Organisasi Pecinta Alam Sebagai Tempat Membentuk Orang Sampai Menjadi Manusia, Sekarang Sedang Tidak Baik-baik Saja

Oleh : Cecep Juanda (Uwa Bakung)
Perhimpunan Pendaki Gunung Sadawana

 Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Pada awal saya dan teman-teman nyebur di kegiatan alam terbuka ini, kami belum berpikir atau belum paham tentang organisasi. Kala itu kegiatan di alam terbuka bagi kami hanya kegiatan kegemaran atau hobi.

Sebelum mengenal kegiatan pecinta alam, kami memang gemar melakukan kegiatan di alam terbuka. Kami senang menjalankan kegiatan ini, karena saat bertualang di alam terbuka, akan tumbuh rasa kepedulian, persaudaraan serta harapan. Kami sepakat bahwa berjalan dan bermain di alam terbuka, jauh lebih baik daripada nongkrong-nongkrong. Saat itu di 1980-an, kami senang menyusuri jalan seperti ke Pangandaran dan Pelabuhan Ratu.

Kemudian kami mulai mengenal alam lebih dekat melalui kegiatan mendaki gunung dan menjelajah rimba. Lalu banyak teman dari SMA yang bergabung dan bersama-sama melakukan kegiatan pendakian maupun menjelajah rimba.

Aktifitas yang mulanya hanya hobi dan sekedar tertarik bermain di alam terbuka lambat laun menjadi serius. Semakin ke sini, kami makin mengenal dunia kepecintaalaman. Terutama saat bergaul dengan teman-teman dari anggota pecinta alam akademis macam Sispala dan Mapala.

Saking dekatnya, kami kerap diperbantukan saat mereka Diklatsar. Kami juga banyak belajar dari kegiatan-kegiatan yang diadakan Sispala dan Mapala. Ada rasa kepedulian, rasa sayang dan persaudaraan yang luar biasa erat di organisasi pecinta alam. Ada nilai-nilai yang tidak kami rasakan di organisasi lain.

Di Cileunyi Bandung, kami mengajak teman-teman mendaki gunung, melakukan diskusi-diskusi atau sekedar mengobrol di alam terbuka. Tentu ini jauh lebih baik daripada melakukan hal-hal yang negatif seperti tawuran dan mengkonsumsi narkoba.

Atas dasar ketertarikan saya dan teman-teman pada keindahan dan persaudaraan, di tahun 1987 kami mendirikan organisasi pecinta alam. Kami berkumpul di hutan pinus Gunung Malangyang. Waktu itu malam hari, suara daun dan dahan pinus yang bergesekan dihembus angin mengeluarkan bunyi khas, alam seperti bersuara.

Setelah berdiskusi, saya dan teman-teman sepakat menamakan Organisasi Pecinta Alam umum atau OPA non akademis ini dengan nama Sadawana yang artinya suara alam. Niat kami sederhana, yaitu agar generasi muda tidak hancur karena narkoba, caranya dengan melakukan kegiatan-kegiatan mencintai alam.

Saat itu yang tertanam di benak kami hanyalah mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat, terutama agar generasi muda dapat melakukan kegiatan positif, dapat mencintai alam, dan selamat ketika melakukan aktifitas di alam terbuka.

Kami dapat pula dukungan dan amanah serta nasehat dari orang tua, bahwa kita sebagai manusia adalah untuk mencari kebaikan sesuai tuntunan agama.

Berbuat Baik Selalu Menjadi Motivasi
Di usianya yang 36 tahun ini (2024) Sadawana masih mencoba untuk bangkit. Pada dasarnya adalah bagaimana kita mengarahkan diri kita ke dalam kebaikan, dan menyiasati agar tidak terjerumus dan terkontaminasi ke hal-hal negatif seperti narkoba.

Dalam organisasi, kami berusaha melakukan hal-hal positif yang kemudian berkembang menjadi kegiatan-kegiatan sosial seperti pengabdian masyarakat. Apa yang mampu kita lakukan, maka kita lakukan. Hal-hal ini mampu menciptakan perasaan yang sangat indah.

Rasanya 36 tahun begitu cepat, dan kami tidak menjadi lemah. Bahkan kami semakin kuat. Semakin lama semakin melekat karakter itu.

Mendaki gunung, menjelajah rimba dan ngobrol dengan masyarakat, ternyata

menjaga diri kita agar senantiasa berbuat baik dan peduli. Peduli dan berbuat baik selalu menjadi motivasi kami di Sadawana sebagai “Suara alam”.

Kami sadar betul bahwa ada sesuatu yang luar biasa di organisasi pecinta alam, yaitu kepedulian, persaudaraan dan kejujuran. Menjalankan hal-hal tersebut bukanlah mudah, namun kita belajar dan terus berusaha. Terutama belajar untuk jujur, dilanjutkan dengan usaha-usaha yang baik.

