Persimpangan Kiri ‘Mapala’

Oleh : Muhammad Riski
Orang biasa yang senang bergiat di alam bebas

Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Lalu apa arti menjadi Mahasiswa Pencinta Alam bagi dirimu, kampus, lingkungan kota & desa, alam, negara, hingga bagi kehidupan yang luas ini? Untuk apakah Mahasiswa Pencinta Alam ada sebagai sebuah organisasi? Dan kenapa mesti kata cinta yang digunakan untuk menggambarkan orientasi sebuah kelompok terhadap alam?

Bahwa sebenarnya penggunaan kata ‘Mapala’ merupakan sebuah polemik bagi kami, karena secara historis kami turut menghargai penamaan awal mula ‘Mapala’ lahir dari ide segar kawan-kawan di UI (Universitas Indonesia) yang pada saat itu dipelopori Soe Hok Gie atau akrab disapa Gie.

Oleh karena itu merekalah yang berhak disebut sebagai ‘Mapala’ yang terjemahannya tidak sesempit ‘Mahasiswa Pencinta Alam’ semata. Lebih dari itu ‘Mapala’ secara etimologi dapat diartikan sebagai “berbuah” dan jika dilengkapi berdasarkan catatan sejarah dikenal sebagai ‘Mapala Prajnaparamita’ dengan makna yang sangat dalam yakni “dewi pengetahuan”.

Penggunaan kata tersebut diharapkan mampu menjadi wadah bagi seluruh jenis ilmu pengetahuan untuk bertumbuh dan berbuah lebat dalam lingkup Mahasiswa Pencinta Alam, sebagaimana buah-buah pengetahuan tersebut akan dipetik satu persatu sebagai obat perubahan bagi seluruh sistem yang bobrok di tanah air. Kelompok ini hadir dengan membawa semangat idealisme yang berorientasi pada mereka yang terpinggirkan.

Arti patriotisme bagi kami dapat dicapai dengan hidup di alam dan hidup bersama rakyat kebanyakan. Sebab patriotisme yang sehat tidak mungkin timbul melalui slogan, indoktrinasi, maupun poster-poster, melainkan dibina atas partisipasi yang aktif dari seseorang melalui penyatuan hidup di tengah-tengah alam dan rakyat Indonesia pada umumnya. Adalah hal yang mustahil bahwa cinta tanah air dapat timbul melalui jendela-jendela rumah dan mobil yang mewah. Sebab pembicaraan di sana hanya berujung pangkal pada akumulasi kapital.

Jadi awal-mula organisasi Pencinta Alam dilahirkan bukanlah sekedar untuk melepas hasrat berpetualang, melainkan wadah bagi para mahasiswa agar dapat mencintai tanah air Indonesia dari dekat dengan cara berkunjung ke pedalaman, serta turut merasakan ketragisan hidup di tengah-tengah alam dan rakyat.

Maka dari itu, hal paling fundamental dan esensial bagi para Mahasiswa Pencinta Alam adalah berdiri bersama rakyat yang terpinggirkan dan dengan hormat menerjemahkan bahasa-bahasa desa untuk dikabarkan kepada para penguasa bahwa kehidupan lekat dengan proses memanusiakan manusia. Atau bisa saja hari ini mereka akan turut serta dalam membela habis-habisan kelestarian lingkungan hidup.

Penggunaan kata ‘Mapala’ atas dasar pertimbangan tertentu dilakukan sebab mungkin lebih akrab di telinga kawan-kawan pembaca sekalian. Tapi mari bersama-sama meluruskan apa yang bengkok.

Secara historis, ‘Mapala’ bukanlah sebuah akronim Mahasiswa Pencinta Alam tetapi memiliki arti yang jauh lebih mulia. Oleh karena itu secara sehat dan sadar kami sebisa mungkin tidak menyebut diri sebagai ‘Mapala’ melainkan MPA. Salam hormat dari kami para MPA (Mahasiswa Pencinta Alam) yang tidak akan lepas dari dinamika apa pun.

Pada abad ke-18 suatu bangunan besar yang disebut peradaban muncul dengan segala arsitek pikiran (baca: pencerahan). Menguasai segala tatanan manusia yang berlandaskan pada spirit penuhanan atas nalar rasional beserta slogan besarnya: bahwa manusia merupakan pusat segala kehidupan. Pembangunan peradaban ini dirayakan secara saksama sebagai bentuk ekspresif kemenangan rasio yang berhasil mematahkan jeruji-jeruji mitologi dan otoritas tiran hingga agama.

