Pulang dari Semeru Soe Hok Gie Berjanji Tak Akan Mendaki Lagi, Gunung Semeru Adalah Pendakian Terakhir Saya

Oleh : Rahayu Surtiati (M-004-UI)
Ketua Mapala UI tahun 1969

Wartapalaindonesia.com, FEATURE Pada bulan Desember 2024, kami merayakan 60 tahun Mapala UI. Tahun 1964 itu sebenarnya bukan Mapala UI. Mapala UI dibentuk tahun 1971. Pada tahun itu Soe Hok Gie, Maulana Ibrahim, saya, dan teman lain membentuk Mapala Prajnaparamita. Prajnaparamita adalah lambang Fakultas Sastra UI pada waktu itu, maka kami memilih nama Mapala Prajnaparamita.

Dulu di beberapa fakultas ada perkumpulan pencinta alam. Yang aktif adalah perkumpulan pencinta alam Fakultas Teknik dan Fakultas Kedokteran. Selama 6 tahun, Mapala di berbagai fakultas itu kami ajak bareng. 

Mapala Prajnaparamita dikagumi oleh pencinta alam di fakultas lain karena, kalau mendaki gunung, kami tak pernah mengalami apa-apa. Pokoknya selamat aja. Padahal pengalaman rekan di fakultas lain mengerikan, ada yang turun lagi karena dikejar macan, diserang tawon, dan sebagainya. Kami gak pernah mengalami musibah seperti itu. 

Kata anggota pencinta alam fakultas lain, kami aman di pendakian karena ada Yudhi (Hidayat Sutarnadi, M-008-UI). Candaan teman-teman, kalau Yudhi lewat, setan sudah kabur duluan cari selamat.

Yudhi itu susah tidur. Di pendakian Gunung Pangrango, kami tidur di dalam tenda. Yudhi masih terjaga. Besoknya, pagi-pagi Yudhi ngasih tahu, “Semalam kita kedatangan tamu,” sambal menunjuk jejak telapak macam. Dia sengaja tidak memberi tahu kami karena, kalau kami tahu ada macam, pasti panik.

Saya terbiasa berjalan jalan cepat. Makanya saya sering sampai di puncak duluan bersama Herman Lantang. Yudhi suka berlambat-lambat. Istilahnya, kita sampai hari ini, Yudhi sampai besok.

“Saya menikmati alam, ngapain sih kalian buru-buru?” begitu alasan Yudhi.

Ketika mendaki, Yudhi bukan teman yang ikut sibuk. Alasannya, “Biarkan orang lain jadi pahlawan”. Padahal dia itu malas.

Yudhi termasuk pemikir di Mapala. Tapi orangya suka berkelakar, kalau ada Yudhi, suasana langsung rame.

Yudhi masuk UI tahun 1962. Saya juniornya di UI. Yudhi mengambil Jurusan sejarah, satu jurusan dengan Soe Hok Gie. Kalau mereka bertemu, sering terjadi debat panas. Mereka gak pernah cocok, mungkin karena sama-sama tahu sejarah. Yudhi dan Soe Hok Gie baru bisa akur kalau berada di gunung.

G 30 S PKI Meletus, Kami di Gunung Merapi
Akhir bulan September 1965, kami ke Gunung Merapi di Boyolali, Jawa Tengah. Hampir semua anggota Mapala ikut. Ada Soe Hok Gie, Herman Lantang, Yudhi, Udin, Deddy Satrio, Darmatin, dan empat orang perempuan: saya, Pitut,  Ratnaesih dan Mayang Sari.

Sebelum berangkat, kami selalu berdoa, mohon diberi keselamatan di perjalanan hingga pulang ke Jakarta.

Di sepanjang perjalanan, hampir semua rumah di desa-desa yang kami lalui ditandai simbol BTI. Jadi, petani adalah anggota BTI. Kami ngobrol dengan mereka. Kami juga ngobrol dengan anggota Gerwani.

Kami asyik ngobrol karena gak tahu apa-apa. Mereka ramah, mungkin karena pada waktu itu juga gak tahu apa-apa. Di daerah Cepogo kami sempat berfoto.

Di pendakian Gunung Merapi, kami ditemani doktor Zen. Kami diajari turun dari puncak dengan berzigzag supaya gak ketimpa batu.

Kami mendaki Gunung Merapi tanggal 29 September 1965. Melalui jalur Selo, Boyolali. Besoknya, pulang dari Gunung Merapi, hari sudah mulai sore. Malam itu kami inap di Kota Solo, di rumah saudara Wahyono, anggota Mapala juga. Di tempat inap, kami dilarang keluar oleh yang punya rumah. “Karena ada jam malam,” begitu katanya.

“Hah, jam malam! Memangnya ada apa?”. Kami semua bingung sekaligus terkejut. Karena malam tanggal 30 September 1965, kami di Merapi, jadi tidak tahu apa yang terjadi. Kami sama sekali nggak tahu bahwa pada malam itu terjadi pembunuhan Jenderal atau peristiwa meletusnya G 30 S PKI.

Turun di Solo, sebenarnya adalah rencana dadakan. Satrio yang tingginya hampir 2 meter, saat turun tidak berzigzag. Kami di bawahnya melihat dia tumbang dan terperosot dalam keadaan tertelungkup. Akibatnya, muka, leher dan beberapa bagian tubuhnya lecet. Koy, teman serombongan juga jatuh. Untung dia cepat berjongkok dan langsung berpeegang pada batu besar. Dia selamat, tetapi tangannya terkilir.

