Oleh : Johny Wiro Sableng
TMS-7 Malang
Peserta Gladian Wanadri dan Gladian Nasional II, III, IV
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Bulan Februari tahun 1970, Wanadri Bandung mengadakan pendidikan atau pemberian materi. Saat itu belum ada istilah Diklatsar seperti sekarang, kang Roni Nurzaman atau kang Roni Kebo mengusulkan nama Gladian, karena berasal dari kata Gladi yang artinya berlatih atau latihan.
Jadi Gladian itu adalah ide Wanadri dalam rangka meningkatkan kemampuan para anggotanya. Tetapi Wanadri berbaik hati, mereka mengundang kami yang dari luar Wanadri untuk ikut latihan bersama.
Caption foto : Bordir logo Gladian Wanadri. Johny Wiro Sableng memegang foto bordir logo Gladian Wanadri yang sudah diperbesar. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar & Ratdita).
Peserta – atau yang terundang ikut – Gladian Wanadri ini, dari seputaran Bandung selain Wanadri sendiri ada Red Ant, Extemasz, dan Explorer dengan tokohnya kang Dudung Mac Dally. Kang Dudung pernah ngaku ke saya, dia dulu anggota Wanadri, tetapi keluar, lalu membentuk Explorer.
Peserta dari Tasik ada Kawana. Di Gladian pertama ini mungkin hadir juga Jana Buana. Tetapi saya kurang tahu tentang keikutsertaan Jana Buana, karena saya tidak sempat bertemu mereka.
Di Malang yang terundang adalah TMS-7. Sedangkan dari Surabaya yang terundang adalah Kapuronto dari Fakultas Hukum Unair Surabaya, tokohnya yang masih saya ingat namanya adalah Cahyono. (Beberapa tahun kemudian mereka membentuk formatur. Kebetulan salah seorang anggota TMS-7 kuliah di Fakultas Hukum Unair dan dia menjadi salah seorang formatur. Dari berembug-berembug mereka kemudian berhasil mendirikan Wanala Unair).
Dari seputaran Jakarta, ada Mapala UI. STTN, SHMC, Aranyacala Trisakti. Ada lagi organisasi lain, tapi saya lupa.
Peserta dari Mapala UI Rudy Badil, Freddy Lasut. Retno Sukardan, Grace J. Tiwon, Utun Leman. Sukiyato dan Don Hasman.
Materi Gladian Wanadri ini adalah penyeberangan basah di bawah jembatan Rajamandala. Orientasi medan di seputaran bukit-bukit di Citatah dan mountaineering.
Ada pula demo dari kang Tatang Adom. Kang Adom ini adalah “jagoan” dari Wanadri. Dia mendemonstrasikan solo climbing setinggi 60 meter di tebing Citatah.
Berikutnya yang tampil dari RPKAD. Mereka dihadirkan sebagai pelatih. Kebetulan personil RPKAD ini dari Malang Selatan. Saya lupa namanya. Di kesempatan ini dia mengatakan, “Adik-adik dari Jawa Timur, Malang dan Surabaya, kalau nanti ingin latihan silahkan kontak saya”.
Dari Menpor (waktu itu ada Menpor) yang datang adalah Brigade Satwa K9. Namanya pak Jaya. Dia memberi beberapa pengetahuan yang salah satunya adalah cara menangkap ular.
Herman Lantang dari Mapala UI datang di hari kedua Gladian. Kami peserta Gladian Wanadri ini lalu riungan atau ngumpul-ngumpul di sebuah ruangan. Herman Lantang kami daulat untuk menceritakan pengalamannya selama di Irian Jaya (Sekarang Papua). Di Sana Herman hidup bersama suku Dani lebih dari 1 tahun
Usai Herman Lantang, berikutnya yang tampil bercerita adalah Cahyono. Kemudian dari Malang pimpinan rombongan kami yaitu mas Yopi menyampaikan amanah dari Ketua Umum TMS-7 yang kala itu juga menjabat Komandan Kodim Malang, Letkol Soewandi namanya.
Amanah dari Ketua Umum TMS-7 adalah :
1. Forum ini bagus, kenapa tidak ditingkatkan menjadi forum nasional?
2. Untuk pertemuan selanjutnya, TMS-7 Malang bersedia menjadi pelaksananya.
Forum Gladian Wanadri kemudian secara aklamasi :
1. Menyetujui forum berikutnya dilaksanakan di Malang.
2. Dengan catatan kalau dalam 1 tahun Gladian tidak terlaksana, mandat ini dicabut.
Setelah acara selesai, peserta pulang ke daerahnya masing-masing.