Konsekuensi logisnya perubahan paling radikal mengemuka di seluruh elemen, mulai dari pandangan hidup, polarisasi, hingga struktur sosial ikut tercemar dengan semangat antroposentrisme yang sangat dominan. Bendera kemenangan seolah dikibarkan untuk mengumumkan kepada dunia bahwa manusia telah berhasil menaklukkan alam. Manusia dengan segala keunggulannya dalam bidang ilmu pengetahuan memperlihatkan dirinya telah melampaui era mistis dan mencapai logos.

Saat ditelisik dari garis perkembangan manusia atas penguasaannya terhadap alam, sejarah akan berkata demikian, pada Abad Pertengahan manusia menguasai alam menggunakan alat bernama agama. Jadi potensi-potensi manusia yang teraktualkan untuk menjadi subjek superior dibandingkan dengan entitas lain (seperti alam) dianggap tidak melenceng, sebab memiliki bantuan validasi dari kitab-kitab suci. Melawan hal demikian sama saja melawan perintah Tuhan yang ujungnya adalah dosa.

Lantas, siapa yang punya keberanian tinggi dalam melawan ketidakseimbangan tersebut? Terlebih dengan dalih otoritas agama. Sedangkan pada Abad Pencerahan, rasiolah yang menjadi alat untuk memvalidasi penguasaan manusia atas alam.

Cogito Ergo Sum adalah postulat Cartesian paling terkenal yang menandakan ada keistimewaan yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh entitas lain. Kemampuan rasional menjadi segalanya, sehingga pengukuran terhadap objek tertentu didasarkan pada parameter rasio untuk dapat dikatakan bernilai. Atas dasar alasan itu seluruh fondasi antroposentrik dibentuk.

Adanya transisi dalam memandang alam berdampak pada berubahnya pola hidup manusia. Terlebih saat ditemukannya mesin uap oleh James Watt, kemudian industri besi hingga alat tekstil. Kehadiran mesin produksi tentu berbanding lurus dengan adanya efisiensi tertentu yang memicu terjadinya kepesatan dalam berbagai bidang.

Mesin-mesin tersebut pada akhirnya menjadi simbolisasi keunggulan manusia di atas alam. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam tanpa memperhitungan gejala-gejala ekologis yang akan muncul di kemudian hari menjadi sangat dominan. Bencana ekologis juga dikesampingkan. Atas dasar itu pulalah tidak keliru untuk mengatakan gagasan antroposentrik adalah akar penyebab terjadinya eksploitasi alam secara besar-besaran sebagaimana manusia mengandaikan alam sebagai sumber pemuas segala kebutuhan manusia.

Kerusakan alam digambarkan dengan jelas oleh Aldo Leopold melalui penuturan pengalamannya saat berada di tengah keindahan alam liar Wisconsin sekaligus menggugat kematian alam liar yang dahulu pernah ada dengan ekspresi kesedihan: “Hutan belantara merupakan komponen yang mulanya alami, tetapi dirusak manusia dengan artefak/temuan yang disebut peradaban.”

Manusia mendikte alam layaknya property, sebab merasa pantas dan layak melakukan eksploitasi terhadap alam berdasarkan asumsi kemampuan akalnya.

Bagaimana Seharusnya para ‘Mapala’ Menilai Alam?
Berdasarkan semangat pencerahan dengan fondasi gagasan antroposentrisme yang kuat berhasil mewariskan tradisi pengetahuan yang mendikotomi subjek (manusia) dan objek (alam). Sebagaimana dalam bangunan epistemologi Cartesian yang memisahkan dua bentuk realitas, yaitu res cogitan, pikiran, rasio, atau gagasan dan res extansa, materi atau sering diandaikan sebagai tubuh. Dualisme realitas ini tentu membawa pengaruh besar sebagai acuan interaksi antara manusia dan alam. Hal inilah yang membawa pemisahan cukup ketat antara subjek dan objek.

