Dua Dunia Don Hasman

Pengantar redaksi. Tulisan ini dikutip dari buku “Pecinta Alam adalah Pendidikan Karakter” karya jurnalis Wartapala Ahyar Stone. Semua foto di sini merupakan koleksi pribadi Don Hasman, yang dikirimnya secara eksklusif kepada Ahyar Stone untuk keperluan rubrik profil ini. Selamat membaca.  

Wartapalaindonesia.com, PROFIL – Nama Don Hasman sangat akrab di telinga para pecinta alam, serta para fotografer di dalam negeri dan di luar negeri. Don yang senantiasa low profile, memang memiliki dua dunia yang ia geluti bersamaan : pecinta alam dan fotografi. Di kedua dunia ini, eksistensi Don sangat diakui.

Don telah meraih banyak penghargaan di bidang potret memotret. Di antaranya adalah Trophy Adinegoro kategori fotografi jurnalistik. Atas segala prestasinya, Don dipercaya menjabat Ketua Asosiasi Fotografer Indonesia sampai sekarang.

Nama Don juga masuk daftar seratus fotografer paling terkenal di dunia, 100 Famous Photographers in The World. Penghargaan ini diberikan oleh pemerintah Perancis kepada Don, tahun 2000.

Selain berprestasi hebat di ranah fotografi, Don yang merupakan pendiri Shaba Mandala Imada, Jakarta. Anggota kehormatan Mapala UI. Pembina kelompok pecinta alam Garuda Nusantara pimpinan Ully Sigar. Anggota kehormatan Explorer’s Club, New York. Juga memiliki catatan prestasi yang sangat layak diacungi jempol di kegiatan alam bebas.

Don yang pernah menjadi wartawan mingguan Mutiara, harian Sinar Harapan Jakarta, Suara Indonesia Malang, Obor Pancasila Manado, dan beberapa media cetak lain, telah mendaki 40 gunung api di Indonesia. Mendaki 10 rangkaian pegunungan di Indonesia. Mendaki Gunung Gede dan Pangrango sebanyak 200 kali.

Ia juga pernah mendaki gunung berapi aktif tertinggi di Eropa Mt. Etna di Sisilia, Itali. Gunung cantik Mont Blanc di perbatasan Swiss-Perancis. Gunung tertinggi di Timur Tengah Mt. Davamand di Iran. Serta gunung berjuluk black stone, Mt. Kala Pathar di Nepal.

Don juga tercatat sebagai orang pertama dari Indonesia yang mendaki Gunung Kilimanjaro di Tanzania, dan orang Indonesia pertama yang menginjakkan kaki di base camp pendakian Everest.

Di luar pendakian, Don juga aktif di kegiatan caving. Ia telah menelusuri gua-gua di Pacitan, Sulawesi, Jawa Barat dan daerah lain di Indonesia, serta Jenolan Cave yang berada di Australia.

Ia juga mengikuti arung jeram, dan pernah pula mengikuti lomba layar tiang tinggi Arung Samudera, Endeavor, Australia. Mengikuti balap sepeda Tour de Java II, dan reli sepeda di Tibet yang menempuh rute sejauh 200 kilometer.

Don juga memegang beberapa sertifikat menyelam yang dikeluarkan oleh lembaga di dalam dan luar negeri. Ia telah menyelam di Wakatobi, laut di Pulau Komodo, Teluk Jakarta, pesisir timur Pulau Weh di Aceh, serta pernah pula menyelami Laut Tengah Mediteranian di Turki, dan kumpulan terumbu karang terbesar di dunia Great Berrier Reef di Queensland, Australia.

Kegiatan pecinta alam dan fotografi, memang dua hal yang senantiasa mengiringi setiap langkah Don kemana-mana. Ia datangi wilayah tertinggi, terpencil, terdalam, karena semangat pecinta alamnya dan semangat untuk menghasilkan foto-foto yang keren.

Fotografi memang cara spesial Don menyampaikan manfaat kegiatan pecinta alam kepada khalayak. Inilah yang kemudian membuat Don identik sebagai fotografer yang pecinta alam, atau pecinta alam yang fotografer. Dua merk yang memiliki makna serupa.