Gladian Nasional II Di Malang
Tiba di Malang kami melaporkan hasil Gladian Wanadri ke Ketua Umum TMS-7 Letkol Soewandi. Setelah menerima laporan kami, beliau mengisyaratkan agar kami mencari teman-teman lain di seputaran Malang.
“Ini gawe gedhe, jangan ditangani sendiri. Kalian harus cari teman-teman,” kata Letkol Soewandi.
Gladian kali ini memang berbeda dengan Gladian sebelumnya, Gladian di Malang ini sudah naik menjadi tingkat nasional. Terbukti dengan adanya surat mandat berkop surat Wanadri yang berbunyi, “Pertemuan perhimpunan pecinta alam dan penjelajah alam se-Indonesia di Malang”.
Kami kemudian mencari perhimpunan di seputaran Malang. Akhirnya kami berhasil mengajak IPKA Indrakila. Young Pioneer (Yepe) dan AMC.
Mungkin karena situasi saat itu, atau karena kami yang masih kuper, baru 3 itu yang berhasil kami kumpulkan. Padahal di Malang saat itu ada Topac yang usianya sedikit lebih tua dibanding Young Pioneer dan AMC.
Akhirnya, 4 perhimpunan yaitu kami sendiri dari TMS-7, IPKA Indrakila, Young Pioneer dan AMC saling berkoordinasi. Pak Wandi lantas berinisiatif, “Kita harus membuat forum,” katanya.
Lalu 4 perhimpunan tadi menggelar rapat, dan akhirnya mencetuskan membentuk “Badan Kontak Pecinta Alam se-Kota Madya Malang”. Tetapi dalam perjalanan waktu, badan kontak ini umurnya tidak sampai setahun.
Sekitar seminggu atau dua minggu usai mencetuskan “Badan Kontak Pecinta Alam se-Kota Madya Malang”, kami menggelar ceremonial di alam bebas, di puncak Gunung Panderman. Diharapkan, 4 perhimpunan inilah yang menjadi panitia pelaksana Gladian di Malang yang sudah menjadi “Gladian Nasional Pecinta Alam”.
Tetapi realitas di lapangan, yang sibuk banget hanya ada 2 organisasi, yaitu TMS-7 dan AMC. Young Pioneer mengundurkan diri dari kepanitian, karena secara organisasi mereka sudah ada jadwal kegiatan. Kalau nggak salah kegiatan mereka adalah well tried.
Saya tidak mendapat dokumen pengunduran diri Young Pioneer. Hanya saja, Ketua Umum Extemasz, kang Djoni Djanaka menjawab surat pengunduran diri Young Pioneer. Dari surat balasan inilah saya tahu pengunduran diri Young Pioneer.
Caption foto : Surat Extemasz Bandung yang menjawab surat pengunduran diri Young Pioneer dari kepanitian Gladian Nasional Pecinta Alam II di Malang. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar & Ratdita).
Akhirnya kami melakukan persiapan-persiapan, termasuk membuat spanduk dari bagor dan sebagainya. Lalu Gladian Nasional kami selenggarakan.
Perhimpunan yang hadir di Gladian ini ada dari Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur. Dari Yogyakarta hadir Mermounc yang diwakili Tato Andrianto. Hadir pula SMAN 1 Denpasar Bali yaitu ABC (Arya Bima Putera Club). Juga ada dari Lombok yaitu RAC (Rinjani Arga Club). Yang hadir dari RAC ini namanya Satriawan Thahak.
Di Gladian Nasional Pecinta Alam yang kedua di Malang ini, kebetulan saya ditunjuk sebagai Korlap. Agar saya lancar melaksanakan tugas, pak Wandi meminjami saya kuda bernama Sumantri.
“Saya pinjami kuda. Dari SMOA ke tebing Pujon itu jauh, agar kamu tidak capek pakai saja kuda ini,” begitu kata pak Wandi.
Padahal saya sendiri nggak mahir naik kuda. Apalagi Sumantri ini nakal juga. Suka menggigit kaki. Untungnya saya pakai sepatu tentara, jadi kaki saya nggak mempan digigitnya.
Yang mahir naik kuda saat itu malah anggota Wanadri, kang Unok namanya. Dia pinjam kuda ini. Dia naik kuda dan terlihat anggun.