Alam dianggap tidak bernilai dengan alasan tidak memiliki kualitas rasional, sedangkan manusia dengan segala bangunan kesadaran yang rasional menganggap wajar untuk mengeksploitasi alam dengan dalih: hanya entitas manusia yang memiliki nilai intrinsik “aku berpikir, maka aku ada.” Seolah-oleh keduanya tidak saling mempengaruhi atau memiliki konektivitas satu sama lain.

Padahal jika ditelisik lebih jauh, kesadaran rasionalitas yang dimiliki oleh subjek (manusia) tumbuh dengan proses yang rumit dan subtil saat berelasi dengan objek (alam). Tanpa objek kesadaran tentu tidak akan berbuah manis. Kesadaran selalu sebagai kesadaran mengenai objek, bukan kesadaran tanpa bangunan material sebagai basisnya. Sebagaimana dalam pemaparan Edmund Husserl mengenai epoche, dijelaskan bahwa kesadaran adalah kesadaran tentang sesuatu. Husserl ingin menyampaikan bahwa kesadaran bukan sesuatu yang otonom dan sendiri seperti dalam ide Cartesian.

Berdasarkan kerangka Husserl, kesadaran terdiri atas dua sumbu. Pertama adalah Noesis, yakni sumbu aku atau subjek yang menghasilkan putusan, nilai, rasa suka-tidak suka. Kedua ialah Noema, bagaimana subjek menyaksikan objek apa adanya.

Sebagaimana bangunan episteme Husserl bahwa persinggungan subjek dan objek akan menghasilkan kesadaran yang terarah (mental intentive). Subjek akan menyaksikan sekaligus mengalami objek, konektivitas tersebut yang akan menumbuhkan nilai, pendapat, perasaan, makna tentang persinggungan tersebut.

Oleh karena itu akan sangat mustahil memupuk rasa hormat terhadap alam beserta isinya jika tidak dilandasi dengan renungan-renungan ontologis yang menempatkan alam dan manusia dalam posisi yang saling terkoneksi. Persinggungan-persinggungan tersebut akan membuat manusia sedikit demi sedikit mengenal alam sembari merumuskan nilai-nilai yang lebih adil dari relasi subjek-objek. Pertama-tama memang harus memiliki rasa kepemilikan dalam artian intensionalitas terlebih dahulu, sembari mengokohkan rasa kepedulian.

Relasi subjek-objek tidak dapat dipisahkan. Alam dan manusia adalah dua entitas yang memiliki konektivitas intensional. Manusia membangun kesadaran rasionalnya melalui persinggungan dengan alam. Alam hadir sebagai entitas terbuka untuk diketahui. Dapat dikerucutkan bahwa pertumbuhan kesadaran dan nilai-nilai dalam diri manusia selalu mengandaikan alam sebagai bagian dari dirinya yang memiliki intensionalitas berupa konektivitas antara alam dan manusia. Untuk berada bersama alam, dikelilingi kehidupan adalah bagian dari proses kesadaran subjek. Alam adalah kulturnya.

Dalam konteks aktivitas outdoor para ‘Mapala’ saat berada di tengah-tengah alam liar menangkap secara perseptual sebuah objek. Dalam kegiatan perseptual itu, ‘Mapala’ melihat tebing, gua, hutan rimbun, gunung, serta lautan secara apa adanya sebagai domain noema.

Proses melakukan analisa mendalam terhadap kualitas alam bebas tersebut dilakukan dengan metode penjelahan sebagai cara yang unik untuk mendekati alam secara intens seperti naik gunung, memanjat tebing, menyusuri gua, atau mengarungi lautan. Penjelajahan membuat para ‘Mapala’ merasakan langsung keliaran alamiah di alam bebas.

Oleh sebab itu, karena memiliki kedekatan khusus dengan segala aktivitasnya di alam bebas, seharusnya membuat para ‘Mapala’ memiliki sentimentalitas lebih tajam terhadap alam. Misalnya ungkapan-ungkapan emosional seperti, rasa suka, bahagia, senang, saat melihat hutan-hutan rimbun yang masih awet dan terjaga. Inilah yang menandakan kemampuan subjek secara noetik dalam menentukan nilai yang muncul dalam interaksi subjek (manusia) dan objek (alam).

