Peringatan dari Baduy: Saat Gunung dan Hutan Menjadi Benteng Terakhir Kemanusiaan

Oleh : Wandi Wahyudi
Dewan Pengawas Anggota (DPA) Bidang Perencanaan

Jurnalis Wartapala, WI 200223

Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Di tengah laju modernisasi dan pembangunan infrastruktur yang pesat, kita kerap kali melupakan satu hal penting: keberlanjutan alam. Ketika hutan dibabat dan gunung-gunung dilubangi, kita sebenarnya sedang menggali lubang bagi masa depan kita sendiri.

Baru-baru ini, masyarakat adat suku Baduy memberikan sebuah peringatan penting yang seharusnya menjadi perhatian kita semua.

Dalam acara Seba Baduy yang digelar di Pendopo Bupati Lebak, Banten, pada Jumat (2/5/2025), para tetua adat Baduy menyampaikan kegelisahan mereka terkait kondisi alam di tanah Banten.

Mereka menyebut, terdapat 53 gunung di wilayah Banten yang kini terancam oleh kerusakan lingkungan. Rinciannya, 32 gunung berada di Kabupaten Lebak dan 21 gunung di Pandeglang. Ancaman ini bukan sekadar retorika, melainkan realitas yang sudah mulai tampak di permukaan.

Menurut Saidi Putra, Pemangku Adat Baduy, kerusakan lingkungan di sekitar 53 gunung itu sudah terlihat nyata. Beberapa wilayah seperti Ujung Kulon dan Bayah, kini menunjukkan tanda-tanda perubahan alam yang mengkhawatirkan.

Dia menyatakan dengan tegas bahwa jika kerusakan ini terus dibiarkan, akan muncul “penyakit alam” yang tak bisa disembuhkan oleh dokter. Yang dimaksud adalah bencana-bencana besar seperti banjir bandang, tanah longsor, angin topan, hingga tsunami.

Pernyataan Saidi Putra bukanlah ancaman, melainkan bentuk kecintaan terhadap alam yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur mereka. Mereka tidak hanya hidup berdampingan dengan alam, tapi juga menjadikannya bagian dari identitas dan nilai kehidupan. Karena itulah, pesan yang mereka sampaikan bukan hanya untuk pemerintah, melainkan juga untuk seluruh bangsa Indonesia.

Kerusakan lingkungan memang tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia dimulai dari pembiaran, diikuti oleh eksploitasi, lalu diakhiri dengan kehancuran.

Kita mungkin tidak merasakan dampaknya dalam hitungan minggu, tetapi dalam hitungan tahun, bencana akan datang dan menimpa siapa saja tanpa pandang bulu. Ini bukan lagi soal kawasan hutan atau gunung tertentu, tetapi soal keberlangsungan hidup umat manusia.

Bayangkan, jika hutan di gunung-gunung itu ditebang habis. Air hujan tidak lagi terserap ke tanah, melainkan mengalir bebas ke pemukiman dan sawah, menimbulkan banjir dan longsor. Sumber mata air mengering karena akar pohon yang menjaga keseimbangan air tanah telah mati. Keanekaragaman hayati hilang, dan kita kehilangan bahan pangan, obat-obatan alami, serta keseimbangan iklim lokal.

Kerusakan lingkungan juga berdampak sosial dan ekonomi. Masyarakat adat kehilangan wilayah kelola mereka, petani kehilangan sumber air, dan nelayan kehilangan sumber ikan karena muara-muara sungai tercemar.

Pada saat yang sama, biaya penanggulangan bencana terus meningkat, dan negara menanggung kerugian triliunan rupiah setiap tahun akibat bencana yang seharusnya bisa dicegah.

Oleh karena itu, pesan yang disampaikan oleh suku Baduy sangat relevan. Kita semua harus turut menjaga gunung dan hutan, bukan hanya karena nilai ekologisnya, tetapi juga karena ia adalah benteng terakhir yang melindungi kita dari bencana. Ini bukan hanya soal pelestarian, tetapi soal pertahanan hidup.

Sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang lebih tegas dalam melindungi kawasan pegunungan dan hutan. Moratorium izin tambang dan pembalakan liar harus ditegakkan secara serius.

Selain itu, pendekatan berbasis kearifan lokal seperti yang dilakukan oleh masyarakat Baduy perlu diadopsi sebagai model pembangunan berkelanjutan.

Masyarakat juga harus berperan aktif. Kita bisa memulainya dengan mengurangi konsumsi berlebihan, mendukung produk ramah lingkungan, dan menolak pembangunan yang merusak alam. Kampanye penyadaran publik harus digalakkan agar kesadaran ekologis menjadi bagian dari budaya bangsa.

Jika kita gagal mendengarkan peringatan ini, maka kita sedang menyiapkan panggung bagi bencana kemanusiaan yang lebih besar. Bencana bukan hanya datang dari gempa atau badai, tapi juga dari ketidakpedulian manusia terhadap alam.

Mari kita jadikan pesan dari suku Baduy sebagai cermin untuk melihat kembali hubungan kita dengan alam, karena menjaga gunung dan hutan bukan sekadar tugas satu kelompok, melainkan warisan tanggung jawab seluruh umat manusia. (*)

Foto || Acep Nazmudin, Kompas.com
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.