Oleh : Wandi Wahyudi
DPA Mata Alam Bandung Bidang Perencanaan
Editor Wartapala, WI 200223
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF — Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau-pulau indah di ujung timur Indonesia. Ia adalah pelabuhan sunyi bagi kekayaan hayati dunia, tempat laut dan daratan saling merawat dengan cara yang nyaris tidak dijumpai di tempat lain. Tetapi kini, tempat yang pernah disebut “surga kecil yang jatuh ke bumi” itu terancam hilang.
Saya bukan peneliti lingkungan, bukan pula tokoh LSM. Saya hanya seorang pejalan biasa. Seorang backpacker yang suatu waktu akan menapakkan kaki di Raja Ampat, mencoba merasakan denyut kehidupan yang selama ini hanya saya kagumi dari kejauhan.
Di sana, saya ingin bertemu dengan nelayan yang masih percaya bahwa laut adalah ibu. Saya ingin melihat anak-anak yang berenang tanpa takut di laut sebening kristal, dan mendengar bahasa alam yang tidak pernah tercatat dalam kebijakan tambang.
Namun semua itu terasa ringkih ketika saya mendengar bahwa wilayah ini—yang telah menyandang status Marine Protected Area kelas dunia—dihadapkan pada ancaman eksploitasi tambang nikel.
Perusahaan besar datang membawa dokumen izin dan janji kesejahteraan. Mereka membelah gunung, membuka jalan, dan mengganti nilai-nilai adat dengan deret angka produksi. Mereka ingin menambang surga.
Padahal data yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menunjukkan bahwa wilayah Papua Barat Daya telah mengalami lonjakan izin tambang sejak 2022.
Kawasan hutan dan ekosistem laut Raja Ampat, yang selama ini dilindungi, mulai terancam oleh ekspansi perusahaan tambang nikel yang mengincar mineral untuk industri baterai kendaraan listrik. Ironis, karena “energi hijau” itu dibangun di atas kehancuran ekologis.
Apakah kita tega menjadikan tanah Papua sebagai korban baru transisi energi global?
Raja Ampat bukan hanya tempat wisata. Ia adalah rumah bagi lebih dari 75% spesies karang dunia, lebih dari 1.500 jenis ikan, dan ratusan jenis burung endemik. Jika kerusakan ekosistem ini tak dicegah, kerugian ekologisnya bukan hanya milik Papua, tapi juga krisis global.
Kepada mereka yang ingin menambang surga, izinkan saya menulis surat ini:
Apakah Anda tahu bahwa yang akan Anda rusak bukan sekadar batuan dan tanah, tetapi sejarah, budaya, dan masa depan yang sedang tumbuh dari tanah itu?
Apakah Anda pernah menginjakkan kaki di kampung adat yang menolak tambang karena mereka tahu, tanah ini lebih berharga dari emas dan nikel?
Raja Ampat tidak membutuhkan tambang. Ia membutuhkan penghormatan.
Jika benar ada niat menyejahterakan rakyat Papua, maka bangunlah infrastruktur pendidikan, perkuat kesehatan komunitas pesisir, dan dukung ekonomi lokal berbasis konservasi. Jangan datangi mereka dengan buldoser dan dokumen AMDAL yang disusun di balik meja.
Raja Ampat bukan “tanah kosong” untuk dieksploitasi. Ia adalah rumah yang hidup, dan kehidupan tak seharusnya ditambang.
Dan kalian tahu, sejarah tak pernah berpihak kepada siapapun yang mengaku membangun dengan cara menghancurkan. Jejak manusia mestinya meninggalkan cinta, bukan luka. Save Raja Ampat! (WW).
Foto || Greenpeace
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Sumber Pustaka :
WALHI. (2023). Rencana Penambangan di Raja Ampat dan Ancaman terhadap Ekosistem Papua. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Mongabay Indonesia. (2023, December 5). Raja Ampat terancam: Tambang nikel, izin konsesi, dan kisah masyarakat adat yang dilangkahi. Mongabay Indonesia.
Burke, L., Reytar, K., Spalding, M., & Perry, A. (2011). Reefs at Risk Revisited. World Resources Institute.
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. (2021). Profil Kawasan Konservasi Raja Ampat. Dinas Kelautan dan Perikanan.
World Wildlife Fund (WWF). (2022). The Coral Triangle: Heart of the World’s Coral Reefs. WWF Coral Triangle Programme.
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)