Kendati telah mendapat pengakuan yang begitu luas, Don – seperti figur besar lainnya di jagat pecinta alam – tak pernah merasa dirinya hebat. Ia tetap merupakan teman yang baik, senior yang baik, dan mentor yang baik bagi siapa saja yang hendak menimba ilmu padanya. Baik ilmu pecinta alam, ilmu fotografi, atau keduanya dalam satu kesempatan.

Kepada mereka yang belajar, Don tak pernah meminta bayaran. Diberipun ia menolak. Don juga selalu menolak tidur di hotel, dan ogah dijemput memakai mobil oleh panitia yang mengundangnya mengisi acara pelatihan. Ia lebih nyaman dijemput dengan sepeda motor dan tidur di rumah panitia, atau di Posko Mapala yang menjadi tuan rumah pelatihan.

“Tidak usah dibayar. Sesama teman jangan pasang tarif segala. Diundang mengisi acara, saya sudah senang,” begitu kata Don.

Etnofotografi : Genre Fotografi yang Langka Peminat

Rendah hati, bersahaja, senang berbagi, adalah brand image lain yang juga melekat kuat pada diri Don Hasman. Lebih dari itu, ia juga dikenal sebagai pribadi yang memiliki totalitas dan kesabaran luar biasa demi menghasilkan karya terbaik yang berbeda dengan siapa pun.

Sekian banyak karakter itu kemudian membuat Don lebih tertarik untuk menekuni genre fotografi yang langka peminat dan kering rejeki : etnofotografi. Profesi etnofotografi hanya ditekuni oleh 700 fotografer di seluruh dunia.

Etnofotografi terang Don, adalah mempelajari dan merekam semua sendi kehidupan kelompok masyarakat, seperti kebiasaan, gerak-gerik, seni, budaya, ritual, maupun mode pakaian, dan segala macam. Aktivitas kelompok masyarakat tersebut direkam lewat sebuah atau beberapa buah foto.

Etnofotografi sangat penting dilakukan karena akan menjadi sebuah dokumen otentik dan sahih, yang membuktikan bahwa pada masa itu keadaannya memang seperti yang terekam dalam foto. Seluruh kegiatan atau semua sendi kehidupannya seperti apa yang terabadikan melalui kamera.

“Hasil Etnofotografi bisa dipelajari, atau dipakai sebagai bahan kajian, bahan penelitian, dan bahan analisis untuk ilmu yang mempelajari apa yang berlaku di kelompok masyarakat tersebut,” kata Don.

Diakui oleh Don, butuh pendekatan yang tidak mudah untuk memotret keseharian sebuah etnis tertentu. Waktu pendekatan yang dibutuhkan bahkan bisa mencapai beberapa tahun.

Salah satu pendekatan paling sulit yang pernah dilakukan oleh Don, adalah ketika mendokumentasikan kehidupan suku Badui atau Kanekes yang bermukim di pedalaman Lebak, Banten.

“Badui sangat sukar untuk dipelajari, dan juga sangat sulit menembus wilayah pribadi mereka. Dibutuhkan waktu yang lama dan pengorbanan berlebih untuk mendapat gambaran yang baik tentang detail-detail kehidupan mereka, serta untuk meneliti secara intensif dengan menggunakan metodologi yang benar,” papar Don.

Don membutuhkan waktu pendekatan selama sebelas tahun untuk memperoleh kepercayaan Urang Kanekes, agar bisa memotret dengan leluasa kehidupan masyarakat Badui Luar dan Badui Dalam. Ini baru pendekatan untuk mengambil foto, belum membuat bukunya.

Buku yang mendokumentasikan tentang kehidupan suku Badui yang berjudul Urang Kenekes : Badui People, ia selesaikan dalam waktu 38 tahun. Dalam pengerjaan buku, Don dibantu sahabatnya dari Filipina, Filomena Reiss. Buku ini diterbitkan Indonesian Heritage Society, tahun 2013.

Secara garis besar, buku dengan 111 halaman itu terbagi menjadi dua pokok pembahasan. Bagian pertama, berisi pengamatan Don terhadap sisi antropologi dan sosiologis masyarakat Badui Luar dan Dalam, yang meliputi sejarah, putaran kehidupan sehari-hari, ritual, hingga membahas hubungan masyarakat Badui dengan pemerintah Banten.

