Oleh : Yon Artiono Arba’i
Salah seorang pendiri TMS-7
Mantan Plt Jamdatun Kejaksaan Agung RI
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Apakah kegiatan pecinta alam tak hanya di gunung dan di hutan, tetapi juga meliputi udara, air dan laut? Untuk menjawabnya saya perlu mengkaji dari aspek sejarah (historis), filosofis dan hukum (yuridis).
Saya sedikit menengok ke belakang, tahun 1964 saya aktif di KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Saya aktif hingga SMP. Saya monitor, menjelang tahun 1965-1966, pandu akan dirubah menjadi Pramuka.
Mungkin maksud pemerintah bagus. Tetapi kita-kita yang ada di pandu – seperti Hizbul Wathan dan pandu lainnya – bertanya-tanya, “Kok dilebur jadi satu?”
Tahun 1965 saya sempat mendaki gunung sebagai anggota pandu. Kemudian tahun 1967 saya dan empat teman naik Gunung Semeru. Kami berlima yang sama-sama anggota pandu berhasil sampai puncak. Pendakian ini merupakan embrio terbentuknya perhimpunan pendaki gunung, pecinta dan penjelajah alam yang kelak bernama TMS-7 Malang.
Masih di tahun 1967, sekarang yang mendaki jumlahnya 7 orang. Tetapi kami tidak lewat Tumpang. Melainkan langsung ke Poncokusumo, Gubukklakah, Ngadas, Watu Pecah, Ayek-ayek dan terus hingga kami tiba di Ranu Kumbolo.
Di Ranu Kumbolo kami menginap 1 malam. Besok paginya saya punya saran, dan saya sampaikan ke teman-teman, “Bagaimana kalau kita mendirikan suatu perhimpunan?”
“Kok perhimpunan?” tanya mereka.
“Iya, tepatnya perhimpunan pendaki gunung, pecinta, penjelajah alam. Kalau pendaki gunung thok, Kita naik gunung saja. Tetapi kalau pecinta, bisa cinta udara, laut dan air,” begitu saya menjelaskan.
Kami melanjutkan perjalanan ke arah Kali Mati, Cemoro Tunggal, Arcopodo. Rembugan yang tadi belum tuntas, kembali kami buka, hingga akhirnya kami sampai di medan berpasir. Dari sini kami melanjutkan pendakian ke puncak Semeru sekaligus untuk mendapatkan nomor keanggotaan.
Hingga sekitar 200 meter menjelang puncak, kami bertujuh masih ini masih rata atau berdekatan. Tetapi kurang lebih 100 meter menjelang puncak, ada beberapa teman yang memilih jalur berpasir. Mereka malah melorot. Tinggal saya berdua teman di jalur utama pendakian.
Kebetulan saya yang pertama sampai ke puncak. Disusul Trisno, lalu Lukito Sutomo di posisi ketiga. Kemudian disusul yang lain. Momen ino bertepatan dengan hari Jum’at. Kami 6 orang sholat, sekaligus ungkapan syukur. Teman kami 1 orang tidak ikut sholat. Dia Kristen dan berdoa sesuai keyakinannya.
Di Mahameru kami berembug lagi. Saya kembali menyarankan agar kami 7 orang punya nama. Saat kami nengok ke arah kanan timur laut, kebetulan di sana ada pelangi yang memiliki 7 warna. Karena kami di puncak, posisi pelangi itu ada di bawah.
Di sana terlihat pula burung elang Jawa terbang berputar, seolah memberi ucapan selamat kepada kami. Ledakan dari Mahameru masih terdengar, saat kami mulai turun nanti jumlahnya pas 7.
“Nama perhimpunan apa?” tanya teman-teman hampir bersamaan
Saya selaku pemrakrasa perhimpunan pendaki gunung, pecinta, penjelajah alam, lalu mengusulkan, “Bagaimana kalau kita namai 7 orang asing di puncak gunung”.
Puncak gunung dalam bahasa Inggris adalah Top Mountain. Orang asing adalah stranger. Jumlah kita di sini adalah 7 orang. Tak lama kemudian kami sepakat Top Mountain Stranger 7 sebagai nama perhimpunan kami. Disingkat TMS-7. Lengkapnya Perhimpunan Pendaki Gunung, Pecinta, Penjelajah Alam TMS-7. Tempatnya di Malang.
Setelah berikrar, kami makin sering latihan water and jungle survival, serta terus mendaki. Gunung yang kami daki adalah Arjuno, Welirang, Ijen, Raung, Kelud, dan Gunung Gede di Jawa Barat. Kami juga melakukan penyusuran pantai. Dalam jangka kurang dari setahun, anggota TMS-7 sudah mencapai sekitar 50 orang.
Pada perkembangannya kami di TMS-7, tak hanya mendaki gunung. Di TMS27 ada juga yang ikut olahraga renang, polo air dan menyelam. Ada juga ikut terjun payung dan paralayang. Baik paralayang biasa maupun paralayang motor.
Itulah trimatra. Semua ini dilakukan dalam rangka “pendaki gunung, pecinta, penjelajah alam”.
Tahun 2016 saya mengusulkan agar menyelam, terjun payung, paralayang dan fotografer dilaksanakan di Gladian Nasional Pecinta Alam. Pada pelaksanaan Gladian Nasional Pecinta Alam XIV tahun 2018, di Lembah Harau Payakumbuh, Sumatera Barat, usul tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain, di Gladian XIV ini trimatra — ditambah fotografi — dilaksanakan.
Saya mengikuti Gladian di Payakumbuh. Pesertanya banyak. Ada Don Hasman, ada dari Mapala UI. Ada juga bang Sam dari Wanadri, Lodi Korua dari arung jeram dan masih banyak lagi. (as).
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB & Ratdita Anggabumi T, WI 190039
Foto || Wartapala
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)