Caption foto : Korlap Gladian Nasional Pecinta Alam II di Malang Johny Wiro menunggang kuda bernama Sumantri. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar & Ratdita).
Malam pertama peserta kami inapkan di gedung SMOA (Sekolah Menengah Olahraga Atas) Kota Batu. Berikutnya peserta melakukan orientasi medan. Dari Batu peserta berjalan kaki menunju tebing di pinggir jalan Pujon. Di tebing Pujon ini kang Tatang Adom dari Wanadri melakukan solo climbing.
Setelah dari tebing Pujon, kami menginap lagi di Coban Rondho. Baru besoknya bubar.
Saat berkumpul di SMOA itu, kami peserta Gladian Nasional diskusi. Dari diskusi inilah tercetus untuk membuat “Kode Etik Pecinta Alam”.
Akhir dari diskusi, kami berhasil merumuskan (embrio) 12 butir isi Kode Etik Pecinta Alam. Sayangnya dokumen yang saya simpan hilang.
Peserta Gladian Nasional dari Mapala UI yaitu Dedi Satrio yang badannya tinggi besar, kami bekali naskah atau embrio kode etik yang berisi 12 butir tersebut.
Kami titipkan ke dia karena pecinta alam Jakarta terpilih sebagai penyelenggara Gladian Nasional Pecinta alam yang ketiga. Dengan catatan, “Kalau 12 butir isi kode etik ini dianggap belum sempurna, silahkan direvisi dan disempurnakan”.
Gladian Nasional Pecinta Alam III di Pantai Carita
Gladian Nasional Pecinta Alam yang ketiga diselenggarakan tanggal 17-19 Desember 1972 di Pantai Carita. Saat itu Pantai Carita masih rimbun, suasananya masih pedesaan.
Rombongan dari Ujung Pandang yang berangkat ke Pantai Carita ada 3 orang, yaitu Thaher Fatwa dari Badan Koordinasi Seni dan Olahraga. Kemudian Abdul Aziz Longgari dan Andi Makmur. Dua orang ini dari Libra Double Cross (LDC). Abdul Aziz adalah salah seorang pendiri LDC. Di keberangkatan ini dia adalah ketua rombongan
Mereka bertiga naik kereta api. Di sekitar Cirebon atau Aji Barang, Abdul Aziz karena pakai jaket yang tebalnya seperti terpal, merasa kepanasan. Dia keluar dari gerbong. Lalu naik ke atap kereta. Cari angin.
Di atap kereta itu sudah ada anak-anak penjual koran dan semir sepatu. Mereka duduk menghadap ke muka atau searah laju kereta. Tetapi Abdul Aziz duduknya menghadap ke belakang, atau berlawanan arah dengan laju kereta.
Dulu banyak bangunan utiltas (talang yang melintang di jalur kereta). Abdul Aziz tidak melihat ini. Anak-anak penjual koran dan semir sepatu sudah berteriak-teriak menyuruhnya menunduk, tetapi Abdul Aziz tidak mendengar. Akibatnya kepala Abdul Aziz kena dan dia meninggal di tempat.
Tiba di Jakarta, Andi Makmur mengawal jenazah Abdul Aziz dari Bandara Halim menuju Ujung Pandang. Thaher Fatwa tinggal, untuk ikut Gladian di Carita.
Peserta Gladian Nasional Pecinta Alam yang ketiga di Carita ini menurut saya, pesertanya paling banyak dibanding Gladian Wanadri dan Gladian Nasional Pecinta Alam yang kedua di Malang. Karena Gladian di Carita ini ikut pula beberapa Sispala. Ada Sispala dari SMA 7, Repala, Swapala Jaya dan lain-lain. Jadi yang ikut Gladian di Carita ini dari Mapala, OPA dan Sispala.
Di Carita diadakan diskusi, sarasehan atau rembug-rembug untuk meninjau ulang embrio kode etik yang dihasilkan Gladian Nasional Pecinta Alam yang kedua di Malang.
Namun sampai hari terakhir Gladian Carita ini, pembahasan embrio kode etik ternyata tidak bisa tuntas.
Dalam rembug-rembug itu pula, Thaher Fatwa mengusulkan kepada kami :
- Untuk menghormati meninggalnya Abdul Aziz Longgari, Gladian Nasional Pecinta Alam yang keempat dilaksanakan di Ujung Pandang.
