Caption foto : Menjadi seorang Mapala berarti ia menanggung dua tanggung jawab. Pertama, memegang tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa, dan yang kedua sebagai seorang pencinta alam. (WARTAPALA INDONESIA / Mapala Wanaprastha Dharma Universitas Udayana).
Oleh : Irfan Maulana Azizy
Anggota Mapala Wanaprastha Dharma Universitas Udayana
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Mahasiswa pencinta alam atau biasa disingkat Mapala, sepertinya menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang keberadaannya seolah “wajib” di setiap universitas di Indonesia. Hampir setiap universitas memiliki Mapala. Bahkan ada beberapa universitas yang memiliki lebih dari satu Mapala.
Bila ditinjau dari arti nama, Mapala dapat diartikan sebagai sebuah sekumpulan mahasiswa yang mencintai alam.
Nah, sebenarnya dalam proses mengartikannya, menurut saya bukan hanya sebatas itu. Namun kita juga perlu mengartikan kata cinta sebagai kata dasar dari pencinta.
Menurut KBBI, cinta merupakan suka sekali, kasih sekali, dan ingin sekali, Jika ditinjau dari arti cinta menurut KBBI, sebenarnya kita dapat berpatokan pada hal tersebut.
Berarti yang namanya Mapala adalah sekumpulan mahasiswa yang memiliki rasa cinta terhadap alam. Sehingga untuk mewujudkan rasa cintanya, sudah seyogyanya Mapala harus melestarikan alam dari ambang kehancuran.
Mapala sebagai sebuah organisasi yang bernaung di bawah perguruan tinggi sudah berkewajiban bahwa, setiap kegiatan yang dilakukan harus belandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian.
Uraian di atas dapat mengartikan bahwa Mapala merupakan organisasi yang gandrung akan pelestarian alam. Selain itu, kedudukannya di bawah perguruan tinggi juga mengharuskan Mapala mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Jadi, menjadi anggota Mapala memiliki tanggungjawab yang besar. Selain bertanggungjawab sebagai mahasiswa, mereka juga bertanggungjawab terhadap arti nama Mapala itu sendiri.
Sebagai organisasi yang sudah mengikrarkan diri sebagai pencinta alam, seharusnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan, sejalan dengan nama pencinta alam, yaitu kegiatan yang tidak bertentangan dengan pelestarian alam.
Dewasa ini, terdapat 2 hal yang menjadi landasan besar bagi kegiatan di Mapala yaitu berpetualang dan pelestarian.
Berpetualang berarti mencoba pengalaman yang tak banyak dipilih orang. Seperti mendaki gunung, memasuki belantara hutan, memanjat tebing, menyusuri kedalaman gua dan masih banyak lainnya.
Kegiatan berpetualang lebih menekankan pada pengalaman yang menarik, dan kadang-kadang digunakan untuk beradu gengsi dalam mencapai puncak tertinggi, menjelajahi gua terdalam, dan sebagainya.
Sedangkan kegiatan lain yang sering juga dilakukan Mapala adalah pelestarian. Misalnya penanaman pohon mangrove, terumbu karang dan aksi-aksi lainnya yang dapat melestarikan alam.
Sejak kehadirian umat manusia 2 juta tahun lalu, pengrusakan alam sudah terjadi berabad-abad lamanya di muka bumi ini. Seiring manusia bertambah pintar, manusia turut melakukan perusakan terhadap alam. Titik balik yang begitu terasa adalah ketika revolusi industri di negara barat terjadi.
Mapala merupakan antithesis dari fenomena perusakan alam tersebut. Kehadirannya membawa tanggung jawab yang besar untuk dapat meminimalisir pengrusakan atau untuk mengembalikan keasrian alam. Namun dalam pelaksanaannya, Mapala luput dari peran yang seharusnya ia mainkan.
Betapa banyak Mapala yang sudah melakukan petualangan dengan konsep yang berlawanan dengan pelestarian alam. Bahkan banyak juga yang melanggar konsep pelestarian alam itu sendiri.
Jadi berpetualang yang seharusnya untuk meningkatkan rasa cinta terhadap alam, justru malah sebaliknya. Alam hanya dijadikan sebagai pemuas nafsu ego dan mereka menghiraukan pelestariannya.
Di lain sisi, kegiatan berpetualang Mapala juga melakukan kegiatan pelestarian alam. Kegiatan ini memanglah baik dan sesuai dengan tanggungjawabnya. Namun di sisi yang lain, mereka terkadang begitu menghiraukan keberlanjutan dari setiap kegiatan pelestarian tersebut.
