkat keilmuan dan basis-basis ketrampilan tertentu. Seperti untuk memelihara bayi, maka dibutuhkan ilmu tentang bayi. Bahkan untuk memelihara perdamaian, sering dibutuhkan ilmu dan ketrampilan berperang.
Terdidik Terlatih
Konsep memelihara dan adanya kebutuhan pembekalan keilmuan, dijabarkan dalam konsep pendidikan dan pelatihan, yaitu adanya program pelatihan dasar (diklatdas) bagi pecinta alam.
Pendidikan akan selalu menyertakan doktrin tentang sistem dan tata nilai (soft skill). Sedangkan pelatihan merupakan ajang untuk mengasah ilmu dan ketrampilan (hard skills). Hal ini pula yang menjadi pembeda antara pecinta alam dengan kelompok lain yang mirip dengan pecinta alam, yaitu adanya sistem penerimaan anggota baru, dengan terlebih dahulu mengikuti diklatdas yang telah terprogram, di mana bekal nilai, ilmu serta keterampilan diberikan secara berkelanjutan melalui latihan dan simulasi.
Bertanggung Jawab
Cinta dan komitmen, bertanggung jawab dalam pengertian yang paling mendasar adalah melakukan apa yang menjadi komitmennya, secara konsisten dan konsekwen. Dihubungkan dengan konsep cinta, yang setidaknya harus memiliki kualitas-kualitas : ketertarikan secara fisik–gairah–passion, adanya rasa intim–kedekatan–percaya, dan komitmen, atau siap bertanggung jawab serta rela berkorban dengan seluruh resikonya, sebagai sebuah konsekwensi logis dari apa yang diyakininya.
Bertujuan
Dalam hal ini organisasi dan individu anggotanya, terikat oleh sebuah tujuan bersama yaitu azaz memberi manfaat bagi sekitarnya, sesuai dengan konsep pemeranan serta fungsi dirinya. Pemeranan adalah sebuah tugas yang diamanahkan pihak lain pada kita. Sementara fungsi merupakan penjabaran dari jati diri.
Sederhananya, peran adalah kita kata orang lain. Sedangkan fungsi adalah kita menurut kita sendiri. Namun peran dan fungsi itu, senantiasa dalam koridor Kode Etik Pecinta Alam Indonesia Tahun 1974.
Menjaga
Menjaga lebih bersifat macho, di mana unsur kelelakian lebih didahulukan. Seperti menggunakan logika, objektif, empirisme serta daya analisa keilmuan. Menjaga juga lebih cenderung di luar objek yang dijaga. Seperti menjaga rumah dan kampung oleh ronda malam. Mereka berada di luar rumah, untuk menjaga yang berada di dalam rumah.
Memelihara
Sedangkan memelihara di sini lebih ke pendekatan feminis, mengedepankan nuansa rasa subjektif, intuisi, nilai integratif, sintesa dan tentu saja ekologis. Memelihara lebih masuk ke dalam objeknya sendiri, seraya merasakan langsung pengalaman realitasnya (immersion atau ekspidensial learning). Layaknya seorang ibu yang memelihara rumah dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin di rumah.
Alam
Alam saat ini lebih sering dipandang sebagai objek luar, sebuah habitat bagi makhluk hidup. Alam atau kosmos dalam berbagai tingkatannya, dari mikro ke makro sampai ke complex cosmos dilihat sebagai bagian inheren dari manusia sendiri.
Dalam pengertian alam itu termasuk manusianya sendiri sebagai bagian integral, atau subdomain dari domain raksasa alam semesta secara keseluruhan. Karena alam termasuk diri kita sendiri, maka mencintai alam haruslah mengambil modal dan model dari cinta diri, sebagai titik referensi awalnya. Sehingga tidaklah mungkin seseorang menjadi pecinta alam, jika dia sendiri tidak mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu.
Cinta diri bukan mengasihani diri, sehingga cenderung menjadi cengeng. Namun sebuah kesadaran untuk terus memperbaiki diri, agar menjadi orang-orang yang bermanfaat bagi sekelilingnya.
Sebaliknya merusak alam, menjadi pertanda orang tadi menjadi fatalis, seraya menghancurkan dirinya secara perlahan lahan (bentuk benci diri di bawah sadar).
Butuh Seumur Hidup Untuk Memahaminya
Saat satu saja kriteria tadi dilanggar, maka konsep pecinta alam lepas dari dirinya. Lalu seseorang di sudut sana berseloroh. “Waaah atuh kang, kalau begitu sempurna mah rasanya tak bakalan ada yang berani mengklaim bahwa dirinya pecinta alam, sesosok mahluk yang sempurna dan suci”.
Kalau logika itu yang dipakai, maka tak ada seorang pun yang berani mengklaim agama yang dianutnya. Shalat saya masih acak kadut. Puasa saya masih belang-betong. Zakat saya masih kalau sempet. Naik haji apalagi belum punya duitnya.
Tapi saya berani mencantumkan di KTP, agama saya Islam, atau ada yang Kristen, Budha, Hindu dan lainnya. Bukan karena telah sempurna dalam beragama. Namun karena sebuah pemahaman bahwa yang dinilai bukan pada hasil akhir (result), namun proses yang dijalaninya, dengan segenap tenaga dan kesungguhan yang dimilkinya.
Agama saja berani diklaim, apalagi pecinta alam yang sekedar alat untuk mencapai tujuan yaitu menjadi orang yang bermanfaat bagi diri dan sekelilingnya, seraya menjadi bagian dari solusi dan problem solver ketimbang sekedar menjadi trouble maker.
Itulah sebuah gambaran singkat tentang usaha dan ikhtiar bersama, guna menjelaskan tentang apa dan siapa kita, serta di mana kita berada saat ini. Dalam lembar peta peran dan fungsi kepemudaan di negeri ini secara keseluruhan. Berupa setitik sumbang saran dan pemikiran FK KBPA Bandung Raya untuk seluruh aktifis alam terbuka di negeri ini.
Dengan resection kita tahu di mana posisi kita saat ini. Ke mana tujuan kita berikutnya, hanya tinggal melakukan intersection. Tentukan kordinat, ambil sudut kompas, pastikan jalur tempuh, lalu melangkah tanpa keraguan demi menyongsong masa depan.
Definisi Pecinta Alam, butuh waktu 5 menit untuk membacanya.
Butuh 3 jam untuk menerangkannya.
Namun percayalah :
Butuh seumur hidup untuk memahami keseluruhannya. (yl).
Foto || Cikal Bagus Pribadi Syamsi
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)