Tantangan Pencinta Alam Dalam Merespon Risiko Bencana Industri

Oleh : Sofyan Eyanks
Kordinator Perhimpunanan Sanggabuana.

Anggota Kappala Indonesia.

Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Indonesia secara alamiah dan ditakdirkan sebagai wilayah dengan ragam ancaman. Baik yang bersifat geologis, hidrometerologis maupun sosial. Tata kelola sumber daya yang tidak mempertimbangkan faktor lingkungan dan risiko bencana, menempatkan ancaman yang telah ada semakin meningkat bahkan memunculkan ancaman-ancaman baru yang berpotensi bencana. Tidak sedikit wilayah yang sebelumnya bukan merupakan kawasan banjir, saat ini telah menjadi wilayah yang konsisten terpapar banjir setiap musim penghujan. Dan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.

BNPB mencatat sepanjang tahun 2023, tercatat 5.400 kejadian bencana yang dilaporkan oleh BPBD diseluruh wilayah Indonesia. Dari jumlah tersebut, 99,35 %-nya merupakan hidrometeorologis. Kebakaran hutan dan lahan menduduki peringat teratas dengan 2.051 kejadian, disusul cuaca ekstrim sebanyak 1.261 kejadian dan banjir sebanyak 1.255 kejadian.

Kejadian lain yang terdata terkait iklim adalah tanah longsor 591 kali, kekeringan 174 dan gelombang pasang dan abrasi sebanyak 33 kejadian. Sedangkan sisanya sebanyak 0,65 % berupa bencana geologis berupa gempa bumi dan erupsi gunung api.

Dampak dari kejadian tersebut menyebabkan 275 jiwa meninggal dunia, 5795 terluka serta menyebabkan penduduk terdampak dan mengungsi sebanyak 8.491.288 jiwa. Selain dampak terkait dengan manusia dan sistem sosial, bencana yang terjadi juga menyebabkan dampak terhadap ekonomi, infrastruktur maupun lingkungan.

Catatan bencana tahun 2023 mengalami peningkatan sebanya 52,37 % dibanding tahun 2022 yang tercatat sebanyak 3.542 kejadian. Namun dilihat dari sisi dominasi kejadian, bencana hidrometeorolgis tidak mengalami perubahan yang signifkan. Prosentese kejadiannya pada angka 99 %. Kondisi ini menunjukan signifikannya pengaruh iklim dalam membentuk dan memicu krisis dan bencana. sekalipun terdapat faktor lain yang juga berkontribusi dalam membentuk risiko yang ada, seperti terganggunya fungsi ekologis, alih fungsi lahan.

Bencana industri merupakan ancaman yang “dihadirkan” pada satuan wilayah. Kehadiran risiko pada dasarnya telah disadari sebagai implikasi dari adanya intervensi yang menyebabkan perubahan peruntukan dan fungsi dari ekosistem setempat. Alasannya bisa beragam seperti bagian dari pembangunan, pengembangan kawasan atau meningkatkan kesejahteraan (ekonomi). Ancaman yang ditumbulkan dari industri bisa beragam.

Selain bencana yang dikenal dengan kegagalan teknologi seperti jebolnya dam, pencemaran, radiasi, gas beracun atau ledakan dan kebakaran, bencana juga dapat terjadi karena bersinggungan dengan fenomena alam. Banjir, banjir bandang atau longsor, kebakaran hutan dan lahan mendominasi kejadian-kejadian berpadunya faktor alam dan kerusakan ekologis akibat eksploitasi SDA yang mengabaikan keseimbangan linkungan dan risiko bencana.

Ke depan, pontesi kerusakan dan kehilangan yang berpotensi terjadi di Indonesia akan semakin besar akibat perubahan iklim. Potensi tersebut tidak saja pada kerusakan dan kehilangan yang langsung dapat terlihat akibat kejadian bencana yang bersifat cepat (sudden onset disaster), tapi juga akan menghadapi lebih banyak bencana yang bersifat perlahan (slow onset).