Sudah cukup banyak Mapala yang hanya melakukan kegiatan menanam saja, tanpa memikirkan atau memonitoring tanaman yang sudah mereka tanam.
Mereka merasa tanaman kecil yang mereka tanam, dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa bantuan. Banyak juga Mapala yang tidak melakukan riset terlebih dahulu, sehingga mereka menanam tumbuhan yang tidak cocok untuk ditanam di habitat tertentu atau spesies invasif yang mereka tanam.
Hal-hal seperti itulah yang seharusnya menjadi perbaikan terhadap alam. Namun malah sebaliknya dan bahkan merugikan. Merugikan alam sekaligus merugikan Mapala yang sudah keluar tenaga dan dana untuk kegiatan penanaman.
Berpetualang sudah menjadi urat nadi bagi Mapala di Indonesia. Hal ini tak jauh-jauh dari sejarah terbentuknya Mapala di tanah air ini.
Sedangkan pelestarian alam, sudah menjadi kewajiban dan tanggungjawab Mapala seperti yang sudah termaktub dalam namanya.
Sebagai anggota Mapala, saya sering kebingungan, apakah kita harus melakukan kegiatan sebagai petualang atau sebagai pelestari alam?
Mapala Sebagai Penggiat Alam
Terbentuknya Mapala pertama kali di negeri ini tidak lepas dari tujuan awalnya, yaitu keinginan mahasiswa untuk rehat sejenak dari kondisi kekacauan politik pada tahun 1964.
Di tahun itu, banyak organisasi mahasiswa — khususnya di Universitas Indonesia (UI) — yang menjadi kaki tangan partai politik di lingkungan kampus. Sehingga pada tahun itu banyak perselisihan antar organisasi mahasiswa yang memiliki perbedaan pendapat, bahkan berujung pada konflik antar kedua belah pihak.
Dalam situasi itu, sekumpulan mahasiswa Fakultas Sastra UI mencoba membentuk organisasi sebagai antithesis dari kekacauan yang terjadi. Sehingga tahun 1964 berdirilah Mapala Prajnaparamita FS UI yang menjadi cikal bakal Mapala UI sekarang.
Pada awal berdiri, organisasi Mapala memiliki sikap yang independen atau tidak memihak pada pihak manapun. Sehingga Mapala hanya memihak pada dirinya sendiri dan mengikuti kehendak dirinya sendiri. Prinsip independen, masih tetap dipegang teguh oleh Mapala hingga detik ini.
Kegiatan Mapala pada awal pembentukannya adalah pendakian gunung, karena merupakan kegiatan yang paling konvensional pada saat itu. Di saat yang sama, sudah banyak mahasiswa yang memiliki hobi mendaki gunung.
Jika dilihat dari sejarah berdirinya Mapala di negeri ini, tidak lah jauh dari kegiatan berpetualang. Selain berpetualang mencari pengalaman baru, juga untuk mengenal masyarakat dengan lebih dekat. Seperti yang dikatakan Soe Hok Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya, dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”.
Kalimat Gie seolah-olah memberikan pelajaran bahwa, menjadi seorang Mapala harus dapat mengenal masyarakat dengan lebih dekat, sehingga dapat memunculkan rasa cinta terhadap tanah air.
Setelah Mapala UI terbentuk, disusul berdirinya Mapala dari berbagai perguruan tinggi lainnya di Indonesia. Mulai saat itu, keberadaan Mapala di perguruan tinggi seolah-olah menjadi wajib.
Mulai dari tahun 90-an hingga sekarang, Mapala dan anggotanya sudah menjelma menjadi petualang hebat tanah air. Mereka berlomba-lomba melakukan pendakian puncak tertinggi dunia, gua terdalam di Indonesia, dan berbagai macamnya.
Seperti yang sudah dilakukan Mapala UI pada tahun 90-an, mereka melakukan pendakian ke puncak tertinggi Indonesia. Lalu dilanjut dengan puncak tentinggi dunia.
Kemudian anggota Mahitala Universitas Parahyangan, mencetak rekor baru sebagai perempuan pendaki pertama asal Asia Tenggara yang berhasil mendaki seven summits.
Selain mereka, masih banyak kegiatan petualangan dari berbagai Mapala di Indonesia. Di dalam negeri maupun di luar negeri.
Mapala Sebagai Pelestari Alam
Mapala sebagai pelestari alam memang sebenarnya sudah menjadi kewajiban setiap anggota Mapala. Karena nama organisasinya menyandang nama pencinta allam, mau tak mau setiap anggota yang bergabung harus ikut serta dalam pelestarian alam.