Dan yang utama dalam keorganisasian pecinta alam adalah mengurus dan memelihara serta mencintai alam, yang memang sudah ada ketetapannya di dalam Islam.

Pecinta Alam Bandung Raya
Seringnya bertemu dan berkumpul di antara organisasi pecinta alam seperti Mapala, Sispala maupun OPA non akademis, membuat kekerabatan anggota Sadawana dengan anggota organisasi pecinta lain semakin erat layaknya keluarga besar. Melakukan aktifitas alam terbuka, latihan bersama-sama, berdiskusi, mengobrol atau hanya sekedar nongkrong secara psikologis membuat kami terikat dalam tali persaudaraan.

Waktu itu keinginan kami untuk bersatu semakin kuat. Sampai akhirnya berdiri Forum Komunikasi Pecinta Alam se-Bandung. Walaupun prosesnya sangat panjang.

Dimulai awal tahun 1990-an, kami ngobrol dan diskusi. Dua tahun kemudian kami membentuk wadah pecinta alam dengan nama Keluarga Besar Pecinta Alam Bandung Raya. Dideklarasikan pada tahun 1992.

Setelah itu barulah terbentuk forum atas semangat persatuan antara organisasi-organisasi Mapala, Sispala, dan OPA umum se-Bandung Raya, yang kemudian makin berkembang dengan mengadakan kongres.

Persaudaraan itu tidak sebatas hanya satu atau dua organisasi, tetapi banyak. Waktu itu yang bergabung di forum banyak sekali. Yang katanya pecinta alam itu penuh dengan ego, nyatanya kami dapat berkumpul, dan saling tolong menolong. Baik saling bantu dalam kegiatan Diklatsar, berbagi ilmu dan pengetahuan, peminjaman peralatan, juga berbagi waktu dan tenaga.

Semangat Kesetaraan
Bisa dibayangkan jika seluruh organisasi pecinta alam di Indonesia bersatu. Segala komponen sumber daya manusia (SDM) ada di organisasi pecinta alam. Berbagai latar belakang keilmuan dan keahlian ada di organisasi-organisasi pecinta alam, dari yang akademis seperti Mapala, Sispala sampai OPA umum.  

Semua disiplin ilmu ada di organisasi pecinta alam. Dari disiplin ilmu kedokteran, budaya, teknologi, arsitek, psikologi dan seterusnya, ada di organisasi pecinta alam, terutama di Mapala. Masing-masing memiliki keahliannya sendiri, tetapi saling berbagi dan bertukar ilmu. Berbagi keilmuan ini sering diwujudkan berupa program-program organisasi, sampai program latihan bersama antar organisasi, antar daerah dan provinsi.  

Sekali lagi SDM di pecinta alam itu luar biasa. Mulai dari tentara, akademisi, ahli, bahkan pengangguran yang dulu disebut sebagai sampah masyarakat, ketika bergabung di OPA, maka yang pengangguran mempunyai predikat baru, yaitu anak pecinta alam, atau pendaki gunung.

Pergaulan di lingkungan pecinta alam tidak disekat antara mereka yang kaya dengan yang miskin, yang kuliah dengan yang tidak kuliah, yang sudah bekerja atau pengangguran. Tidak ada sekat, tetapi saling melengkapi dari berbagai latar belakang pendidikan. Semua bersatu dalam semangat kesetaraan. Maka bisa disebut, orang yang masuk pecinta alam seperti menjalani kuliah umum sepanjang masa.

Seorang pecinta alam tidak pernah merasa sendirian karena pecinta alam didoktrin untuk bersaudara kepada sesama pecinta alam. Ke mana pun sesorang yang berpredikat pecinta alam itu pergi ke suatu daerah, maka ia akan diterima oleh pecinta alam lainnya.

Jika ada bencana alam, kita tidak takut untuk menuju ke daerah terdampak, karena organisasi pecinta alam di daerah yang terdampak bencana, akan menyambut kita layaknya saudara.

Sesama pecinta alam tidak memandang siapa dan dari mana. Tidak pernah melihat bagaimana organisasinya memproses para anggotanya. Tetapi mereka memandang adalah sama, sebagai saudara dengan prinsip setara, tanpa pamrih, tanpa kepentingan pribadi, hanya kepedulian yang sama.

Inilah yang saya sebut sebagai nilai-nilai kepecintaalaman, sebagai kesadaran kolektif, kesadaran saling melengkapi.

Tetapi itu sangat sulit untuk membangunnya. Butuh proses yang panjang. Maka tak heran jika keanggotaan di kepecintaalaman itu seumur hidup. Para senior akan tetap mendampingi adik-adiknya dan memberikan teladan dengan contoh-contoh yang baik.

Namun bagaimana menanamkan kembali idealisme ini pada generasi sekarang dan akan datang? Idealisme itu semakin lama hilang dan kian memudar. Generasi muda seharusnya menyadari ini, dan sayang sekali jika kita tidak berbuat apa-apa untuk memperbaikinya.