- Belum pernah ada penyelenggaraan Gladian di luar Jawa.
Atas dasar itu, kami peserta Gladian Carita dengan legowo meng-iya-kan usulan tersebut. Kami sepakat Gladian Nasional Pecinta Alam yang keempat dilaksanakan di Ujung Pandang.
Caption foto : Logo Gladian III di Jakarta. Kanan, rangsel yang dipakai Johny Wiro mengikuti Gladian yang ke 2,3 dan 4. Togel yang digunakan di Gladian Malang. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar & Ratdita)
Jambore Pecinta Alam se-Jakarta Raya
Pada bulan September 1973 pecinta alam se-Jakarta Raya, berinisiatif menyelenggarakan “Jambore Pecinta Alam se-Jakarta Raya”. Di Jambore ini mereka merumuskan kembali embrio kode etik dari Gladian Malang yang semula 12 menjadi 7 butir.
Ketua panitia Jambore Pecinta Alam se-Jakarta Raya sekaligus merangkap moderator, adalah anggota Mapala UI Hidayat Sutarnadi atau yang lebih dikenal sebagai Yudhi Hidayat. (M 008 UI).
Gladian Nasional Pecinta Alam IV
Panitia inti Gladian keempat ini adalah Libra Double Cross (LDC). Mereka pecinta alam tertua di Ujung Pandang yang lahir bulan Oktober 1968.
Tanggal 10 Januari 1974, panitia pelaksana Gladian Nasional Pecinta Alam yang keempat menyurati Mapala UI, Wanadri dan TMS-7. Isi surat intinya, diharapkan :
1. Mapala UI Jakarta membawa paper mengenai kode etik pecinta alam yang sudah dibahas di Jambore Pecinta Alam se-Jakarta Raya
2. Wanadri Bandung membawa paper SAR.
3. TMS-7 Malang membawa paper tentang organisasi.
Caption foto : Surat dari panitia pelaksana Gladian Nasional Pecinta Alam IV Ujung Pandang untuk Mapala UI, Wanadri dan TMS-7. Kanan surat yang diperbesar (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar & Ratdita).
Dari Malang yang berangkat ke Ujung Pandang ada 12 perkumpulan yang bernaung di bawah Mahameru Malang. Kami pergi atas nama daerah Eks Karesidenan Malang.
Teman-teman dari Malang naik kapal dari Tanjung Perak. Di kapal mereka bertemu rombongan dari Jawa Barat dan Jakarta.
Saya sendiri berangkat tidak bersama rombongan Malang. Dua hari atau satu hari berikutnya saya baru berangkat menyusul. Makanya surat tugas dari TMS-7 cuma nama saya. Saya menyusul, karena saya ada tugas untuk urusan keluarga. Saya berangkat lewat udara.
Caption foto : Tanda peserta Gladian Nasional Pecinta Alam IV Ujung Pandang. Kanan, surat tugas dari TMS-7 untuk Johny Wiro. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar & Ratdita).
Peserta yang mengikuti Gladian Nasional yang keempat in jumlahnya seratus orang lebih. Kalau dihitung secara organisasi, saya lupa, ada 40 atau 44 perhimpunan yang ikut. Perhimpunan atau organisasi ini dari berbagai daerah. Dari daerah setempat ada beberapa organisasi, antara lain Antariksa dan LDC sendiri.
Peserta dari kalangan perempuan juga ada. Tapi saya lupa berapa orang dan dari organisasi apa mereka berasal. Organisasi pecinta alam khusus perempuan di Gladian IV ini, saya tidak menjumpai atau temukan.
Sebagian besar peserta dikonsentrasikan dan diinapkan di Benteng Rotterdam Ujung Pandang. Saya tidak tahu apakah di benteng ini peserta mendapat materi pelatihan. Barangkali ada latihan, atau pemberian materi seni Sulawesi Selatan dan materi sejarah karena benteng ini adalah cagar budaya.
Caption foto : Tanda terima pembayaran peserta Gladian Nasional Pecinta Alam IV Ujung Pandang. Peserta membayar Rp. 500/orang. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar & Ratdita)
Ke Tana Toraja
Hari berikutnya peserta dibawa panitia ke Makale Tana Toraja. Kami dibawa menggunakan 4 angkutan pedalaman. Angkutan ini adalah truk yang disulap jadi angkutan penumpang. Ujudnya masih truk, tetapi ada bangku-bangku panjang. Kami duduk di situ.
