Mapala, Krisis Iklim dan Perannya

Oleh : Wahyu Eka Styawan
Direktur WALHI Jawa Timur

Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Krisis iklim semakin nyata mengancam kehidupan sehari-hari. Suhu ekstrem yang mencapai 39–40 derajat Celsius di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang telah meningkatkan risiko gangguan kesehatan bagi masyarakat.

Di saat yang sama, ribuan desa di Pulau Jawa menghadapi krisis air bersih akibat kekeringan berkepanjangan. Belum lagi banjir dan longsor yang terus melanda berbagai wilayah, seakan menegaskan betapa seriusnya situasi ini.

Sejalan dengan Catatan BNPB yang menunjukkan bahwa sepanjang 2024, sekitar 98 persen bencana yang terjadi berkaitan langsung dengan iklim. Semua ini menandakan bahwa krisis iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan realitas yang harus kita hadapi hari ini.

Dalam kondisi tersebut, alam sebenarnya telah memberi isyarat bahwa keseimbangannya terganggu. Sumber air yang mengering, hutan yang gundul, hingga hujan yang semakin tak menentu merupakan tanda-tanda yang sering kita abaikan.

Setiap bencana seharusnya dipahami lebih dari sekadar angka statistik, karena di baliknya ada dampak sosial dan emosional yang nyata: kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan rasa aman. Kenyataan ini semestinya menjadi pengingat kuat bahwa krisis iklim benar-benar hadir di sekitar kita.

Di tengah situasi pelik ini, saya teringat pada teman-teman muda yang tergabung dalam Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Mereka yang terbiasa mendaki gunung, menjelajahi hutan, dan menelusuri sungai kini juga menjadi saksi rapuhnya alam yang mereka cintai.

Karena itu, peran Mapala sebagai generasi muda tidak lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah panggilan. Panggilan untuk menjaga bumi, memastikan ia tetap layak dihuni, dan mengembalikannya secara utuh kepada generasi yang akan datang.

Dinamika Mapala
Yang membedakan Mapala dengan organisasi pemuda lainnya adalah pengalaman langsung mereka bersama alam. Saya teringat cerita seorang kawan Mapala yang menjadi relawan di sebuah desa lereng gunung pasca banjir bandang. Ia bercerita, yang paling membuatnya terhenyak bukan hanya rumah-rumah yang hanyut, melainkan keceriaan anak-anak desa yang hilang karena ruang belajar dan bermain mereka ikut lenyap.

Dari pengalaman itu ia menyadari bahwa bencana iklim bukanlah sekadar angka statistik, melainkan peristiwa nyata yang mengubah kehidupan orang banyak.

Kedekatan Mapala dengan alam juga membentuk kepekaan ekologis yang khas. Mereka bisa merasakan perubahan kecil yang sering luput dari perhatian kita yang hidup jauh dari alam—jalur pendakian yang dulu hijau kini gundul, atau sumber air di pos pendakian yang semakin kering. Karena itu, pengalaman Mapala tidak berhenti pada petualangan. Mereka juga menjadi saksi langsung atas kerusakan lingkungan dan dampak nyata krisis iklim.

Namun, jalan yang ditempuh oleh Mapala tidak selalu mudah. Banyak kampus masih memandang mereka sebatas unit hobi yang identik dengan tenda, tali, dan pendakian. Padahal, aksi-aksi Mapala sering kali menyentuh ranah sosial dan lingkungan. Minimnya dukungan kelembagaan, terutama finansial, membuat banyak kegiatan harus dijalankan dengan swadaya.

Akibatnya, anggota Mapala kerap kelelahan: di satu sisi harus menunaikan kewajiban akademik, di sisi lain mengelola organisasi sekaligus mencari dana untuk mendukung program kerja.

Lebih jauh, saya juga melihat adanya jurang antara pengalaman lapangan Mapala dengan wacana kebijakan. Mereka mampu bercerita tentang hutan yang rusak atau hilangnya keanekaragaman hayati, tetapi kesulitan menjembatani pengalaman itu ke ruang-ruang pengambilan keputusan.

