Oleh : Rizki Mubarok
Jurnalis Wartapala, WI 240302
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Era modern merupakan masa di mana manusia mulai menggunakan dan bergantung kepada teknologi, ditandai dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, budaya, teknologi dan sebagainnya. Saat ini sangat bisa kita rasakan dengan mudahnya mengakses teknologi dan informasi sampai kepada hal-hal yang sebelumnya membutuhkan proses cukup lama, sekarang menjadi lebih cepat dan instant.
Dengan kemudahan akses terhadap apa pun saat ini, khususnya terhadap barang dan jasa, masyarakat seringkali terjebak dalam pola konsumsi yang berlebihan. Perkembangan teknologi dan informasi tersebut, telah membentuk suatu budaya baru dan saat ini lekat menjadi bagian integral manusia hingga sulit dilepaskan dari kehidupan sehari-hari, yaitu budaya konsumerisme.
Budaya konsumerisme dapat didefinisikan sebagai pola perilaku di mana individu mengkonsumsi barang dan jasa tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga untuk menunjukan status sosial dan identitas. Dalam konteks tersebut, belanja bukan hanya aktivitas ekonomi, tetapi juga sebagai sarana untuk mengekspresikan diri. Hal ini sering didorong dengan iklan, trend, dan tekanan sosial untuk membeli barang terbaru atau sering kita dengar dengan sebutan FOMO (Fear of Missing Out).
Manusia memang tidak akan pernah bisa lepas dari aktivitas sosial, ekonomi, dan juga produksi. Namun, pola konsumsi yang berlebihan itu ternyata bisa membawa dampak negatif yang sangat jelas dirasakan seluruh dunia. Menurut penelitian dari Global Fashion Agenda dan McKinsey & Company tahun 2018, industri fashion bertanggungjawab atas 2,1 miliar metrik ton emisi gas rumah kaca. Angka ini setara dengan sekitar 4% dari total emisi global. Masih menurut hasil studinya, juga disebutkan bahwa 70% emisi dari industri fashion berasal dari kegiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan. Emisi yang dihasilkan tersebut adalah salah satu yang menyebabkan bumi semakin panas.
Setiap proses produksi untuk barang-barang konsumen pasti memerlukan penggunaan sumber daya alam yang sangat besar, termasuk energi dan air. Bisa dibayangkan — menurut data yang disebutkan tadi — besaran nilai produksi yang digunakan untuk sebuah permintaan konsumsi dengan dampak global yang dihasilkan bisa memperburuk kondisi lingkungan, membuat bumi semakin mendidih hingga jelas berkontribusi terhadap percepatan laju perubahan iklim yang semakin nyata.
Bencana konsumerisme merupakan masalah serius bagi lingkungan. Salah satu dampak yang paling nyata dari budaya konsumerisme adalah peningkatan jumlah limbah.
Memahami limbah, mungkin kita ketahui sesederhana sisa kulit buah, plastik bekas kemasan, atau apapun yang berserakan kemudian kita sebut sebagai sampah. Dalam konteks hukum, Peraturan Pemerintah No. 18/1999 mendefinisikan limbah sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha dan/atau kegiatan manusia. Dengan kata lain, limbah adalah barang sisa dari suatu kegiatan yang telah kehilangan fungsinya dan tidak lagi bermanfaat bagi manusia.
Jadi bisa kita simpulkan, bahwa limbah dapat didefinisikan sebagai sisa atau buangan yang dihasilkan dari kegiatan manusia yang sudah tidak memiliki nilai ekonomis atau manfaat lagi.
Setiap tahun, jutaan ton sampah dihasilkan dari kegiatan konsumsi antropogenik. Biasanya produksi sampah skala negara banyak disumbangkan oleh negara yang memiliki tingkat populasi besar. Indonesia misalnya, menurut data dari laporan Bank Dunia bertajuk The Atlas of Sustainable Development Goals 2023, Indonesia adalah negara penghasil sampah terbesar ke-5 di dunia setelah Tiongkok, AS, India, dan Brazil pada tahun 2020, dengan total produksi sampah sekitar 65,2 juta ton sampah.
Angka tersebut juga berarti setiap orang diperkirakan mengasilkan sekitar 1 kg sampah per hari, dan jumlah itu terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dan pola konsumsi masyarakat yang tidak berkelanjutan.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya soal limbah, dari total jutaan ton sampah yang dihasilkan, apabila tidak berhasil dimanfaatkan atau dikelola dengan baik, maka sampah tersebut akan menjadi limbah yang tidak bernilai. Sampah-sampah akibat gaya konsumerisme berlebih akhirnya akan menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) dan seiring berjalannya waktu akan berubah menjadi bom waktu yang serius bagi kesehatan dan lingkungan.