Bencana industri, baik yang bersifat tunggal maupun berpadu dengan fenomena alam serta bencana yang bersifat perlahan menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaannya. Tantangan dalam menekan risiko sangat kompleks karena bersinggungan dengan berbagai kepentingan yang dibungkus dengan terget-target pembangunan, jargon kesejahteraan, peningkatan pendapatan sektor ekonomi, modernisasi dll.

Peran Pencinta Alam Dalam Penanggulangan Bencana
Organisasi Pencinta Alam (OPA) memiliki karakteristik unik. Selain kerap mewarnai aksi-aksi konsevasi dan pembelaan lingkungan, OPA juga selalu hadir pada aksi-aksi sosial dan kemanusiaan seperti operasi bakti sosial, pencarian dan pertolongan (SAR) atau terlibat aktif saat adanya krisis bencana. Tidak sedikit OPA juga telah bekerja bersama masyarakat pada fase siaga darurat (sebelum adanya kejadian yang berpotensi bencana) atau terus melakukan programnya pascabencana pada fase pemulihan (recovery).

Keunikan yang menonjol dari aksi OPA adalah kecepatan dalam bertindak. Prinsip “sampai dulu ke lokasi, urusan lain menyusul”. Prinsip ini merupakan gambaran fleksibilitas peran yang dapat dilakukan akan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Sehingga tidak mengherankan jika anggota-anggota OPA telah berada di lapangan satu atau dua hari pasca kejadian. Berbaur dengan relawan bencana lain dengan berbagai kerja-kerja, khususnya pada bidang pencarian dan pertolongan, evakuasi atau distribusi logistik.

Karakteritik unik lain dalam respon darurat bencana adalah ikatan persaudaraan sesama OPA. Relawan OPA dari berbagai daerah dan organisasi akan disatukan satu pos koordinasi yang dikelola pencinta alam sendiri. OPA tempatan atau sekretariat bersama OPA di wilayah bencana atau yang terdekat, umumnya menjadi tuan rumah dan mengkonsolidasikan berbagai sumberdaya OPA dari luar daerah yang terlibat.

Mereka akan membuat sistem pengelolaan respon darurat secara mandiri. Dari mulai penjajakan dampak bencana dan kebutuhan penyintas, penggalangan sumber daya, distribusi maupun pendampingan pos pengungsian. Pada proses pencarian dan penyelamatan dan evakuasi, tim dari OPA umumnya bergabung dengan tim lain yang dipimpin Basarnas.

Tidak ada yang bisa menafikan kecepatan dan kehadiran pencinta alam pada setiap krisis akibat bencana. Namun tidak sedikit yang mulai mempertanyakan efektifitas kehadirannya dibandingkan energi dan sumber daya yang sungguh dimiliki. Kritik atas efektifitas tidak terlepas dari banyaknya peran-peran yang dapat dilakukan dan kembangkan OPA dalam PB. Baik prabencana, saat maupun pascabencana.

Hal yang menarik dari banyaknya kritik tersebut adalah datang dari aktivis pencinta alam sendiri yang telah mulai lebih sistematis kerena telah bekerja pada lembaga terkiat PB. Baik sebagai ASN maupun organisasi non pemerintah (Ornop). Namun tidak jarang kritik internal juga dari aktivitas OPA yang masih aktif di organisasinya.

Salah satu yang kerap muncul dalam dialog peran pencinta alam adalah terlalu fokusnya OPA pada pancarian dan keselamatan (SAR). Sementara, kapasitas yang dimiliki sebagian besar OPA tidak pada pencarian dan penyelamatan kasus bencana. Pendidikan PA pada aktivitas SAR untuk gunung hutan, pertolongan vertical, penyelamatan di sungai dengan jumlah penyintas yang terbatas. Kondisi ini tentu berbeda dengan kondisi bencana pada umumnya. Jumlah penyintas atau korban jiwa dengan jumlah banyak. Penyintas dan korban yang perlu ditangani sesuai dengan jenis bencananya. Besar kemungkinan, materi penanganan penyintas terkena awan panas erupsi gunung api belum pernah diperoleh, menyelamatkan warga tertimbun runtuhan bangunan, longsor atau jenis lainnya.

