Ekspedisi Koboy: Menyusuri Jejak Kehidupan di Dasar Hutan Jati Blora

Oleh : Wandi Wahyudi
Dewan Pengawas Anggota (DPA) Mata Alam Bandung
Editor Wartapala, WI 200223

Wartapalaindonesia.com, FEATURE — Terhitung sudah 42 hari waktu yang saya habiskan untuk Ekspedisi Koboy ini. Ekspedisi Koboy ini saya maknai sebagai pengembaraan ideologis. Sebab ada tiga nilai besar yang saya bawa, yaitu kemanusiaan, lingkungan, dan kebangsaan.

Ketiga nilai tersebut adalah saripati dari tujuan Mapala yang dilontarkan Soe Hok Gie. Sebagai anggota Mapala di Mata Alam Universitas Al-Ghifari Bandung, saya merasa punya tanggung jawab moral untuk merawat dan memperjuangkan nilai-nilai tersebut.

Saya berangkat pada hari senin, 14 April, 2025. Dan sampai sejauh ini, saya sudah mengunjungi Yogyakarta, Solo, Salatiga, Kendal, dan Semarang. Setelah menghabiskan waktu selama satu bulan di Semarang, tepatnya di Mawapala UIN Walisongo yang luar biasa ramah dan asik, saya langsung bertolak ke Cepu, Blora. 

Hari pertama saya tiba di Cepu, saya langsung diajak teman-teman dari Matrapala Sekolah Tinggi Teknik Ronggolawe (STTR) Cepu untuk mengunjungi sebuah pemukiman kecil yang hanya dihuni oleh lima kepala keluarga.

Tanpa banyak rencana, kami meluncur ke kawasan hutan jati di Desa Nglebur RT 006/RW 003, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora. Lokasinya berada di tengah hutan dan memakan waktu sekitar satu jam perjalanan dari kampus STTR.

Rupanya, pemukiman ini bukan tempat asing bagi teman-teman Matrapala. Setiap tahun, mereka menjadikannya salah satu lokasi kegiatan Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatasar). Selain karena lokasinya yang cukup terpencil, suasananya yang tenang dan kondisi alam yang masih lestari menjadi daya tarik tersendiri.

Kami disambut hangat oleh Mbah Kusmidi (71), ketua RT setempat, bersama istrinya. Senyum mereka ramah, dan rumah yang mereka tinggali sangat sederhana. Rumah kayu berpola rumah kampung lama, berlantai tanah, dan berdinding papan. Meski jauh dari kemewahan, rumah itu terasa hangat.

Kami dipersilakan masuk, dan obrolan pun mengalir. Mbah Kusmidi dengan semangat bercerita tentang hidupnya di sini. Ia dan istrinya hidup dari bertani jagung serta memelihara beberapa ekor kambing dan sapi.

Di tengah segala keterbatasan itu, mereka bersyukur karena anak-anaknya bisa bersekolah tinggi. Salah satu anak laki-lakinya bahkan berhasil lolos menjadi anggota kepolisian. “Kami hanya petani kecil,” ujar Mbah Kusmidi, “tapi anak-anak kami bisa sekolah tinggi. Kami bangga dan bersyukur.”

Setelah hampir satu jam berbincang, saya menyempatkan diri berjalan melihat sebuah bangunan tua yang konon peninggalan Belanda. Rumah itu sudah tak berfungsi, tapi masih menyisakan jejak sejarah.

Menurut cerita Mbah Kusmidi, dulu di daerah itu pernah ada jalur kereta api uap yang mengangkut kayu jati dari Cepu ke Blora. Jalur itu kini hilang ditelan hutan, hanya tersisa jalan tanah dan sedikit bekas lintasan bercabang.

Mbah Kusmidi juga bercerita bahwa dulu ada sekitar 50 kepala keluarga yang tinggal di pemukiman ini. Namun, seiring waktu, satu per satu pindah karena jauhnya akses terhadap layanan kesehatan, pasar, dan transportasi. Kini hanya lima keluarga yang tersisa.

Saya sempat bertanya, apakah beliau pernah terpikir untuk pindah. Mbah Kusmidi menarik napas sejenak, lalu menjawab, “Gak tau, ya. Sepertinya tidak. Meskipun sebenarnya sudah ada rumah yang bisa saya tinggali. Cukup besar. Tapi tetap tinggal di sini juga tidak apa-apa.” Jawabannya membuat saya terdiam. Ada keteguhan dan ketenangan dalam sikapnya.

Yang menarik, meski hidup di tengah hutan, warga tidak merasa terpinggirkan. Mereka justru menikmati kehidupan di sana. Mereka tidak merasa rendah diri meski banyak orang luar menganggap mereka terbelakang. Saya merasakan bahwa kesunyian yang mereka jalani justru menjadi semacam kemewahan yang tak bisa dibeli.

Di tengah heningnya hutan jati Blora, saya menemukan satu pelajaran penting: kemegahan tidak selalu ada di kota-kota besar, tetapi bisa hadir dalam bentuk ketulusan, ketabahan, dan keteguhan hidup di tempat yang sunyi. Dan mungkin, di sinilah makna sebenarnya dari pulang—kembali pada hidup yang dijalani dengan penuh syukur dan tenang. (WW).

Foto || Dokumen Mata Alam
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.