Kami punya kebiasaan untuk mendaki dan turun gunung lewat jalur yang berbeda, naik dari utara, turun ke selatan. Tapi, karena dua teman luka, kami batal turun ke arah Magelang yang banyak jurang.

Peristiwa itu seolah sudah “diatur”. Bayangkan, andaikan turun melalui jalur Magelang, kami mungkin mati karena tentara sedang menyerbu anggota PKI yang ada di sana.

Herman Lantang dan “Ikrar Hati Besi”
Yang paling saya kenang tentang Herman Lantang adalah ketika dia dan beberapa berapa teman berikrar, “Pokoknya nggak mau cewek”. Istilah mereka, “hati besi”. Maka, dia lambat menikah. Herman Lantang tidak suka perempuan dandan. Kalau kami akan mendaki gunung, Herman memeriksa semua rangsel perempuan. Kalau ada kosmetik, dia langsung membuangnya.

Waktu mendaki Gunung Salak, kami tersesat selama 3 hari. Herman sempat bersitegang dengan anggota kelompok yang membawa kompas dan percaya pada kompas. Sementara itu, Herman pernah tinggal di Manado dan masuk keluar hutan. Dia tahu membaca tanda-tanda alam. Herman memandang ke langit, melihat bintang-bintang.

Usai melihat bintang, Herman mengeluarkan golok. “Jalan ke sana!” perintah Herman dengan suara keras. Kami semua langsung mengikuti perintahnya. Ternyata Herman benar. Arah yang ditunjuknya adalah arah ke jalur pendakian.

Begitulah Herman, orangnya sangat tegas, terkadang ada juga lucu-lucunya.

Pendakian Terakhir Soe Hok Gie
Soe Hok Gie masuk UI tahun 1962 atau 1961, saya lupa, sedangkan saya tahun 1964. Saya dekat dengan Soe Hok Gie, sampai-sampai orang tua saya khawatir. Mungkin mereka kira kami pacaran dan bakal mengganggu kuliah.

Semasa mahasiswa, saya sering ke Soe Hok Gie kalau ada kesulitan belajar karena dia waktu itu hampir menjadi dosen. Kalau sudah bicara tentang sejarah dan kebudayaan, saya ke Soe Hok Gie yang banyak membaca.

Bersama Soe Hok Gie, saya pernah mendaki Gunung Gede. Dia mengantar Duta Besar Cekoslowakia mendaki gunung. Meskipun heran, saya gak tanya ke dia, kok kenal Dubes Cekoslowakia segala. Kami berangkat pagi, sampai di puncak siang hari, dan langsung turun. 

Soe Hok Gie juga penuh inisiatif, banyak ide, dan sangat menjaga kami, teman-teman di Mapala. Saya ingat tahun 1965 sering terjadi demonstrasi. Soe Hok Gie melakukan berbagai kegiatan yang tujuannya menjaga kami yang ikut demo. Soe Hok Gie juga penggiat asimilasi, supaya orang Cina menjadi Indonesia.

Begitulah Soe Hok Gie, aktif banget orangnya. Soe Hok Gie ini juga baik ke semua teman perempuan, tetapi tak pernah berniat macarin satu pun. Maka, sampai meninggal, Soe Hok Gie tak punya pacar.

Kalau Anda pernah membaca buku Catatan Seorang Demonstran, di buku itu Soe Hok Gie menyebut nama saya ketika saya menjadi Ketua Mapala pada 1969. Ketua Mapala tiap tahun diganti.

Di tahun 1969 itu, Mapala mengadakan pendakian ke Gunung Semeru. Pendakian itu seperti puncak kegiatan bagi kami anggota Mapala, tetapi saya tidak ikut. Herman, Maman, dan Soe Hok Gie pergi bersama beberapa peserta yang bukan anggota Mapala, termasuk Idhan Lubis yang meninggal juga.

Mendengar musibah di Gunung semeru, kami semua bergerak. Fokus kami adalah bagaimana para pendaki itu kembali ke Jakarta. Untungnya, teman-teman punya banyak hubungan dengan segala macam pihak, jadi kami cukup tenang menghadapi musibah itu.

Sebenarnya Soe Hok Gie pernah minta diperabukan, dan abunya ditebar di gunung. Namun, ketika jenazah Soe Hok Gie tiba, keluarganya ragu untuk memperabukan Soe Hok Gie. Jadi Soe Hok Gie dimakamkan dulu di Menteng Atas. Baru kemudian diperabukan.

Waktu Soe Hok Gie mau ke Semeru, sebenarnya dia sudah dilarang, karena sudah jadi dosen. Namun, Soe Hok Gie membolos dan berjanji pulang dari Semeru tak akan mendaki lagi.

“Ini pendakian saya yang terakhir. Nanti setelah dari Semeru, saya akan menjadi dosen yang baik. Saya tidak akan mendaki ke mana-mana lagi”. Begitu janji Soe Hok Gie. (as).

Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB & Ratdita Anggabumi T, WI 190039
Foto || shelter3.blogspot.com & Wartapala

Catatan redaksi :

  1. BTI (Barisan Tani Indonesia) adalah salah satu ormas yang didirikan petani pada masa awal kemerdekaan. BTI sering diidentifikasi sebagai sebuah entitas di bawah naungan PKI (Partai Komunis Indonesia).
  2. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) adalah organisasi pergerakan kaum perempuan. Afiliasi Gerwani pada PKI menyebabkan organisasi ini dianggap terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mereka dituduh melakukan kekerasan dan tindakan asusila terhadap para jenderal korban Gerakan 30 September 1965.
  3. Negara Cekoslowakia bubar pada tahun 1993. Menjadi dua negara, yaitu Ceko dan Slowakia. (Sumber : Wikipedia).

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.