Selain pencarian dan pertolongan yang menyisakan kesenjangan (gaps) terkait kapasitas, OPA juga kerap terlibat dalam distribusi logistik. Yang sebelumnya juga secara mandiri melakukan penjajakan cepat (rapid assessment).

Pada fase awal, OPA umumnya telah membawa logistik yang dikelola sendiri lewat penggalangan donasi. Pada tahap lanjut, bersama pos pengungsian secara bersama-sama menggalang dukungan logistik yang ada di wilayah bencana. Baik yang dikelola pemerintah maupun lembaga-lembaga kemanusiaan.

Peran-peran ini sangat penting dan menarik untuk dicermati dan berpotensi untuk dikembangkan. Pendekatan yang dipilih dengan langsung tinggal di pengungsian atau lokasi bencana, menjadikan OPA dalam respon bencana lebih menyatu. Dan ini jarang dilakukan oleh lembaga kemanusiaan dari organisasi lain, termasuk pemerintah.  

Jika proses menemani penyintas juga dilakukan secara sistematis dan terukur, proses pemulihan dan pembangunan kembali pascabencana di wilayah tersebut berpeluang lebih cepat dilakukan. Tantangannya adalah, seberapa besar pengetahuan dan kemampuan dalam pengoranisasian masyarakat, berjejaring dan advokasi terkuasai pada proses pendampingan? Sehingga tidak saja hak pemenuhan kebutuhan dasar warga negara sebagai penyintas terpenuhi, tapi juga terjadinya percepatan pemulihan dan pembangunan kembali berbasis sumber daya lokal.

Menutupi Kesenjangan Peran OPA Dalam PB
Terdapat banyak media untuk menutup kesenjangan dalam PB, khususnya pada fase tanggap darurat dan pemulihan. Salah satu yang paling mungkin adalah dengan menempatkan materi terkait PB, khususnya tanggap darurat dan pemulihan sebagai materi pendidikan dasar OPA. Sebagai pengetahuan terapan, materi ini tidak cukup hanya sebatas teori. Tapi juga membutuhkan praktik untuk memastikan siswa/peserta/mitra latih menguasai atau trampil serta memiliki kepekaan sebagai dasar terjadinya perubahan perilaku.

Peluang lain adalah latihan gabungan (Latgab) yang melibatkan berbagai OPA. Latgab dapat menjadi bagian dari program Sekretarian Bersama PA, Pusat Koordinasi Daerah (PKD) Mapala atau Forum Pengurangan Risiko Bencana yang ada di masing-masing daerah. Kegiatan peningkatan kapasitas terkait PB juga dapat menjadi agenda even nasional seperti Gladian PA atau Temu Wicara dan Kenal Medan (TWKM) Mapala Se Indonesia.

Jika instansi pemerintah atau pemerintah daerah menganggap OPA sebagai pontensi dalam PB, sudah seharusnya mereka pun menempatkan peningkatan kapasitas dan konsolidasi OPA sebagai salah satu agenda penting. Bukan hanya menunggu untuk dilibatkan atau mendapatkan undangan, baru terlibat. Karena bagaimanapun, Konstitusi memandatkan pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam PB. Termasuk menyiapkan sumber daya potensial yang mampu mendukung upaya PB.

PB termasuk operasi tanggap darurat saat ini telah menjadi bagian dari profesi. Tidak hanya sekedar kerja-kerja kesukarelawanan. BNPB sendiri telah membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Kehadiran LSP yang mengukur tingkat kompetensi dengan pembuktian sertifikat menarik dicermati. Apalagi jika kepemilikan sertifikat menjadi dasar boleh/tidaknya seseorang teribat dalam PB, dari mulai pra, saat maupun pascabencana.