Gaya hidup konsumerisme yang paling berdampak menghasilkan limbah dan berkontribusi terhadap krisis iklim adalah fast fashion, makanan, dan plastik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, 70% emisi dari industri fashion berasal dari kegiatan hulu. Industri seringkali melibatkan transportasi lintas negara, pengguanaan energi fosil, pengadaan material, hingga distribusi ke pasar global meninggalkan jejak-jejak karbon di mana-mana. Kemudian persoalan limbah makanan, mulai dari sisa hingga kemasan makanan itu sendiri setidaknya menurut laporan Global Food Policy, The International Food Policy Research Institutes 2022, sistem pangan diperkirakan menyumbang sebanyak 34% dari total emisi gas rumah kaca (GRK) global.
Ketika makanan dibuang dan masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA), ia mengalami proses pembusukan yang menghasilkan gas metana (CH₄). Metana adalah salah satu gas rumah kaca yang lebih berbahaya dibandingkan karbon dioksida (CO₂), dengan potensi pemanasan global 25 kali lebih besar dalam jangka waktu 100 tahun. Menurut data dari World Resources Institute (WRI), emisi gas rumah kaca dari sampah makanan menyumbang sekitar 8% dari emisi global, jika dianalogikan sebagai sebuah negara, limbah sampah makanan adalah negara penyumbang emisi terbesar ketiga setelah Tiongkok dan Amerika Serikat.
Selain itu, limbah plastik juga menjadi masalah besar akibat pola konsumsi yang tidak berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck dari Universitas Georgia menunjukkan bahwa sekitar 275 juta ton sampah plastik dihasilkan setiap tahun di seluruh dunia. Setiap menit, satu truk sampah plastik dibuang ke lautan, hal tersebut saat ini menjadi ancaman serius bagi ekosistem laut. Ketika plastik dibuang ke laut, ia tidak hanya mencemari air, tetapi juga mempengaruhi kemampuan laut untuk menyerap karbon. Lautan berfungsi sebagai penyerap karbon alami melalui proses fotosintesis yang dilakukan oleh plankton dan alga. Namun, dengan keberadaan sampah plastik dapat mengganggu keseimbangan ekosistem lautan itu sendiri.
Budaya konsumerisme memberikan dampak yang tidak terasa secara individu, tetapi secara global apabila masyarakat modern ini tenggelam dalam gaya hidup tersebut, sangat berakibat fatal bagi bumi akibat limbah yang dihasilkan.
Saat ini dunia sedang menghadapi masalah besar, perubahan iklim seharusnya berjalan secara lambat dan natural, sekarang terjadi begitu cepat akibat aktivitas manusia itu sendiri. Hal tersebut sangat berdampak pada keberlangsungan kehidupan di bumi hingga kemampuan adaptasi makhluk hidup. Bencana alam dan cuaca ekstrim adalah beberapa contoh akibat bencana iklim, atau biasa disebut dangan bencana hidrometerologi.
Menurut Mahawar Karuniasa, seorang pakar lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) menyebutkan bahwa, secara tidak langsung limbah-limbah tersebut berdampak menyebabkan bencana hidrometerologi yang semakin meningkat di Indonesia dan dunia. Indonesia mengalami banyak bencana sepanjang tahun 2022-2023 dan sebanyak lebih dari 90% bencana yang terjadi adalah bencana hidrometerologis. Bahkan menurut beberapa laporan, suhu panas yang terjadi di Indonesia mencapai angka 35-42 derajat celcius. Beberapa hal yang terjadi adalah akibat dari krisis iklim.
Secara sederhana, krisis iklim merujuk pada kondisi di mana perubahan iklim telah mencapai titik kritis, di mana dampaknya mulai dirasakan secara luas oleh manusia dan ekosistem. Menurut seorang profesor di University of Technology Sydney, Pierre Mukheibir, istilah “krisis” menunjukkan bahwa kita berada dalam keadaan darurat yang memerlukan tindakan segera untuk mencegah konsekuensi yang lebih parah. Krisis ini melibatkan berbagai efek negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, termasuk bencana alam, kerawanan pangan, dan peningkatan suhu global.
Budaya konsumerisme membawa dampak besar terhadap lingkungan melalui peningkatan limbah dan kontribusinya terhadap krisis iklim. Dengan memahami penyebab dan dampaknya, kita dapat mengambil langkah-langkah sederhana untuk mengatasi masalah ini bersama-sama. Setiap individu memiliki peran penting dalam menciptakan perubahan positif melalui tindakan kecil namun berarti dalam kehidupan sehari-hari kita, kita dapat berkontribusi dalam menjaga planet ini untuk generasi mendatang.
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Foto || Wartapala
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)