Namun ungkapan emosional semata tidak cukup, para ‘Mapala’ harus punya aksi langsung dalam menjaga kelestarian alam jika mereka benar-benar secara sadar menganggap alam adalah rumahnya. Oleh karena itu jika masih ingin merasa bahagia saat melihat hutan-hutan yang masih rimbun (baca: alam) para ‘Mapala’ secara bersamaan mesti menjaganya dan menjadi kelompok paling terdepan yang akan dengan hormat melawan jika ada yang berani merusaknya.

Tidakkah para ‘Mapala’ terusik jika pembabatan hutan terjadi dimana-mana, juga pertambangan illegal yang menghancurkan gugusan karst sebagai penopang tebing dan gua, atau kehancuran terumbu karang di lautan?

Belum cukupkah kerusakan tersebut untuk menyentuh hati nurani para ‘Mapala’ yang mengaku sebaga pencinta alam? Atau jangan-jangan para ‘Mapala’ sebenarnya berkunjung ke alam membawa semangat antroposentrime abad pencerahan, datang sebagai penakluk?

Seringkali dibalik lorong-lorong gua yang gelap, tebing yang terjal, gunung yang megah, hingga lautan samudera yang luas menjadi puncak perenungan para ‘Mapala’. Betapa alam memiliki kadar ambiguitas yang mengherankan sekaligus tampak asing bagi dirinya. Akan tetapi ambiguitas tersebut merupakan motorik bagi keheranan dan rasa ingin tahu. Oleh karena itu seorang petualang saat menyaksikan kegagahan gunung yang dihiasi hutan lebat secara spasial membuat ia merasakan kemewahan alam. Keberadaan sebuah gunung menjadi nyala api kecil untuk menerangi keingintahuan, menimbulkan perasaan bahagia, bahkan rendah hati.

Jadi akan sangat mengherankan jika para ‘Mapala’ yang seringkali berinteraksi dengan sebuah gunung (baca: alam), sama sekali tidak menumbuhkan keintiman dan kedekatannya sebagai pemicu simpati yang akan membawa kepekaan saat alamnya rusak meskipun dalam skala kecil.

Kepekaan itulah yang akan menjadi modal utama dalam menumbuhkan kepedulian terhadap alam sebagai hadiah dari keingintahuan untuk merasakan kemewahannya. Jadi aktivitas ke alam bebas mesti berbanding lurus dengan kepedulian terhadap masalah kerusakan alam yang terjadi di sekitarnya. Sebab alam adalah ruang eksistensinya, maka keindahan alam menyihir para ‘Mapala’ membuat mereka terpesona dan seharusnya takut dalam waktu yang bersamaan, terlebih jika kerusakan alam semakin memuncak.

Mari melakukan refleksi ulang yang lebih mendalam tentang kehancuran alam saat ini. Cukupkah untuk mengatakan bahwa hanya kelalaian yang menyebabkan manusia di ujung disekuilibrium dengan alam? Lantas mari bertanya posisi ontologis manusia di alam raya ini, apakah alam bagi manusia? Bagaimana manusia melihat alam?

Atau yang lebih khusus, sebagai seorang Pencinta bagaimana para ‘Mapala’ menilai tempat bermainnya seperti gunung, gua, tebing, laut, atau alam yang terkembang ini sebagai rumahnya?

Menurut Merleau-Pontry, sebelum manusia sadar dengan kemampuan nalar atau analitiknya, relasi pertama ia menyadari dirinya hidup bersama alam. Sebelum ia memiliki kecanggihan akal dalam membentuk struktur bahasa yang rumit, bahkan mengandaikan adanya mesin-mesin canggih bernama teknologi, manusia melakukan komunikasi pertamanya dengan alam. Ia berpikir tentang alam, ambiguitas, kemewahan, keindahan, dan rasa takutnya terhadap alam.

Selepas itu, ia berpikir tentang dirinya sendiri dan apa yang dapat dilakukan untuk menyikapi hal yang tidak diketahui tentang alam. Alam adalah ruang bagi subjek. Manusia menyadari segala determinasi alam sebagai faktisitasnya. Kesadaran akan faktisitas tersebutlah yang memicu lahirnya kecemasan, aspirasi, dan mendorong subjek berpikir tentang eksistensinya bersama alam. Tanpa ruang (baca: alam) manusia tidak akan menerima dan mengalami fenomena, hingga memungkinkan pengetahuan. Berarti kehancuran ruang sama dengan penghancuran manusia dan kemanusiaan sebab tanpa ruang keniscayaan untuk membangun relasi dan mengaktualkan kesadaran aspirasi tidaklah dimungkinkan.