Polemik tentu akan mewarnai kebijakan ini antara yang pro dan kontra sertifikat sebagai bukti kompetennya seseorang. Namun terlepas dari polemik tersebut adalah kembali pada tanggung jawab negara dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara dari ancaman dan bencana, memenuhi kebutuhan dasar sesuai standar minimum, serta mencegah dan menekan risiko bencana yang berpotensi terjadi. Seberapa besar sumber daya yang tersedia dan upaya apa yang dibutuhkan agar mandat konstitusi tersebut dapat dijalankan. Baik sebagai pemerintah sebagai penyelenggara, sektor bisnis yang berusaha mendapatkan keuntungan, maupun orang per orang sebagai warga negara.

Latihan gabungan atau pendidikan terkait kebencanaan untuk pencinta alam dapat menjadi ruang bagi pemerintah/pemerintah daerah menyiapkan tenaga relawan dengan kompetensi yang mumpuni. Investasi menyiapkan sumber daya dapat dilakukan secara masif pada tingkat provinsi atau kabupaten, di mana telah terdapat BPBD hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini juga akan dapat lebih mempermudah konsolidasi, koordinasi maupun komando saat respon darurat terjadi. Bagi aktivis pencinta alam yang mengikuti pelatihan dan kompetensi, sertifikat kompetensi sebagai modalitas memasuki kerja profesional pada bidang PB.

Mensikapi dan Peran Dalam Mengelola Risiko Bencana Industri
Peran PA pada bencana-bencana yang bersifat tiba-tiba (sudden onset) tidak perlu diperdebatkan. Baik bencana yang dipicu aktivitas geologis maupun hidrometeorologis. Tapi seberapa besar keterlibatan OPA pada pengelolaan risiko bencana yang bersifat perlahan (slow onset) yang dipicu dampak perubahan iklim dan faktor-faktor kerusakan ekologis. Bagaimana juga mensikapi bencana industri yang berpotensi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Pulau-pulau kecil kaya mineral seperti nikel, timah, emas dll, gas dan minyak bumi saat ini sedang menglami kegentingan. Kerusakan yang ditimbulkan akibat eksploitasi SDA begitu masif. Tidak hanya pembongkaran untuk mengangkat bahan tambang, operasional pendukung juga turut andil memperburuk kondisi wilayah pulau yang secara alamiah memiliki tingkat kerentanan tinggi. Penyediaan energi listrik berbahan bakar fosil melalui pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pembukaan tutupan lahan, reklamasi pantai sampai penyediaan tempat limbah pertambangan (tailing), mengancam ekosistem kawasan pulau dan kehidupan warga tempatan.

Kompas menurunkan berita pada tanggal 16 Januari 2024, terdapat 218 izin usaha pertambangan di 34 pulau kecil[1]. Sekalipun Mahkamah Konstitusi telah menolak Uji Materiil Undang-undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K) yang diajukan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) dalam sidang putusan gugatan 21 Maret 2024[2] untuk melarang pertambangan di pulau kecil, namun realitas tidak berpengaruh. Aktivitas pertambangan masih terus berlangsung bermodalkan Keputusan Menteri ESDM, sekalipun secara hirarki kebijakan melanggar kebijakan yang lebih tinggi; Undang-undang.

Banjir besar yang terjadi di Halmahera Tengah, Maluku Utara tanggal 20 Juli 2024 yang merendam empat desa di Kecamatan Weda dan berdampak pada 6.567 jiwa dan 12 desa di Halmahera Timur menjadi satu contoh implikasi aktivitas pertambangan dan tinggi intensitas curah hujan yang menyebabkan banjir besar.

Merujuk data curah hujan selama 30 tahun, intensitas yang menyebabkan banjir tidak lebih tinggi dari curah hujan sebelumnya. Curah hujan tertinggi tercatat 100 mm pada bulan Juni 2005. Hal yang menarik, tidak terdapat catatan kejadian banjir pada bulan dan tahun tersebut.

