Oleh : Muhammad Azra Azzahiri
Founder Komunitas “Ayo Berdampak”
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Di tengah hutan Kalimantan yang semakin menghilang, ada kisah yang terlupakan karena tak pernah ada yang melihat. Hutan yang dulu menjadi sumber penghidupan banyak keluarga, kini berubah menjadi hamparan lahan tandus; tak ada lagi penghidupan dari hutan untuk keluarga yang hidup disana.
Semua tergantikan oleh tambang dan perkebunan yang dikuasai oleh sekumpulan orang berada yang ingin lebih memperkaya dirinya, yang bahkan dia tak pernah benar-benar hidup dalam tantangan sulitnya mencari penghidupan di alam.
Masyarakat adatlah yang paling terkena dampak ini, mereka yang benar-benar hidup dan menggantung kehidupannya di pedalaman sana. Mereka dipaksa untuk beradaptasi karena tak ada pilihan lain; padahal si serakah ini pun tahu, beradaptasi itu butuh waktu dan bukan hal yang mudah.
Menurut laporan Forest Watch Indonesia (2022), Indonesia kehilangan lebih dari 3 juta hektare hutan antaraa 2017 hingga 2021; Wilayah Kalimantan Timur dan Papua menjadi dua wilayah dengan kerusakan hutan paling parah yang sebagian besarnya adalah pembukaan lahan untuk tambang dan perkebunan. Keberlanjutan dan kedaulatan alam yang selalu dijaga oleh masyarakat setempat, kini tergeserkan oleh kepentingan ekonomi yang lebih besar.
Tidak hanya alam yang semakin memburuk tiap tahunnya, masyarakat adat pun terluka karena mereka ikut merasakan dampaknya.
Pada laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di tahun 2023, meski banyak sekali komunitas yang mengajukan hak atas wilayah adatnya, hanya 156 dari lebih 2.500 komunitas yang berhasil mendapat pengakuan negara atas hak wilayah adatnya. Sangat banyak masyarakat adat yang bertarung dengan ketidakpastian.
Mengapa hak hak mereka dipersulit? Hak masyarakat adat yang meminta diakui oleh negara agar mereka terlindungi, aman dan damai hidup di Indonesia mengapa harus dipersulit? Padahal masyarakat adat hanya ingin hidup tentram di wilayahnya mereka dengan diakui negara. Memang miris negara ini, perusak dipermudah, penjaga dibuat susah.
Cerita cerita seperti ini banyak terdengar dari berbagai sudut di Indonesia, di mana konflik atas masyarakat setempat dengan para serakah pengambil sumber daya alam tak terelakan, dan mirisnya selalu dimenangkan oleh si pembawa uang.
Rakyat setempat hanya memenangkan kemenangan-kemenangan kecil yang sebenarnya tidak terlalu merugikan si serakah. Entah bagaimana pertimbangannya, mereka jor-joran tanpa mempertimbangkan dampak ekologis untuk masyarakat setempat.
Banyak kasus masyarakat yang tadinya hidup dengan aman, tiba-tiba harus hidup di daerah rawan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 5 000 bencana hidrometeorologi di Indonesia pada tahun 2023, yang banyak di antaranya terjadi di kawasan yang telah mengalami kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam. Kalau seperti ini apakah tindakan mereka yang ingin memperkaya diri lewat eksploitasi ini benar? Tak bisa dibenarkan dari segala sisi!
Akibat ulah mereka yang seenaknya, yang menanggung pahitnya tetap masyarakat daerah setempat yang mereka hidup serta merasakan dampaknya di sana. Mereka tidak menikmati hasil apa-apa.
Mereka hanya harus terus menyesuaikan dengan kondisi yang ada dan kian memburuk, seperti bencana untuk para petani di Sukabumi yang lahan pertaniannya rusak akibat limbah pertambangan emas, merupakan bukti bahwa masyarakat setempat hanya mendapatkan pahit dan bencananya saja. Mereka bisa berbuat apa? Tak ada yang bisa mereka lakukan selain beradaptasi. Mengapa pemerintah membiarkan orang-orang serakah setega ini?
Memang benar dan tak ada pilihan lain, di tengah ketidakpastian ini, masyarakat hanya bisa pasrah. Mereka tahu, segala upaya untuk mempertahankan alam yang mereka cintai akan menghadapi tantangan yang berat, tapi tetap dengan ketidakpastiannya.