Dapur Kita Dibongkar, Dijadikan Profesi
Saat ini kegiatan luar ruang (outdoor) semakin banyak, menjamur, dan semakin maju. Apalagi ditunjang dengan teknologi. Dahulu kami dicemooh sebagai pengangguran yang kerjanya hanya naik gunung, namun aktifitas-aktifitas yang dulu kami lakukan, saat ini banyak menjadi sumber mata pencarian seperti guide, instruktur, outbond, dan lain sebagainya.

Sekarang banyak dari kita yang menafkahi diri dengan kegiatan-kegiatan luar ruang yang dasarnya didapat saat bergabung di organisasi pecinta alam.  Semua yang dijual adalah dapur kita, karena sifat manusia adalah mengejar adrenalin, sampai dapur kita dibongkar dijadikan profesi.

Ini tentunya tidak salah, namun yang jadi masalah adalah ketika kita lupa bahwa organisasi yang mendidik dan membesarkan kita, tetap butuh kita agar tetap hidup, beregenerasi dan panjang umur.

Kegiatan luar ruang saat ini tak lagi membentuk karakter kita menjadi pecinta alam. Tetapi hanya mengejar adrenalin dan nafsu untuk sebuah pengakuan.

Banyak video dan cuplikan-cuplikan tentang petualangan yang luar biasa keren, beredar di sosial media. Tetapi karakter pecinta alam tidak bisa dibentuk hanya dengan menonton. Seorang anggota pecinta alam melalui proses yang panjang dan luar biasa, sehingga mereka memahami ruh dan marwahnya.

Dulu hutan yang dianggap angker dan sakral, kini jor-joran dibuka untuk wisata. Semuanya dipermudah. Banyak iming-iming menuju adrenalin, dengan kemudahan dan fasilitas serta pelayanan, sehingga membuat orang tidak mau susah.

Itulah yang membuat mental generasi muda rusak, karena dicekoki dengan hal-hal yang instan, dan minim proses, minim kerja keras dan kesabaran.  Jika semuanya mudah, lalu untuk apa ikut Diklatsar?   

Hal itu adalah salah satu penyebab kenapa regenerasi di organisasi pecinta alam semakin melorot.

Ilmu kepecintaalaman adalah Ilmu yang Harus Dijalani
Organiasi pecinta alam maupun pendaki gunung, mendapat stigma bahwa kebanyakan anggotanya adalah anak-anak bandel yang susah diatur. Namun yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa di dalam organisasi mereka dididik, dibina oleh para senior.

Energi mereka diarahkan untuk melakukan hal-hal baik seperti mencintai alam, mengendalikan ego, belajar jujur dan bertanggung jawab, disiplin, saling menghormati dan seterusnya. Sehingga orang-orang yang lahir dan besar di organisasi pecinta alam dan pendaki gunung mempunyai karakter yang kuat, tangguh dan penuh kepedulian.

Ilmu kepecintaalaman bukan sekedar ilmu yang didapat dari tulisan-tulisan di papan tulis, melainkan ilmu yang harus dijalani. Bukan melalui obrolan, tetapi harus dicontohkan serta didampingi. Dan para senior yang mengajarkan keilmuan tersebut juga harus terlatih dan paham di bidangnya.

Belum ada kampus-kampus yang mengajarkan seperti itu. Seandainya ada, tentunya sangat jarang. Karena kepecinatalaman ini bukan hasil belajar seminggu dua minggu, atau setahun dua tahun, tetapi seumur hidup.

Output dari pendidikan karakter ini akan terasa oleh anggota organisasi pecinta alam saat bekerja, berumah tangga, serta mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan.

Pecinta Alam Sedang Tidak Baik-baik Saja
Organisasi pecinta alam dan pendaki gunung adalah tempat berkumpulnya anak-anak bandel, keras kepala, kasar. Mereka kemudian dibimbing dan diajari senior-seniornya melaui Diklatsar. Lalu dididik dengan proses yang rumit dan panjang.

Perjuangan yang penuh pengorbanan dan resiko itu ditanggung oleh para senior-seniornya, bahkan sampai mempertaruhkan nyawa.

Namun organisasi yang dikenal sebagai tempat pembentukan karakter yang memproses “orang sampai jadi manusia”, kini dibatasi, dipersulit, dikerdilkan, dimandulkan bahkan dimatikan.

Pecinta alam sedang tidak baik-baik saja, kita berhadapan dengan perubahan zaman, kebijakan, kebutuhan, dan banyak faktor lainnya. Namun kita harus tetap optimis untuk tetap berjuang secara akal dan teknologi, secara otot, dan secara nurani. (cj).

Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB & Ratdita Anggabumi T, WI 190039
Foto || Wartapala

 

 

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.