Bagian kedua merupakan hasil penelitian Filomena Reiss tentang bagaimana orang Badui berpakaian dan tradisi tenun masyarakat Badui. Di bagian ini dijelaskan apa yang menjadi karakteristik pakaian orang-orang Badui Luar dan Dalam, serta perbedaannya yang paling mencolok dengan masyarakat Indonesia di luar suku Badui.

Di tahun 2015 lalu, Don menyelesaikan sebuah buku foto tentang Gunung Tambora. Buku ini ia selesaikan dalam waktu sepuluh tahun. Diterbitkan untuk mengenang 200 tahun meletusnya Gunung Tambora yang terletak di Pulau Sumbawa.

Gunung Tambora menjadi legendaris lantaran letusannya pada bulan April 1815, tercatat sebagai letusan yang terbesar dalam sejarah dunia. Kedahsyatan letusan gunung yang menewaskan 92 000 jiwa itu, membuat bumi tersaput abu letusan selama setahun sehingga tak ada musim panas.

Kesabaran bercampur ketangguhan dan integritas, juga ditunjukkan Don ketika pada musim gugur tahun 2007, melakukan perjalanan napak tilas salah seorang murid Yesus, Yakobus, dari Saint Jean Pied de Port, Prancis Selatan, hingga Katedral Santiago de Compostela, Spanyol, sepanjang 1.000 kilometer.

Bagi Don yang penganut Islam, perjalanannya ini mempunyai tantangan tersendiri. Ia ingin tahu dan mengabadikan apa yang dilakukan oleh umat agama lain dalam menjalani kegiatan spiritual mereka.

Don menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama 35 hari. Sepanjang perjalanan, Don mengabadikan apa saja yang ia anggap menarik. Dari tumbuhan, arsitektur, kegiatan penduduk, hingga suasana peribadatan dan aktivitas umat yang berziarah.

Terhadap perjalanan napak tilasnya tersebut, Don menyiapkan segalanya secara rinci, jelas, lengkap, serta didedikasikan untuk ilmu pengetahuan. Benar-benar khas seorang Don Hasman.

“Saya merancang perjalanan napak tilas Yakobus dengan riset selama sepuluh tahun. Ada sebelas buku yang saya baca. Perlengkapan pribadi dan alat potret yang saya bawa beratnya lima belas kilogram. Saya ingin mencari sesuatu yang baru. Juga mencari sesuatu untuk bisa disebarluaskan agar bisa mempunyai nilai manfaat,” ungkap Don.

Usia Bukan Hambatan Untuk Berkarya dan Menjelajah

Sudah puaskah Don Hasman dengan aneka pencapaiannya yang telah membuat orang berdecak kagum?

“Saya sedang merencanakan perjalanan menelusuri jalur sutra. Ini adalah rute klasik perdagangan darat yang menghubungkan Tiongkok dengan Eropa melalui Timur Tengah. Jika masih diberi umur, saya juga akan menjelajahi kawasan Amerika Latin yang memiliki sejarah paling tua di dunia, Machu Pichu di Peru,” jawab Don bersemangat.

Bagi Don, usia seseorang bukan hambatannya untuk berkarya dan menjelajah ke daerah-daerah yang jauh. Demikian halnya untuk menekuni etnofotografi, siapa pun dengan usia berapa pun bisa menekuninya asal punya niat baik, tulus, mau berkorban, lalu hasilnya dibagikan kepada orang lain dan ke ilmu pengetahuan.

Agar anggota Mapala dapat maksimal dalam berkegiatan untuk menghasilkan karya istimewa yang bermanfaat, kepada para yunior pecinta alamnya, Don selalu memotivasi mereka untuk menjadi pecinta alam yang mengabdi pada ilmu pengetahuan, serta menjadi pribadi yang jujur dan mengutamakan keselamatan pribadi, kelompok dan orang lain. Mematuhi semua deklarasi Internasional dan peraturan setempat. Menghormati adat istiadat dan kearifan lokal.

“Sebagai seorang pecinta alam, kita harus selalu menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Menjunjung tinggi adat, kearifan lokal dan peraturan. Semua itu demi pengabdian kita pada kemanusian dan ilmu pengetahuan,” kata Don Hasman berpesan. (AS)

Kontributor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Editor || Nindya Seva Kusmaningsih, WI 160009

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.