Di Makale kami ditempatkan di lapangan. Kami mendirikan tenda di sini. Saya lupa apa nama lapangan ini. Tapi letaknya dekat sungai. Di sungai inilah kami mandi.
Besoknya ada acara naik ke gunung yang tak jauh dari lapangan dan main ke sumber air panas. Selanjutnya kami menghadiri acara adat, karena ada salah seorang tokoh adat meninggal. Kami ikut prosesi sebentar.
Di acara ini kami disuguhi tari-tarian adat. Ada tarian yang dibawakan perempuan yang menginjak-injak kendang. Saya tidak tahu nama tarian ini. Kami juga disambut musik dari bambu.
Di acara prosesi itu, kami hampir diseruduk kerbau. Kerbau yag dipancung untuk upacara adat, ternyata tidak langsung mati. Tetapi berlari dan kami hampir diseruduknya. Area di sekitar kami jadi berantakan.
Saya lupa, kami di Toraja ini semalam atau dua malam.
Ke Pulau Kayangan
Dari Tana Toraja kami balik lagi ke Ujung Pandang. Tiba di Ujung Pandang kami menyeberang menggunakan perahu kayu ke Pulau Laelae (atau Lae-lae). Saya lupa nama pelabuhan di Ujung Pandang tempat kami naik perahu kayu ini. Pelabuhan Losari atau apa, saya benar-benar lupa.
Ternyata Pulau Laelae ini kecil. Bahkan lebih kecil dari Pulau Kayangan (atau Khayangan). Bungalow yang ada di Pulau Laelae terkunci semua.
Akhirnya peserta digeser ke pulau Pulau Kayangan. Rupanya bungalow di Pulau Kayangan juga terkunci semua. Di Pulau Kayangan, peserta pasang bendera dan menyiapkan tempat tidur di teras-teras bungalow.
Karena bungalow terkunci, hanya ada tempat kecil atau ruangan resepsionis yang bisa dimasuki peserta. Di tempat itulah peserta Gladian keempat rapat atau sidang. Tetapi karena kapasitas ruangan yang terbatas, hanya beberapa orang yang ikut sidang di ruangan resepsionis tersebut.
Kami yang dari Malang sudah dibagi tugas. Dari Malang yang diberi tugas ikut diskusi atau rapat Kode Etik Pecinta Alam adalah Ulil dan Sutrisno. Sebagai bahan ikut rapat, mereka berdua ini sebelum berangkat ke Ujung Pandang, saya serahi embrio kode etik hasil Gladian Nasional kedua di Malang.
Kode Etik Pecinta Alam Disahkan
Rapat membahas kode etik kira-kira dimulai habis maghrib tanggal 27 Januari 1974. Di rapat ini, Yudhi Hidayat membawa naskah kode etik hasil Jambore Pecinta Alam se-Jakarta Raya. Berikut naskahnya :
SEDIKIT MENGENAI KODE ETIK PENCINTA ALAM
Mendapat kepercayaan dari seluruh pecinta alam untuk membuat paper untuk mengajukan suatu permasalahan mengenai suatu kode etik adalah merupakan kehornatan bagi MAPALA-UI. Akan tetapi dalam hal ini mengingat waktu dan kesanggupan kami yang sangat terbatas, maka kami hanya dapat mengajukan suatu kode etik yang merupakan karya bersama dari atau merupakan cetusan kesadaran bersama dari seluruh pecinta alam se-Jakarta, pada pertemuan Tgl. 1 September 1973.
Suatu kesadaran bersama atas kesamaan hakekat dan tujuan sebagai pecinta alam, telah mencetuskan aturan-aturan yang akan menjadi dasar ikatan antara sesama pecinya alam. Aturan-aturan yang lazim disebut kode etik ini ditaati atas dasar kesadaran pribadi dan kehormatan sendiri sebagai seorang pecinta alam.
Kode etik ini didasari oleh kesadaran akan hakekat dirinya sebagai pecinta alam dalam hubungan dengan alam sebagai keseluruhan. Sehingga dibutuhkan aturan-aturan yang meliputi :
- Bagaimana hakekat hubungan hubungan antara pecinta alam dengan alam.
- Bagaimana hubungan antara pecinta alam dengan masyarakat.
- Bagaimana hubungan pecinta alam dengan sesama pecinta alam.
