Pesona Kolong Bumi

Caption foto : Adalah suatu kepuasan bagi seorang penelusur gua, bila lampu yang dibawanya merupakan sinar pertama yang akan mengungkapkan sebuah pemandangan yang menakjubkan di bawah tanah (WARTAPALA INDONESIA / Imung Parangjati)

WartapalaIndonesia.com, FEATURE – Kegiatan di alam bebas semakin berkembang. Mendaki gunung sudah sangat dikenal, meniti tebing terjal, bahkan menginjak puncak gunung es atau salju, kini bukan lagi merupakan suatu impian.

Ada satu kegiatan lain di alam bebas yang mulai berkembang, yaitu penelusuran gua atau caving.  Penulis dan kawan-kawannya yang sama-sama punya hobi bertualang di alam bebas, melakukan aktivitas penelusuran di Gua Buniayu, Sukabumi. Jawa Barat.

Gua Buniayu tergolong gua wisata yang sudah dikelola dengan sistem manajemen Perhutani.

Walau sebagian orang merasa enggan mendekati lubang gelap menganga. Tapi Gua Buniayu justru kerap didatangi para penelusur gua, karena Gua Buniayu memiliki keunikan dan keindahannya tersendiri.

Perjalanan menuju Gua Buniayu dari Jakarta, dimulai jam 8 pagi. Sekitar 3 jam, kami berlima sampai di kota Sukabumi. Istirahat untuk makan siang, lalu melanjutkan ke arah Segaraanten.

Setelah 1 jam, sampailah di Nyalindung dan akan dijumpai pertigaan ke arah Nyilindung dan Segaranten. Pilih jalur Segeraanten. Sekitar 1,5 kilometer akan dijumpai pintu gerbang Gua Buniayu. Dari pintu gerbang masuk, sekitar 500 meter sampailah di lokasi wisata Gua Buniayu.

Kendaraan pribadi yang kami tumpangi, berjalan tidak terlalu cepat, dengan kecepatan rata-rata 60-80 kilometer perjam.

Kami disambut para pegawai Perhutani yang sekaligus menyewakan peralatan caving dan memberikan arahan singkat kepada kami sehubungan dengan medan Gua Buniayu.

Kami berlima memang tidak terlalu asing dengan kegiatan caving, sehingga kami semua sibuk bertanya soal medan dan kondisi gua kepada pengelola gua. Dari soal kedalaman lobang vertikal yang akan kami turuni, sampai dengan berapa jumlah ornamen-ornamen gua.

Kami semua berkemas. Mengganti pakaian dengan menggunakan pakaian spesial caving yang memang sudah disediakan. Lengkap dengan helm dan senter kepala.

Kami sangat bersemangat untuk segera memasuki Gua Buniayu dan teringat kata almarhum Norman Edwin (Mapala UI), ”Mengapa mereka ingin memasuki gua?”.

Jawabanya, ”Adalah suatu kepuasan bagi seorang penelusur gua, bila lampu yang dibawanya merupakan sinar pertama yang akan mengungkapkan sebuah pemandangan yang menakjubkan di bawah tanah”.

Patholing

Dari pos Perhutani tempat menyewa peralatan caving, kami berjalan menuju mulut gua. Sekitar 15 menit kami sampai di mulut gua. Peralatan sudah disiapkan untuk masuk dan menuruni mulut gua.

Untuk masuk ke Gua Buniayu, kami perlu menuruni lubang vertikal (Patholing), teknik Single Rope Technique (SRT).

SRT hanya menggunakan satu tali tunggal, dan menggunakan prinsip pemindahan beban ketika menuruni tali tersebut.

Semua peralatan untuk penurunan lubang vertikal ini, sudah disediakan. Tinggal kita membayar sewanya pada pihak pengelola gua (Perhutani).

Lubang gua yang menjadi mulut gua berbentuk seperti botol, sehingga seperti mengelantung ketika masuk Gua Buniayu.

Kami turun satu persatu. Kurang lebih 17 meter sampai 20 meter tegak lurus (vertikal) jarak dari mulut gua sampai ke dasar gua.

Kami berlima memakai senter kepala (head lamp). Satu pemandu dari pihak pengelola gua menggunakan senter kepala dengan menggunakan bahan bakar karbit. Jadi cukup terang untuk dapat melihat pemandangan perut bumi Buniayu yang begitu menawan.

Karst

Setelah berada di dasar gua, kami mulai melihat pemandangan batuan jenis gamping, karst dengan komposisi dominan kalsium karbonat, sehingga berwarna putih kekuningan.