Di mata Merleau-Pontry alam adalah dunia yang berbeda. Alam seharusnya tidak hanya dilihat sebagai latar belakang bagi para ‘Mapala’, lebih dari itu alam memiliki relasi fundamental bagi mereka yang merasa mencintainya. Terlebih dengan pelekatan frase “Pencinta Alam”. Fundamental tidak sesempit artinya sebagai sumber daya maupun wahana bermain dan menempa diri (baca: belajar), tetapi mendasar bagi eksistensinya.

Tanpa alam seorang ‘Mapala’ tidak akan ada artinya, namun tidak sebaliknya. Mengingat eksistensi ‘Mapala’ yang kian hari semakin mengerdilkan diri dari permasalahan ekologis. Seolah-olah kehancuran alam bukanlah bagian dari kehancurannya sendiri.

Seluruh eksistensi ‘Mapala’ bertopang pada alam. Oleh karena itu, jika para ‘Mapala’ hanya berdiam diri dan sibuk berpetualang saat kondisi alamnya rusak maka pelekatan kata Cinta sudah tidak lagi relevan bahkan cenderung tidak pantas dengan segala bentuk tindakan yang dipertontonkan.

Menyadur ungkapan terkenal Pramoedya Ananta Toer, seharusnya: “Seorang terpelajar ‘(Mapala)’ harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.” Lantas apakah para ‘Mapala’ hari ini demikian? Mari merenungkan lebih jauh jawabannya di bangku-bangku sekretariat sambil mencium aroma kopi masing-masing.

Oleh sebab itu kualitas seorang Pencinta Alam seharusnya tidak dinilai berdasarkan kuantitas aktivitas lapangan yang telah digeluti. Sesering apapun seorang ‘Mapala’ naik gunung, panjat tebing, susur gua, mengarungi lautan jika tidak dibarengi dengan ketajaman pikiran dan kepekaan perasaan terhadap alam dan dinamika social, maka apa yang dilakukannya hanya bersifat mekanis (latihan menjadi robot semata) dan sama sekali tidak cukup untuk mewakili kata ‘Cinta’ sebagai identitas kebanggan. Sebagaimana yang sering diucapkan oleh Gie “…mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”.

Sekali lagi, ada perbedaan antara ‘Pencinta Alam’ dengan ‘Penggiat Alam’.

Menuju Manifesto Pencinta Alam
“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: ‘dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan’. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.”. – Soe Hok Gie (dalam Catatan Seorang Demonstran)

Mari sedikit membayangkan, kira-kira apa yang akan dilakukan oleh para pencetus ide Kepencintaan-alaman seperti Awibowo maupun Soe Hok Gie, atau mungkin para pendahulu yang lain jika masih diberikan kesempatan untuk merasakan hidup yang getir ini.

Kegetiran yang saya maksud misalnya dengan semakin merebaknya tindak-tanduk eksploitasi terhadap alam, krisis sosial-ekologi yang semakin tajam, perubahan iklim yang mulai sangat mencekam, deforestasi hutan yang merebak di mana-mana, atau yang sering saya sebut sebagai pemerkosaan terhadap alam beserta kehidupan di dalamnya yang menunjukkan sisi kebinatangan manusia dengan jelas. Akankah para pendahulu yang kita banggakan akan berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa? Saya rasa tidak.

Secara historis khususnya di kalangan Mahasiswa Pencinta Alam atau biasa kita kenal dengan sebutan Mapala Prajnaparamita dengan arti “dewi pengetahuan” yang dipelopori Gie dan kawan-kawan, baik secara individu maupun kolektif sangat aktif dalam memberikan sumbangsih pikiran mengenai arah bangsa ini, oleh sebab itu Gie dikenal sebagai sosok yang sangat tajam dalam melemparkan kritik terhadap dua rezim yang berkuasa di masa hidupnya, baik Orde Lama maupun Orde Baru. Keterlibatan Gie dkk. secara tidak langsung memberikan gambaran keberpihakan yang jelas terhadap isu-isu sosial dan politik pada waktu itu.

