Mapala Gen Z yang Tidak Mengenal Gie

Caption foto : Untuk anggota Mapala Gen Z, mulailah kalian mencari role model orang-orang seperti Soe Hok Gie. Bukannya artis, selebritis atau selebgram yang hanya mementingkan cara berpakaian dan gaya hidup yang hedon. (WARTAPALA INDONESIA / Wapalapa).

Oleh : Muhamad Fathannaba
Anggota Wapalapa Universitas Pakuan Bogor

Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Di era sekarang sangat sulit mendapat SDM atau mahasiswa/i yang mau bergabung ke Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam. Sangat berbeda dengan era-era sebelumnya atau saat Mapala pertama terbentuk.

Pada era Soe Hok Gie yang terkenal dengan banyaknya anak aktifis yang sudah muak dengan orde lama, dan memutuskan pergi ke Gunung Pangrango, Gunung Salak hingga Mandalawangi demi mengeluarkan emosi dan cinta tanah air.

Saat keluar film 5 Cm yang diperankan Pevita Pearce dkk, Mapala kembali ramai dengan rasa penasarannya mahasiswa/i baru untuk mendaki gunung. Padahal makna pecinta alam belum mereka miliki. Mahasiswa yang seharusnya menjadi agent of chage atau bidak menteri dalam sebuah permainan catur yang bisa mematikan raja dengan mudah, justru berbanding terbalik dalam penafsiran makna Mapala di era Gen Z. Saat ini banyak Gen Z anggota Mapala yang tidak mengetahui asal muasal Mapala terbentuk, karena apa dan tujuannya untuk apa?

Saya Fathannaba W.23.249/Kaliandra. Anggota Wapalapa atau Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Pakuan Bogor. Organisasi ini lahir pada Rabu, 06 Mei 1981. Sebelum masuk Wapalapa saya adalah aktifis di organisasi ekstra yang tak perlu saya sebutkan namanya.

Saya mulai masuk Wapalapa pada semester 5 pada tahun 2017, karena penerimaan anggota Wapalapa diadakan tiap 2 tahun sekali. Motif saya masuk Wapalapa bukan karena saya suka naik gunung, suka melestarikan alam, atau ingin mencari perlindungan.

Motif saya masuk Wapalapa karena saya sudah benar-benar muak dengan organisasi-organisasi berbau politik. Dari sana saya mulai membaca banyak buku yang ditulis Soe Hok Gie. Mulai buku berjudul Catatan Seorang Demonstran, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan dan judul lainnya. Gie adalah founding father pecinta alam. Dia salah seorang pendiri Mapala UI 1964.

Setelah membaca tulisan Gie yang sangat menginspirasi, dan ternyata benar kalau politik adalah soal kekuasaan. dan politik paling seru ada dalam kampus. Tentang bagaimana kita mendapatkan uang DKK kampus untuk mencukupi jalan-jalan kita. Tentang bagaimana BEM dan Himpunan meminta bantuan kepada kita dan lain-lain. Memang terdengar egois, tetapi ini sangat menyenangkan dan tidak munafik. Namun bukan berarti dengan seperti ini kita menjadi apatis terhadap pemerintah saat ini atau pun asyik dengan media sosial.

Maka dari itu, jangan pernah melupakan sejarah. Kita juga tak pernah mengetahui motif seseorang masuk Mapala. Hanya dia dan Tuhan yang mengetahuinya. Namun kita bisa menganalisa setelah mereka masuk Mapala. Ada yang hanya mencari perlindungan, ada yang sekedar mencukupi gengsi sosial media, dan ada pula yang benar-benar peduli dengan alam seisinya. Untuk itulah perlu ada wawancara ke mahasiswa/i sebelum mereka masuk Mapala, agar kita tahu lebih awal motif mereka yang ingin bergabung.

Seiring berjalanannya waktu, Mapala dikenal sebagai kumpulan orang yang gemar mendaki gunung dan berpetualang. Padahal kegiatan Mapala sudah dikelompokkan ke dalam bidang-bidang dan medan-medan tertentu. Seperti panjat tebing, susur gua, arung jeram, lingkungan hidup dan seterusnya. Maka dari itu, edukasi tentang Mapala ke calon anggota baru khususnya Gen Z, menjadi penting.

Gie adalah sosok yang bebas dan idealis. Baginya keadilan dan kemanusiaan lebih penting dari segala bentuk apa pun. Oleh sebab itu karya Gie selalu menggambarkan sikapnya yang kritis, idiealis, jujur, nasionalis, dan peduli terhadap bangsa ini. Gie selalu merepresentasikan dirinya sebagai manusia yang merdeka.

 “Mimpi saya yang terbesar yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”.

”Mahasiswa “tua” yang menulis tulisan tersebut, sudah tiada. Dia meninggal beberapa bulan setelah lulus kuliah. Tetapi, siapa sangka kini dia menjadi semacam “legenda” di dunia mahasiswa dan kata-katanya sering jadi caption Instagram Gen Z.

Nama penulis tersebut adalah Soe Hok Gie. Dia mengawali tulisannya dengan mengutip kalimat Dr. Martin Luther King Jr.: “I have a dream, I shall continue to work for that a dream as long as life it self, If necessary I shall even die for that dream”.

Kutipan itu seolah punya arti bahwa sepanjang hidupnya Gie selalu berjuang mewujudkan mimpi-mimpinya. Gie menuliskan mimpinya dengan sangat semangat dan tentu sangat panjang seperti tulisan-tulisan di catatan hariannya :

“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi ‘manusia-manusia yang biasa’. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”.

Gie kemudian merinci lagi apa sebenarnya yang dia maksud. Baginya, pemuda-pemudi yang bertingkah laku sebagai manusia normal adalah mereka yang pada saat kuliah datang ke kelas-kelas secara serius, mendengarkan kuliah-kuliah dosen, walaupun kadang-kadang membosankan. Dan pada saat di laboratorium, kadang-kadang mereka berdiskusi secara sungguh-sungguh dengan rekan-rekannya tentang suatu masalah.

Tetapi bagi Gie, itu saja belum cukup, mahasiswa juga memerlukan kegiatan lain : berolahraga, berorganisasi, membuat acara-acara kesenian, mendaki gunung atau membuat perlombaan sepatu roda, tidak melulu belajar di kelas-kelas mereka.

Banyak makna Gie yang sangat mendalam teruntuk Gen Z. Maka untuk anggota Mapala Gen Z, mulailah kalian mencari role model orang-orang seperti Gie. Bukannya artis, selebritis atau selebgram yang hanya mementingkan cara berpakaian dan gaya hidup yang hedon. (mf)

Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.