Atas dasar hakekat-hakekat ini, kemudian dicetuskan suatu pernyataan bersama. Pernyataan ini kemudian diajukan pada Jambore I pecinta alam Jakarta diCibubur yang dihadiri oleh seluruh pecinta alam Jakarta, yang tergabung dalam 26 team pecinta alam dalam wilayah DKI Jakarta.
Kode etik ini disyahkan dan diakui sebagai kode etik pecinta alam Jakarta. Lengkapnya adalah sebagai berikut :
KODE ETIK PECINTA ALAM JAKARTA.
– Pecinta alam Jakarta sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
– Pecinta alam Jakarta sebagai bahagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawabnya terhadap Tuhan, Bangsa
dan tanah air.
– Pecinta alam Jakarta sadar bahwa segenap pecinta alam adalah saudara, sebagai sesama mahluk yang mencintai alam sebagai anugerah Tuhan yang maha Esa.
Sesuai dengan hakekat diatas kami dengan penuh kesadaran menyatakan sebagai berikut :
- Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Memelihara alam serta isinya serta mempergunakan sumber alam sesuai dengan batas kebutuhan.
- Mengabdi kepada bangsa dan tanah air.
- Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya, serta menghargai manusia sesuai dengan martabatnya.
- Berusaha mempererat tali persaudaraan sesama pecinta alam, sesuai dengan azas tujuan pecinta alam.
- Berusaha saling membantu serta saling harga menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah Air.
- SELESAI.
Disahkan dan diketahui oleh seluruh pecinta alam Jakarta, peserta Jambore I pecinta alam Jakarta 1973.
Jakarta, 4 Nopember 1973
a/n Pecinta alam Jakarta,
Panitia Pelaksana Jambore I Pecinta alam
Jakarta 1973.
ttd
( HIDAYAT SUTARNADI )
KETUA.
Demikianlah serba sedikit mengenai kode etik pecinta alam yang menjadi dasar kami, para pecinta alam diJakarta. semoga cetusan kesadaran bersama ini dapat menjadi salah satu bahan sebagai dasar-dasar ikatan kita dalam wadah pertemuan Gladian kita ini.
Jakarta, 22 januari 1974
MAPALA UI – JAKARTA.
( Kode etik ini diketahui dan disahkan bersama oleh seluruh pecinta alam seIndonesia menjadi KODE ETIK PECINTA ALAM SELURUH INDONESIA pada Gladian IV di Ujung Pandang Tgl , 27 s/d 31 Januari 1974 )
Caption foto : Naskah kode etik hasil Jambore Pecinta Alam se-Jakarta Raya yang dibawa Yudhi Hidayat ke Gladian Nasional Pecinta Alam IV Ujung Pandang. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar & Ratdita)
Diskusi atau rapat membahas kode etik ini cukup alot dan berkepanjangan. Waktu terus berjalan, akhirnya pada tanggal 28 Januari 1974 tepat pukul 01.00 WITA, peserta rapat secara aklamasi sepakat mengesahkan Kode Etik Pecinta Alam Indonesia.
Pada dasarnya Gladian Nasional Pecinta Alam yang keempat ini tidak membuat baru naskah kode etik. Hanya mengesahkan naskah hasil Jambore Jakarta yang dibawa Yudhi Sutarnadi.
Makanya isi kode etik yang disahkan di Ujung Pandang ini, hampir tidak ada bedanya dengan isi kode etik hasil Jambore Pecinta Alam se-Jakarta Raya. Perbedaannya hanya pada tulisan “Pecinta Alam Jakarta” diganti “Pecinta alam Indonesia”.
Kemudian di bawahnya ditambah tulisan “Disahkan” dan seterusnya. Penempatan tulisan ini posisinya juga sama dengan posisi tulisan di kode etik hasil Jambore Pecinta Alam se-Jakarta Raya. Butirnya juga sampai 7 yaitu “Selesai”.
Selengkapnya Kode Etik Pecinta Alam Indonesia :
Pecinta alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Pecinta alam Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawabnya terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah Air.
Pecinta alam Indonesia sadar bahwa segenap pecinta alam adalah saudara, sebagai sesama makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Sesuai dengan hakekat di atas kami dengan kesadaran menyatakan sebagai berikut :
- Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Memelihara alam beserta isinya, serta mengggunakan sumber alam sesuai batas kebutuhan.
- Mengabdi kepada Bangsa dan Tanah Air.
- Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya, serta menghargai manusia sesuai martabatnya.
- Berusaha mempererat tali persaudaraan sesama pecinta alam, sesuai dengan azaz dan tujuan pecinta alam.