Dimulai dengan hidup bersama orang-orang yang terpinggirkan di desa-desa saat hendak naik gunung, Gie kembali (turun gunung) dengan kesadaran yang lebih peka & tajam serta berdiri di atas kebobrokan secara universal yang terjadi. Berpikir lebih jauh mengenai tatanan kehidupan seperti apa yang harus diperjuangkan.

Oleh karena itu, gunung bagi Gie tidak sekedar disimbolkan sebagai kesunyian belaka, tetapi keramaian sekaligus kedalaman pikiran untuk menguraikan masalah sosial-politik yang dilihat maupun dirasakannya secara langsung.

Jika demikian, saat sosok seperti Gie kita bayangkan masih hidup di tengah-tengah masalah kerusakan alam, lingkungan, ekologi, atau apapun namanya, dapat dipastikan orang yang akan berteriak keras dan lantang menghalau kerusakan itu adalah Gie sebagai bentuk pertanggungjawaban dari frasa yang diciptakannya yakni Pencinta Alam.

Perbedaan kondisi material saat ‘Mapala’ didirikan waktu itu dengan saat ini tentu saja berbeda. Namun berdasarkan beberapa catatan sejarah yang beredar, sejak mula pemilihan diksi “Cinta” menjadi “Pencinta Alam” adalah simbolisasi sikap ketimbang harus memakai diksi yang lain dengan kesan-kesan eksploitatif. Artinya secara sadar dan tegas penemuan frasa Pencinta Alam telah menunjukkan keberpihakan yang jelas pula terhadap alam, baik oleh Awibowo maupun Gie dan kawan-kawan.

Dahulu kerusakan alam belum secara masif terjadi dan menyebar ke setiap sudut negeri ini. Isu-isu kerusakan ekologi belum menjadi wacana yang seksi waktu itu, karena kekuatan ekspansif para pemodal belum membesar dan teroganisir secara rapi seperti sekarang ini dengan tindak tanduk eksploitatif hingga menyebabkan perubahan-perubahan dalam skala besar terhadap tatanan ekologis yang ada. Oleh karenanya, jarang kita dapati atau hampir tidak ada bukti material tulisan-tulisan Gie yang membahas soal kerusakan alam secara sistematis dan detail. Sependek yang pernah saya baca.

Maka sudah sepatutnya Awibowo, Soe Hok Gie, hingga para pendahulu lain, yang sering dibangga-banggakan oleh mereka yang mengaku sebagai Pencinta Alam baik di kalangan KPA (Kelompok Pencinta Alam) maupun MPA (Mahasiswa Pencinta Alam) menjaga semangat perjuangan dan keberpihakan (khususnya bagi alam) yang jelas sebagai bentuk untuk menghargai warisan nilai-nilai leluhur. Sebagaimana yang pernah diungkapkan Gie, “Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis.”

Para Pencinta Alam harus duduk bersama baik di sekret masing-masing maupun secara kolektif untuk melakukan analisis yang tajam terlebih dahulu terhadap akar penyebab krisis hingga kerusakan alam sebelum berani membayangkan tatanan ekologis apa yang seharusnya (dicita-citakan). Sebab jika belum mampu mengklaim musuh secara kongkrit, bagaimana bisa memungkinkan perlawanan akan terjadi?

Konsep gali lobang tutup lobang hanya akan membuat pinggang merasakan nyeri berlebih (seperti melakukan reboisasi setelah terjadi deforestasi). Kurang atau lebih memiliki kemiripan dengan aktivitas berkebun, tidak akan mengubah apa pun, yang padahal akar masalahnya jauh lebih besar ,sebab memungkinkan terjadinya kiamat ekologis, baik cepat maupun lambat.

Kondisi alam hari ini sedang bahkan tidak pernah baik-baik saja. Dimulai dengan membuminya domain “Antroposentrisme” membuat manusia merasa menang sebab dinisbatkan sebagai pusat alam semesta. Namun, pertanyaannya, apakah seluruh manusia secara umum memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kerusakan alam?

Bagaimana mungkin menganggap kerusakan yang dihasilkan oleh petani-petani di desa sama dengan kerusakan yang dihasilkan oleh para borjuis pemodal dengan industri ekstraktifnya?