Pada atap gua, mengantung stalagtit yang berwarna putih kehitaman. Noda hitam mungkin berasal dari kotoran kelalawar atau sejenis tanah yang mengucur dari atas gua. Bau pengap gua tidak terasa karena tersihir oleh indahnya stalagtit yang bertaburan menggantung di atap gua.

Kami terus menelusuri gua dan berjalan di dalam gua yang berair sebatas betis. Karena menggunakan sepatu karet dengan tinggi hampir sedengkul, kaki kami tetap nyaman dan kering.

Keindahan gua mulai nampak jelas ketika kami melihat ornamen-ornamen yang berbentuk bunga, dan berwarna putih berkelap-kelip karena adanya unsur fosfor dalam ornamen ini. Seperti kaca terkena simbahan sinar. Sungguh menakjubkan.

Jumlah ornamen berbentuk bunga ini kurang lebih dua puluhan. Berukuran beraneka ragam. Ada yang 5 meter x 3 meter, 10 x 5 meter, atau 15 meter x 8 meter berwarna putih dan mengkilap.

Dalam gua kami bertemu pecinta alam dari Universitas Parahyangan Bandung. Mereka sedang melakukan pemetaan gua. Kami berdiskusi sebentar soal kondisi gua dan teknik penelusuran gua ini.

Medan lumpur di dalam gua bagi kami sangat unik. Sebagai tukang jalan ke puncak-puncak gunung, terus terang agak kesal berjalan di lumpur kehitaman. Kadang terjeblos sampai ke dengkul, hingga saat kaki diangkat terasa berat dan berbunyi ”ceprot”.

Kalau sekali dua kali ceprat-ceprot, mungkin tidak masalah, tapi kalau puluhan menit harus injak lumpur, kaki tenggelam, kaki diangkat, lalu tenggelam lagi dengan bunyi ceprot-ceprot-ceprot entah berapa kali, agak kesal juga. Namun hati tetap senang karena melihat keindahan stalagmit yang berwarna putih kehitaman yang bermunculan di samping dinding gua yang berlumpur.

Terakhir, medan yang menantang yang harus dilalui adalah tebing setinggi 8 meter tegak lurus. Tebing ini berdinding dua. Jadi salah satu dari kami harus memanjat dahulu dengan menggunakan tehnik menghimpitkan badan di celah dinding gua, dan kaki menapak ke depan dinding gua (Chimneying). Cukup berat tapi dapat dilalui dengan baik.

Salah satu dari kami sampai di atas terlebih dulu. Lalu melemparkan tali dan tangga alumunium, agar anggota tim dapat memanjat dinding ini dengan mudah.

Setelah lima jam kami menelusuri gua yang bersuhu 25 derajat Celsius, kami sampai di lubang keluar gua tersebut yang letaknya di tengah kebun. Berjarak kurang lebih 30 menit dari posko Perhutani, tempat kami tadi memulai perjalanan.

Gua Buniayu memang tempat yang luar biasa. Pemandangan ornamen gua, stalagtit, stalagmit, juga batuan sungai bawah tanah, menjadi cerita yang menarik yang mengggantikan rasa lelah yang didera dari penelusuran gua ini.

Bagi penggemar kegiatan alam bebas dan menyukai pemandangan, Gua Buniayu adalah objek wisata yang perlu dikunjungi karena letaknya pun tidak terlalu jauh.

Dalam penulusuran gua ini, penulis mengingatkan soal prinsip-prinsip konservasi. Setiap buangan yang yang ditinggalkan akan merusak lingkungan biologis gua yang sangat rapuh, misalnya sampah karbit. Bawalah semua sampah-sampah keluar gua.

Setiap kerusakan yang ditimbulkan oleh penelusur adalah tindakan tercela, karena untuk merusakkan benda-benda dalam gua — misalnya stalagmit dan stalagtit — hanya butuh berapa detik saja. Sedangkan proses pembentukan benda-benda tersebut, membutuhkan waktu ribuan tahun.

Maka semboyan, Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill nothing but time, terasa semakin berarti. (Jangan mengambil apapun, kecuali gambar, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan bunuh apapun kecuali waktu).

Selamat mencoba Gua Wisata Buniayu dan nikmati kemolekan perut bumi. Dan nikmati keindahannya, sehingga kita dapat merasakan puisi orang Mongolia, “Di Xenadu tempat Kubilai bersabda… Di mana sungai tak berujung dan laut tanpa matahari”. (iw/ip).

Kontributor || Dr. Irwan Wisanggeni, SE, SH, MS.i. BKP. (Imung Parangjati). Dosen dan Penjelajah.
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.