Dengan tantangannya, dengan sederhananya mereka harus tetap memperjuangkan hak mereka, meskipun bersamaan dengan perjuangan mereka, memudar pula harapan mereka. Tak ada yang tahu perihnya mereka selain diri mereka sendiri, serta orang yang ingin mendengar dan mengerti.
Selain orang yang ingin mengerti dan mendengar apakah ada orang yang peduli atas perlawanan suku Awyu dan Moi terhadap perusahaan sawit yang sampai menginvasi ke wilayah hutan tempat mereka tinggal?
Dengan serakahnya, tak ada yang peduli suku Awyu dan Moi yang sangat tergantung pada tanah, hutan, sungai, dan rawa. Hanya itu sumber mata pencaharian, pangan dan obat obatan mereka. Mereka hidup dari sana. Dari generasi ke generasi mereka hidup dari hutan mereka sendiri.
Namun, hutan yang sudah menghidupi banyak generasi ini terancam akibat adanya izin usaha perusahaan sawit di tempatnya. Setiap hari mereka meratap dan khawatir akan rusak serta terganggunya hutan dan segala isinya, karena sumber kehidupan utama mereka hanya dari situ.
Segala perlawanan dari hulu ke hilir sudah diupayakan, hingga banyak orang yang ingin mengerti dan mendengar mereka ikut bantu untuk suku Awyu dan Moi bisa mendapatkan kembali haknya. Hingga sampai di harapan besar yang ditunggu tunggu dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Namun na’as, perjuangan suku Awyu dan Moi serta orang-orang yang membersamai, tak dihiraukan oleh pihak yang kita percaya untuk menaruh harapan besar padanya. Harapan ditegakannya keadilan di negeri ini. Harapan mengeluarkan hal-hal bijak yang membela kaum tertindas, ternyata tetap bisa membuat kita putus asa.
Harapan tak sampai, Mahkamah Agung tolak kasasi suku Awyu. Perjuangan untuk menyelamatkan hutan Papua kini kian berat. Lantas, pada siapa kita harus menggantukan hak dan keadilan di negeri ini?
Semua hal ini berakar dari upaya pembangunan yang dicanangkan, tetapi ada pertanyaan besar tentang siapa yang diuntungkan?
UU Minerba yang sudah direvisi di bulan Februari kemarin, membuka peluang yang sangat besar untuk izin pertambangan, sementara perlindungan atas lingkungan semakin dilonggarkan. Dan kejamnya, masyarakat yang menolak seringkali dihadapkan dengan hukum yang sama sekali tidak adil. Mereka yang sebenarnya ingin dan berhak menjaga alam mereka sendiri, justru menjadi pihak yang terpinggirkan.
Tak hanya kerusakan alam yang kian hari kian parah, ketidakadilan pun semakin terlihat dengan jelas. Lantas, siapa yang paling menderita akibatnya?
Mereka yang tinggal di pedalaman, mereka yang hidupnya bergantung pada alam, kini harus menelan kenyataan pahit; alam yang mereka jaga telah dirusak dan mereka hanya bisa bertahan.
Kita sama-sama menyepakati bahwa keberlanjutan alam bukanlah pilihan, tetapi itu adalah kebutuhan yang harus diperjuangkan. Sudah terlalu banyak luka dan akan semakin mendalam jika penderitaan ini terus terjadi. Masyarakat yang sudah terpinggirkan, akan dibuat semakin jauh dari harapan.
Apakah akan terus seperti itu? Apakah bertambah buruk atau ada kabar baik? Sampai kapan penderitaan yang timbul dari keserakahan ini tejadi? Sampai kapan?
Foto || el jusuf pexels.com dan Greenpeace
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Referensi
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. (2024, 4 Februari). Catatan Tahun 2023: Masyarakat Adat di Tahun Politik: Di Tengah Hukum Represif dan Cengkaman Oligarki. https://aman.or.id/index.php/publication-documentation/239
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2023). Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) Tahun 2023. https://dibi.bnpb.go.id/
Greenpeace Indonesia. (2025). Cerita perjuangan Suku Awyu. https://www.greenpeace.org/indonesia/aksi/perjuangan-suku-awyu/
Global Forest Watch. (2025). Indonesia: Dasbor Negara – Keadaan Hutan 2000–2020. https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/?lang=id
Suhendra. (2025, Februari 21). UU Minerba disahkan! UMKM, ormas keagamaan diprioritaskan dapat izin tambang. Suara Kalbar. https://www.suarakalbar.co.id/2025/02/uu-minerba-disahkan-umkm-ormas-keagamaan-diprioritaskan-dapat-izin-tambang/
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)