Tentu ada skala perusakan yang berbeda sangat jauh. Oleh sebab itu, tidak lengkap rasanya untuk menganalisis kerusakan alam yang berhenti hanya dengan mengutuki epos Antroposen. Hari ini ada kekuatan yang jauh lebih besar yakni, “Kapitalosen (Kapitalisme)” dengan sifatnya yang dinamis dan teroganisir membuat semangat ekspansi kapitalis memperlebar sayap kerusakan menjadi multisektoral yang tidak tebang pilih. Maka pantaslah mengutuki kapitalisme, sebagai asal-muasal dari rusaknya hubungan metabolisme alam-manusia.

Masih adakah musuh yang lain terhadap kerusakan alam selain itu, selain paham Antroposen dan Kapitalosen (Kapitalisme) yang dikawinkan? Atau apakah isu-isu ekologis hanyalah sebuah mitos, dengan dalih-dalih keagamaan seperti lambat laun dunia akan sampai pada kehancurannya yang disebut hari akhir?

Apakah upaya alternatif yang bisa dilakukan setelah melakukan analisis yang mendalam terkait penyebab krisis ekologis?

Atau bisa jadi para Pencinta Alam akan terus apatis dan berpangku tangan menunggu kiamat ekologis itu datang dengan cepat dan membabi buta?

Pertanyaan-pertanyaan itu sudah sepatutnya dijawab terlebih dahulu sebelum membuat rencana akan naik gunung ke mana lagi selanjutnya. Mungkin tepat untuk mengatakan bahwa Pencinta Alam memerlukan metode atau pisau analisis. Seperti halnya saat memberikan seseorang ikan, maka ia akan kenyang di saat itu pula, tetapi jika memberikan sebuah alat pancing, maka ia akan kenyang seumur hidupnya. Begitulah para Pencinta Alam harus punya alat analisis yang pas dan mendalam.

Jika dahulu Marx berkata bahwa “Agama adalah candu (opium)” dengan konteks sosial-historis tertentu. Maka dengan ini jika para Pencinta Alam belum melakukan apa-apa, maka alam bebas (gunung, tebing, laut, gua, dll) yang sering dijelajahi itu, layaknya agama dalam konsep dan konteks Marx dapat dikatakan hanyalah candu. “Alam bebas adalah candu” kepetualangan yang demikian telah menutup mata para Pencinta Alam untuk menunjukkan ekspresi cinta yang positif sebagai domain yang inhern di dalam dirinya, terlebih jika identitas Pencinta Alam sering dibangga-banggakan. Para Pencinta Alam bersatulah, hadapi kerusakan alam hari ini!

Tanpa sedikitpun maksud mengerdilkan para Pencinta Alam, tulisan ini hanyalah media untuk mencari kawan dengan orientasi dan semangat yang sama, sembari secara bertahap mengakumulasi kemuakan lalu meledakkannya bak bom molotov. Bukan berarti merasa paling pintar, paling paham, hingga (paling-paling) yang lain.

 Tulisan ini bermaksud saling merangkul kawan-kawan Pencinta Alam yang merasa kalut atau bahkan kesal dengan kondisi alam hari ini akibat ulah tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab (sebut saja para Kapitalis, yang punya kepentingan akumulasi kapital secara terus menerus untuk mengenyangkan perutnya tujuh turunan, dengan langkah ekspansif dan eksploitatif).

Mengekspresikannya melalui tulisan, saya rasa adalah langkah yang patut dipertimbangkan, sebagaimana “Kata adalah Senjata” dan ia bersifat abadi. Selanjutnya merencanakan tulisan panjang sebagai bentuk Manifesto bagi para Pencinta Alam, dengan mengumpulkan beberapa tulisan yang berserakan juga beberapa referensi yang mungkin belum sempat terbaca hingga saat ini, baik menyangkut sejarah Pencinta Alam, maupun hal-hal yang bicara tentang analisis mendalam mengenai kerusakan-alam atau bencana ekologis, hingga akibat seperti apa yang ditimbulkannya. Tujuannya akan mengemuka setelah rencana tulisan ini rampung. (*)

Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Referensi
Al Mustafa, Ostaf dan Wahyudi, A. Indra (2005). Pencinta Alamologi Pasca Pencinta AlamoloGie. Arsip KORPALA UNHAS.

Dewi, Saras (2022). Ekofenomenologi. Tangerang Selatan: Marjin Kiri. Catatan-catatan Gie.

 

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.