Dewasa ini, perusakan alam terjadi di berbagai sudut tanah air. Mulai dari yang paling ujung, hingga yang di depan mata kita. Kondisi inilah yang seharusnya menggugah semua Mapala yang terdapat di tanah air untuk gotong royong mensosialisasikan dan melakukan aksi nyata tentang pelestarian lingkungan. Bukan malah asyik mendaki ceria di gunung. Apalagi gunung yang didaki merupakan gunung di kawasan cagar alam.
Mengingat demikian besarnya tanggungjawab dari nama Mapala, maka selayaknya semua Mapala sudah mulai mawas diri terkait kerusakan lingkungan yang dihadapi akhir-akhir ini.
Kegiatan Mapala sebagai pelestari alam, ada berbagai macam. Bisa melakukan penanam pohon mangrove, terumbu karang, atau sekedar mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pelestarian alam dan tentang dampak buruk dari perusakan lingkungan.
Tapi perlu diingat, kegiatan tersebut juga perlu riset ala mahasiswa yang sumbernya terpercaya, cara penyampaiannya benar, dan cara melakukan kegiatannya tepat.
Banyak Mapala yang sebenarnya memiliki semangat bagus terkait pelestarian alam, namun mereka tidak membarengi semangatnya dengan riset terlebih dahulu. Sehingga kegiatan yang mereka hasilkan sia-sia. Misalnya bibit yang telah ditanam mati, meskipun belum tumbuh besar. Sosialisasi yang mereka ajarkan ke masyarakat, tidak diimplementasikan oleh masyarakat, dan masih banyak lainnya. Terutama hal yang terpenting adalah terkait keberlanjutan dari kegiatan mereka.
Kita jangan membuat banyak kegiatan yang bermanfaat, tapi setelah itu kita tinggal tanpa tanggungjawab sedikit pun.
Menurut saya, yang seperti itu sama sekali tidak mencerminkan seorang mahasiswa. Seorang yang seharusnya melek terkait literasi dan ilmu pengetahuan, malah menjadi contoh yang tidak baik.
Menjadi seorang Mapala berarti ia menanggung dua tanggung jawab. Pertama, memegang tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa, dan yang kedua sebagai seorang pencinta alam.
Kedua tanggung jawab itu, seharusnya bisa dilakoni oleh seorang Mapala sejati, ia sebagai mahasiswa dan ia sebagai pencinta alam. Memang dalam implementasinya tidak semudah membalik telapak tangan. Ia harus dapat menjadi contoh dan memberikan aksi nyata untuk masyarakat dan alam.
Saya membayangkan, bila semua Mapala yang ada di negeri ini berkewajiban melakukan pelestarian seperti menanam — mangrove atau pohon atau terumbu karang — namun dalam penanamannya ia hanya fokus di satu tempat hingga tanaman di tempat itu hidup. Setelah itu baru mencari tempat lain.
Selain menanam, setiap Mapala juga berkewajiban melakukan sosialisasi secara mendalam di satu desa atau sekolah tentang pelestarian alam. Sehingga ia paham betul dengan konsep tentang pelestarian alam, dan seterusnya.
Bila bayangan saya terwujud, sepertinya tanah air ini akan memiliki alam yang lestari, dan memiliki sumber daya manusia yang unggul dalam pelestarian lingkungan.
Jadi, Mapala itu penggiat alam atau pelestari alam? Penggiat alam dalam artian ia yang selalu mengedepakan petualangan dalam segala kegiatannya. Lebih mementingkan mendaki gunung yang paling tinggi. Menyusuri gua yang paling dalam dan yang paling lainnya. Apakah Mapala seperti itu?
Atau Mapala yang lebih mementingkan pelestarian lingkungan, dalam artian ia yang lebih mengutamakan tentang pengelolaan sampah, tentang menanam dan yang berkaitan tentang pelestarian alam yang lain?
Sudah saatnya kita sebagai anggota Mapala merefleksikan kembali eksistensi Mapala di tahun ini dan tahun-tahun ke depan. Mau dibawa ke mana? Apakah kita mau berlomba melakukan petualangan yang heroik?
Atau kita berbondong-bondong untuk menggelorakan semangat tentang pelestarian lingkungan dengan aksi nyata atau sosialisasi kepada masyarakat?
Rasanya momentum 51 tahun Kode Etik Pecinta Alam, adalah momen yang tepat untuk kita bersama-sama merefleksikan bentuk kegiatan Mapala ke depan. (ima)
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)