- Berusaha saling membantu dan saling menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah Air.
- Selesai
Disahkan dalam
Forum Gladian IV di Ujung Pandang
Tanggal 28 Januari tahun 1974
Pukul 01.00 WITA
Yang Benar “Martabatnya”, Bukan “Kerabatnya”
Perjalanan kode etik sendiri rupanya tidak mulus. Begitu ada internet dan media sosial seperti Facebook, ternyata muncul beberapa versi kode etik yang beredar di media sosial yang isinya meyimpang. Baik menyimpang isinya, redaksionalnya, maupun butir-butirnya.
Saya baru mengetahuinya sekitar tahun 2012, yaitu ketika saya dibuatkan Facebook oleh teman.
Peyimpangan atau kesalahan yang sangat fatal adalah di butir 4. Yang seharusnya “martabatnya” diubah menjadi “kerabatnya”. Ini khan artinya jauh banget.
Kesalahan berikutnya yang saya temukan adalah sebagai berikut :
- Pada bagian preambule diberi nomor urut 1,2,3. (Yang benar, tidak diberi nomor urut). e
- Pecinta alam Indonesia adalah (sebagian) bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawabnya kepada Tuhan, Bangsa dan Tanah Air. (Yang benar adalah Pecinta alam Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawabnya terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah Air.
- Sesuai dengan hakekat di atas kami dengan kesadaran menyatakan: (Yang benar adalah Sesuai dengan hakekat di atas kami dengan kesadaran menyatakan sebagai berikut : )
- Memelihara alam beserta isinya, serta mengggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhan. (Yag benar adalah Memelihara alam beserta isinya, serta mengggunakan sumber alam sesuai batas kebutuhan).
- Disahkan dalam Forum Gladian IV di Ujung Pandang. Tanggal 28 Januari tahun 1974. Pukul 01.00 WITA. (Tidak ditulis menjadi 1 baris seperti ini. Tetapi beberapa baris, dan poisisinya di kanan)
- Dan masih ada beberapa kesalahan lainnya.
Caption foto : Contoh dua versi Kode Etik Pecinta Alam yang salah dan sudah tersebar di berbagai blog, Facebook dan media sosial lainnya. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar & Ratdita)
Upaya Meluruskan
Saya akhirnya berinsiatif meluruskan penyimpangan atau kesalahan di kode etik yang sudah terlanjur bertebaran di internet, di blog, Facebook dan media sosial lainnya.
Tetapi serangannya bertubi-tubi. Kebetulan saya juga pendatang baru di medsos. Saya diserang dari sana-sini. Akhirnyaa saya bilang ke mereka, “Saya tidak ada niatan apa-apa, kecuali meluruskan sejarah kode atik sebagaimana adanya”.
Saya juga jelaskan ke mereka, “Kode etik yang berlaku sekarang, berasal dari Jambore pecinta alam di Jakarta yang embrionya berasal dari Gladian Nasional yang kedua di Malang”.
Agar tidak berkepanjangan, saya undang mereka ke rumah saya, untuk saya tunjukkan dokumen yang saya punya. Walaupun naskah asli kode etik sudah tidak ada. Tetapi kebetulan saya sempat mengutipnya, menyalinnya, sehingga saya masih punya.
Beberapa orang yang menyerang saya, ada yang datang ke rumah saya. Teman saya bernama Leo dari Aranyacala Trisakti juga mampir ke rumah saya. Dia kaget begitu saya tunjukan naskah kode etik pecinta alam yang saya punya. Termasuk dokumen-dokumen lainnya.
“Wiro kamu dapat dari mana?” tanya Leo.
Saya jawab, “Saya nyalin”.
“Aku aja nggak punya. Oke saya foto dokumen-dokumen ini”, kata Leo lagi. Saya tentu mempersilah dia ikut menyimpan dokumen yang saya punya.
Don Hasman juga menghubungi saya. Don Hasman ikut Gladian Nasional yang keempat di Ujung Pandang. Don Hasman minta agar saya menyebar dokumen yang saya punya. “Kita nggak tahu umur kita sampai berapa,” kata Don Hasman.
“Iya, siap”. Begitu jawaban saya terhadap permintaan Don Hasman dan permintaan teman-teman saya sesama pecinta alam di Indonesia. (jw).
Foto || Wartapala
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB & Ratdita Anggabumi T, WI 190039
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)