Adiseno : Masuk UI Agar Bisa Masuk Mapala

Caption foto : Adiseno (kanan). Sebelahnya Djukardi “Bongkeng” Adriana dan Galih Donikara. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar Stone).

Pengantar redaksi. Ketokohan Adiseno di jagad pecinta alam tanah air, tak usah diragukan lagi. Hal-hal tentang Adiseno bertebaran di google. Fakta ini membuktikan, kiprah Adiseno dari dulu hingga kini memang tak pernah surut.

Berikut adalah profil Adiseno yang diceritakan sendiri oleh yang bersangkutan — dengan gaya bahasa ringan sekaligus menyentuh. Semula tulisan ini dimaksudkan sebagai biodata singkat tentang penulis yang berpartisipasi menulis artikel di buku pecinta alam yang diterbitkan Wartapala. Redaksi memuatnya di rubrik profil Wartapala agar menjadi inspirasi insan pecinta alam di Indonesia.
Selamat membaca. 

Wartapalaindonesia.com, PROFIL – Saya lahir pertengahan tahun pada sepertiga awal bulan. Kalian bisa panggil saya Kliwon karena itu weton saya di hari Selasa dinihari. Ketika itu Indonesia yang kita kenal sekarang masih belum lengkap. Gunung tertinggi kita masih dijajah Belanda. Di tanah kelahiran saya sendiri sudah Merah Putih sejak 13 tahun 10 bulan 23 hari.

Saya sempat dibesarkan di negeri bawah laut. Negeri yang menjajah negeri-negeri dikelilingi laut. Di sana ketika kami sekeluarga liburan ke negara bekas penjajahnya penjajah, pertama saya memiliki ingatan tentang gunung. Ayah yang saya panggil papah, menghentikan mobilnya di lereng tebing. Vegetasinya pohon berdaun jarum. Udaranya segar dan hati saya senang hingga momen itu menjadi long term memory.

Ketika saya sudah remaja, kakak saya menceritakan pengalamannya mendaki Gunung Gede. Saat kami di negeri bawah laut, saya dan mas saya ini serta teman-teman sekolah kami suka berpetualang ke tembok pasir penahan laut. Di bukit-bukit pasir pantai kami menjelajah. Masuk ke semak-semak yang buat anak sekolah dasar seperti rimba belantara. Cerita mas mengenai rimbunnya hutan lebat gelap dan langkah -angkahnya melalui semak-semak, menyeruak terowongan hijau ke bukaan penuh bebatuan. Namanya pun menawan, Kandang Batu. Ini mengembalikan ingatan tentang petualangan kami di Duinen van Den Haag.

Ketika saya akhirnya bisa menapak tilas jejak mas, ingatan berada bersama keluarga di lereng Alpen deras mengalir. Dan waktu bangun pagi mengeluarkan diri dari dalam tenda, awan berada di bawah saya. Saya kecanduan mendaki gunung.

Kecanduan menuai badai. Obsesi berpetualang, mendaki tidak terbendung. Setiap akhir pekan balik dan balik. Akibatnya rapor merah terbakar. Dan saya menjadi dobelan, istilah siswa yang mengulang di kelas yang sama. Teman-teman sekolah juga ada yang terkena candu yang sama. Dan suatu ketika kami yang berada di setapak yang sama bergabung mengisi perkumpulan pendaki. Sabhawana lahir.

Setelah SMA saya masuk Mapala Universitas Indonesia. Begitu teman-teman mendaki saya mengatakan. Saya masuk UI untuk bisa masuk Mapala. Percaya kan?

Baru dua tahun di Mapala saya ikut pendakian ke gunung tertinggi yang baru kita pada 14 Juni 1969. Hanya enam hari dari ulang tahun saya ke-10. Saya mendaki di belakang mengiring alm. Norman Edwin, alm. Dondy Rahardjo. Kami memasang plakat peringatan gugurnya Hartono Basuki, rekan pendakian Norman Edwin membuka jalur baru dari sisi Selatan.

Mengiring teman mendaki yang sudah pulang lebih dahulu ke ‘Basecamp’, saya masih hidup. Masih mendaki gunung 3000 meter jika tabungan cukup. Masih menilai kompetensi Pemandu Gunung dan Pemandu Panjat Tebing. Sesekali melatih di Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia, dan berceramah untuk Federasi Mountaineering Indonesia. Kali ini saya menulis lagi seperti pekerjaan penghasilan hidup dari usia 23 tahun. Di akte lahir nama saya Adiseno. (*)

Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.