Caption foto : Masyarakat awam melihat Mapala maupun OPA sebagai organisasi berdasarkan hobi, bukan organisasi berdasarkan pengkaderan yang selama ini dibangun lewat program kerja Mapala dan OPA. (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar Stone).
Oleh : Danang Arganata, WI 200050
Editor Wartapala
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Perusak Alam. Kata itu lumrah jadi sindiran di media sosial ditujukan ke setiap unggahan yang isinya tentang keadaan jalur pendakian yang penuh sampah, atau ketika ada pendaki yang berkelakuan buruk dan itu terekam kamera.
Coba cek di X (dulu twitter), ketik “Perusak Alam”. Maka tampilan yang muncul adalah betapa banyaknya kata tersebut tersemat sebagai sindiran untuk unggahan tentang perilaku buruk para pendaki, pengiat alam bebas, maupun petualang yang aktivitasnya luar lingkungan.
Yang ironis, masih di laman yang sama, kata “Perusak Alam” — yang dalam tanda kutip bermakna sindiran — itu justru jumlahnya mengalahkan sematan kepada “Perusak Alam” yang sebenarnya.
Yaitu orang-orang eksplotatif, serampangan, ugal-ugalan, serta koruptif dalam mengelola tambang sehingga merugikan kehidupan alam sekitarnya.
Mengenai hal ini, tentu bagi kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) maupun Organisasi Pecinta Alam (OPA) yang menempuh berjenjang-jenjang proses kaderisasi untuk memeroleh pengukuhan gelar sebagai pecinta alam, pasti menolak bahwa kalangan sebagaimana disebut di atas tadi sebagai bagian dari pecinta alam.
Namun, bagaimana bisa Mapala maupun OPA melawan stigma negatif ke kalangan pendaki dan penggiat alam bebas itu dengan tidak mengakui sebagai bagian dari pecinta alam.
Di kala masyarakat awam, melihat Mapala maupun OPA sebagai organisasi berdasarkan hobi, bukan organisasi berdasarkan pengkaderan yang selama ini dibangun lewat proker-proker Mapala dan OPA.
Masyarakat awam dapat dengan mudah bisa berkata, “Pecinta alam ya yang pendaki gunung itu,”, “Dulu anak pecinta alam di sekolah juga isinya mendaki gunung,” dan sebagainya.
Belum lagi, kebanyakan pelbagai story dan status di media sosial yang umum muncul seperti “Indonesia itu indah kawan, jangan di rumah saja,” “Senja dan puncak gunung, nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan”, dan seterusnya. Perihal yang membuat kalangan mereka sulit untuk dipisahkan
Mau tak mau, pendaki gunung, penggiat di alam bebas, petualang yang aktivitasnya di luar ruangan, akan seterusnya mengenggam nama pecinta alam.
Sebagaimana masyarakat awam terlalu umum melihat pecinta alam sebagai kegiatan hobi.
Dengan hal yang sudah terlanjur begitu, sudah saatnya para pendaki gunung, penggiat kegiatan di alam bebas, maupun petualang yang aktivitasnya di luar ruangan ini harus “dikondisikan”.
Suka tidak suka, mereka itu wajib hukumnya mengemban tanggung jawab sebagai pecinta alam.
Maka dua tantangan yang akan disebutkan di bawah ini adalah upaya “pengkondisian” untuk mereka.
Yang jika para pendaki gunung, penggiat kegiatan di alam bebas, maupun petualang yang aktivitasnya di luar ruangan, tidak mampu melaksanakannya, maka enyahlah mereka!
Berikut ini tantangannya untuk kalian!
1. Membaca
Membaca. Iya, membaca. Kurangnya literasi menyebabkan kurangnya pemahaman tentang apa yang sebaiknya tidak perlu diperbuat.
Bagaimana bisa memahami tindakan-tindakan apa yang sebaiknya dilakukan jika tidak mengetahuinya dengan membacanya terlebih dahulu?
Bagaimana bisa tahu bahwa ada larangan menginjak rumput jika tidak membaca papan larangannya?
Membaca sama pentingnya dengan bertahan hidup. Membaca adalah satu-satunya cara untuk mengetahui upaya pelastarian alam dan lingkungan hidup.
Membaca di mana? Banyak. Lewat perpustakaan, bisa. Lewat media daring, bisa. Lewat utas-utas yang dituliskan pengguna media sosial, juga bisa.
Wartapala Indonesia sendiri memiliki kolom Edukasi, di mana artikel-artikel tentang pelbagai ilmu pendikan, pecinta alam, dan pelestarian lingkungan hidup.
2. Menulis
Menulis ini perlu. Bisa, tidak bisa. Minimal untuk jadi pledoi bahwa aktivitas kalian tidak seperti stigma yang sudah-sudah.
Minimal untuk memberi penjelasan tentang aktivitas-aktivitas kalian ke khalayak lebih luas, agar tahu bahwa tidak ada maksud dari kalian untuk dicap sebagai “Perusak Alam” (Jika memang tidak begitu).
Aturan, tata cara, struktur dan susunan tulisan bisa dipelajari dan bisa dengan pula segera dipraktekkan.
Wadah untuk menampung tulisan kalian juga banyak. Bisa di akun media sosial masing-masing, bisa pula lewat blog.
Wartapala Indonesia terbuka menerima tulisan kalian. Mau kisah kalian selama bertualang di gunung atau alam bebas, mau pandangan kalian tentang lingkungan hidup, mau pun pemikiran positif kalian untuk membuang jauh-jauh stigma “Perusak Alam” (da).
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)