Pulau Halmahera memiliki luas 17.780 Km2 atau 1.778.000 ha. Kajian Jaringan Advokasi Tambang menyebutkan, 655.581,43 ha dari luas pulau Halmahera merupakan konsesi tambang dari 127 izin usaha pertambangan (IUP). Data dari Global Forest Watch, dalam 22 tahun (2001 – 2023), Halmahera telah kehilangan 163.200 hektar hutan. Sedangkan Provinsi Maluku Utara sendiri kehilangan 268.000 hektar tutupan pohon. Nilai ini setara penurunan 8,7%, atau 206 metrik ton emisi karbondioksida[3].

Kasus di atas merupakan praktik eksploitasi legal, namun mengabaikan hal yang paling prinsip pada negara berlandaskan hukum, mengabaikan keseimbangan lingkungan maupun pemenuhan hak asasi manusia. Bagaimana dengan praktik ilegal yang juga marak diberbagai wilayah. Dari mulai tambah pasir dan batu, batu bara, emas, timah dan lain-lain. Tentu dampaknya tidak kalah besar dan berkontribusi terhadap peningkatan risiko bencana, baik akibat meningkatnya faktor ancaman dan tingkat kerentanan maupun menurunkan tingkat kerentanan.

Pada kasus bencana industri tersebut, di mana peran dan posisi pencinta alam? Saat bencana terjadi seperti yang terjadi pada Juni 2024, peran OPA tentu sudah cukup jelas. Karena tidak berbeda dengan penanganan bencana lain. Dari mulai pencarian dan penyelamatan, pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar, sampai menyiapkan pemulihan paska bencana.

Namun fakta yang disuguhkan pada kasus bencana industri adalah: ”risiko yang dihadapi masyarakat akan tetap dengan kondisi yang semakin memburuk”. Baik dari sisi besaran ancaman, peningkatan kerentanan maupun kapasitas yang akan terus melemah. Karena faktor-faktor pembentuk risiko tidak tersentuh. Semua akan kembali beraksi saat kembali terjadi kondisi krisis.

Hal yang perlu dicermati dalam kerja-kerja kemanusiaan bencana industri adalah pemanfaatan sumberdaya dari perusahaan yang berkontribusi terhadap bencana itu sendiri. OPA perlu cermat dalam membedakan antara tanggung jawab perusahaan yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan bencana dan bentuk bantuan. Sehingga jika pun harus menerima sumber daya untuk respon bencana, hal tersebut sebagai bentuk tanggung jawab yang memang semestinya harus dilakukan.

Dalam konteks tersebut, tidak seharusnya dijadikan kamuflase bagi perusahaan untuk kampanye atau menaikan citra diri kepedulian atas kemanusiaan. Kondisi ini akan menempatkan OPA tetap independen dan kritis untuk menekan perusahaan tidak melepaskan tanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat.    

Untuk sampai pada daya kritis dalam kerja-kerja kemanusiaan, OPA perlu terus membuka diri terhadap berbagai informasi, pengatahuan, mengembangkan jejaring dan terus meningkatkan kapasitas. Bekerja bersama dengan organsasi lain di luar OPA dapat dijajaki dengan tetap teguh pada prinsip dan Kode Etik Pecinta Alam yang kita miliki dan jaga bersama. Kita tentu tidak rela jika kerja kita dengan jiwa kesukarelawanan dimanfaatkan manusia tidak bertanggung jawab untuk berbagai kepentingan pribadi atau golongan. (sy).

Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Sumber Bacaan 

[1] https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/01/16/34-pulau-kecil-di-indonesia-terancam-kegiatan-pertambangan

[2] https://www.walhi.or.id/mahkamah-konstitusi-tolak-uji-materiil-uu-pwp3k-oleh-pt-gkp-pertambangan-di-pulau-pulau-kecil-di-seluruh-indonesia-harus-segera-dihentikan

[3] https://www.mongabay.co.id/2024/08/11/marak-industri-nikel-di-halmahera-berujung-bencana/

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.