Situasi itu sejalan dengan catatan Hwang (2025) “Supporting youth participation and action in climate change: rhetoric of policy and actuality in schools, youth centers, and youth activism,” bahwa meskipun partisipasi pemuda kerap disebut dalam retorika kebijakan iklim, dalam praktiknya ruang yang benar-benar substantif masih terbatas.

Mapala di Tengah Krisis Iklim
Mapala, sebagai bagian dari generasi muda, juga merasakan langsung bagaimana krisis iklim berlangsung. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemuda mengalami dampak iklim tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional.

Jone (2023) “Life in the shadows: Young people’s experiences of climate change futures,” melalui surveinya di Australia, menemukan bahwa remaja berusia 15–19 tahun merasa seakan “berkejaran dengan waktu” dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti akibat krisis iklim. Mereka diliputi kegelisahan, kemarahan, bahkan rasa berduka atas masa depan yang tampak suram.

Keresahan itu, menurut saya, juga nyata di kalangan pemuda di Indonesia. Bedanya, Mapala punya cara khas untuk menyalurkan kegelisahan tersebut. Melalui pengalaman mereka, keresahan itu diterjemahkan ke dalam aksi: menjaga hutan, membersihkan sungai, atau mengkampanyekan isu lingkungan. Aktivitas-aktivitas ini bukan sekadar hobi, melainkan jawaban atas kecemasan tentang masa depan.

Riset Luthfia (2025) “The Role of Youth in the Implementation of Climate Change Policies in Indonesia,” menegaskan bahwa pemuda di Indonesia berperan penting dalam mendorong implementasi kebijakan iklim, misalnya melalui organisasi seperti WALHI atau Greenpeace. Saya rasa, Mapala bisa mengambil posisi serupa—menjembatani pengetahuan akademik, pengalaman lapangan, dan gerakan sosial.

Keunikan Mapala justru terletak pada kemampuannya menghubungkan berbagai ruang. Dari gunung, mereka membawa cerita tentang ekosistem yang rapuh. Dari kampus, mereka memiliki akses pada pengetahuan akademik dan jaringan mahasiswa. Dari masyarakat, mereka belajar langsung mengenai dampak nyata bencana iklim.

Jika ketiga ruang ini dijalankan bersama, Mapala punya modal besar untuk menghadapi krisis iklim. Bayangkan jika setiap ekspedisi tidak hanya menghasilkan catatan perjalanan, tetapi juga laporan kondisi ekosistem yang dibagikan ke publik, atau bahkan dijadikan bahan advokasi di tingkat daerah.

Dengan begitu, peran Mapala tidak berhenti pada petualangan, melainkan turut menyumbang narasi besar tentang perlawanan terhadap krisis iklim.

Refleksi untuk Mapala
Sebagai penutup, saya meyakini bahwa keberadaan Mapala tidak seharusnya dipandang hanya sebagai komunitas pecinta alam atau sekadar unit hobi di kampus. Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, pengalaman langsung mereka di lapangan serta kedekatan dengan alam justru menjadi modal berharga yang jarang dimiliki organisasi pemuda lain.

Jika pengalaman itu dapat dipadukan dengan pengetahuan akademik dan diperkuat melalui keterlibatan dalam gerakan sosial, Mapala berpotensi menjadi bagian penting dalam upaya kolektif melawan krisis iklim.

Ke depan, tantangan terbesar bagi Mapala adalah memastikan setiap langkah, pendakian, ekspedisi, maupun aktivitas di alam bebas dapat memberi kontribusi yang lebih luas. Petualangan tidak cukup berhenti sebagai kebanggaan pribadi, melainkan harus bergerak menuju advokasi, pendidikan publik, hingga peran sebagai mitra kritis dalam mendorong kebijakan iklim yang lebih adil.

Dengan begitu, Mapala tidak hanya hadir sebagai penikmat gunung dan hutan, tetapi juga sebagai penjaga dan bagian dari gerakan yang memastikan alam tetap lestari bagi generasi mendatang. (WES). 

Foto || PKN Mapala se-Indonesia
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

 

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.