Kembara Ke Perut Bumi Kerek, Melihat Kehidupan Masyarakat di Sekitarnya

Oleh: Faik Nur Fauzi dan Dea Puspitasari
Mahapeka Bandung

Langit Sukabumi masih terbungkus kabut tipis saat tim penelusuran gua Mahapeka UIN Bandung berangkat, pada Sabtu, 21 Desember 2024.

Di pundak mereka tergantung tali-tali panjat, logistik, serta semangat penjelajahan yang tak kalah berat.

Tujuan mereka jelas, yaitu Gua Kerek, lorong sunyi di jantung kawasan Buniayu, tempat bumi membuka rahasia terdalamnya bagi siapa saja yang cukup berani turun ke dalamnya.

Menyusuri Nafas Gua
Perjalanan dimulai dengan doa dan persiapan perlengkapan di sekretariat Mapala Andromeda. Pada Minggu pagi, 22 Desember, tim bergerak menuju lokasi.

Gua Kerek menyambut dengan mulut lebar dan aroma tanah basah yang menenangkan.

Sebelum turun, dilakukan orientasi medan, pengecekan debit air, dan persiapan jalur rigging. Semua prosedur keselamatan wajib diikuti sebelum menjejak gelap.

Setiap langkah ke dalam gua adalah lompatan ke masa silam. Ornamen-ornamen alam terbentuk dari tetes demi tetes air selama ribuan tahun.

Di sinilah waktu tidak tergesa; para penelusur belajar berjalan perlahan, menyatu dengan denyut bumi.

Hari-hari berikutnya diisi dengan pemetaan biospeleologi, pendataan ornamen gua, serta observasi debit air.

Gua ini bukan hanya ruang ilmiah, tetapi juga ruang spiritual, heningnya mengajarkan untuk mendengar lebih dari sekadar suara.

Wajah di Balik Gua: Mang Iwong
Di balik kegiatan eksplorasi, hadir sosok Mang Iwong. Ia bukan sekadar penjaga loket, melainkan wajah pertama yang menyambut siapa pun yang ingin mengenal Gua Kerek lebih dekat.

Sejak lama, ia mengurus kawasan ini — membersihkan jalan setapak, merawat area sekitar gua, dan menyambut tamu dengan keramahan khas Sunda.

“Saya di sini hampir tiap hari,” tuturnya di bawah naungan warung kecil. “Kalau pagi, saya bersih-bersih. Kadang bantu ngarahin pengunjung juga”.

Mang Iwong tahu seluk-beluk kawasan Buniayu seperti punggung tangannya.

Ia menyebutkan bahwa Gua Buniayu mulai dikenal sejak 1992 ketika pertama kali dieksplorasi oleh penelusur asal Makassar, Pak Daeng.

Dua tahun kemudian, Perhutani menetapkan kawasan ini sebagai wilayah wisata gua resmi.

Bagi masyarakat sekitar, hadirnya wisata gua membawa manfaat: menjadi pemandu, membuka warung kecil, hingga menjual minuman hangat kepada wisatawan yang baru kembali dari medan berlumpur.

Gua-gua ini bukan hanya bentang alam, melainkan juga ladang penghidupan.

Mengukir Jejak
Hingga Rabu, 25 Desember, pemetaan dilanjutkan secara intensif. Ornamen dicatat, dan air diamati: debitnya, suara arusnya, dan makna sunyinya. Gua Kerek mengajarkan kedalaman — secara fisik maupun batin.

Pada Kamis, 26 Desember, tim melakukan wawancara dengan warga sekitar untuk memahami bagaimana wisata gua menjadi bagian dari dinamika lokal.

Satu demi satu kisah mengalir-tentang kesabaran menjaga, tentang keindahan yang dijaga bersama.

Hari-hari setelahnya digunakan untuk menyusun laporan, mengolah data, hingga akhirnya-pada Minggu, 20 April 2025 digelar Sidang Laporan Pengembaraan.

Semua proses yang dilalui tidak hanya mengukuhkan nilai ilmiah ekspedisi, tetapi juga mempertegas pentingnya hubungan manusia dan alam.

Akhir yang Membuka Awal
Kini, ketika nama Gua Kerek terpatri dalam peta dan laporan, yang tak kalah penting adalah kesan yang tertinggal di benak para penelusur. Bahwa sebuah gua bukan hanya bebatuan dan kegelapan, melainkan ruang hidup yang dirawat oleh tangan-tangan sederhana seperti Mang Iwong. Seperti bumi yang sabar membentuk stalaktit tetes demi tetes.

Kita pun belajar melihat nilai dari setiap tempat, bukan dari seberapa dalam kita menelusurinya, melainkan dari seberapa dalam kita memahaminya. (as)

Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.