SAR Binaya 1987: Dari Sunrise ke Evakuasi di Punggung Binaya

Oleh : Lody Korua
Mapala UI

Wartapalaindonesia.com, FEATURE – Agustus 1987. Di puncak Gunung Binaya, Maluku, dua peserta Operation Raleigh — Paul Claxton (fotografer ekspedisi) dan Ashley Hyett (peserta dari Inggris) — memutuskan bermalam demi memburu momen matahari terbit.

Sayangnya, mereka naik tanpa pendamping dari Kanikeh, melanggar aturan yang mewajibkan setiap pendaki ditemani pemandu lokal.

Keesokan paginya, setelah memotret sunrise, mereka turun. Tapi alih-alih menyusuri jalur yang semestinya, mereka tersesat ke jalur rusa — jalur samar yang terlihat seperti setapak manusia, namun jauh lebih terjal dan berbahaya, menjauh dari arah desa. Mereka pun menghilang.

Makan Topi
Saya Lody Korua (Mapala UI), bersama Ilham (Wanadri) dan Kapten They So Jin (Singapura), menerima kabar dari Kapten Steve Oliver: dua orang belum kembali dari puncak. Tanpa buang waktu, kami bentuk tim pencari.

Saat menuju pos penelitian, kami bertemu Rahman Satria Adi (Rakata) dan Martua Sirait (THC), dua peserta Indonesia yang tengah riset di sana. Steve sudah lebih dulu berada di lokasi.

Kami bermalam di sana, memanfaatkan sumber air. Steve sempat frustrasi, mengira kami menyerah terlalu cepat. Ia menunjuk topi lusuhnya dan berseloroh, “Saya makan topi ini kalau kalian bisa berangkat tepat waktu besok pagi”.

Mungkin ia sudah terlanjur skeptis pada istilah “jam karet”. Tapi subuh itu, kami sudah rapi berjajar, bahkan sebelum fajar menyingsing. Steve terdiam. “Menang telak,” celetuk Rahman dan Martua sambil tertawa kecil.

Antara Kompas dan Naluri Leluhur
Pagi itu, para pemburu Kanikeh datang, dikirim langsung oleh Bapak Raja. Tim dibagi tiga: Ilham menyisir kiri, They So Jin di tengah, saya di kanan — masing-masing didampingi empat pemburu. Kami menyisir sisi barat jalur puncak.

Medan kian menantang, dan tim tengah kehilangan kontak dengan tim kiri. Kami harus turun curam dan menghindari jurang demi menyatu kembali. Di sinilah terlihat perbedaan pendekatan: saya mengandalkan peta dan kompas, sementara para pemburu membaca alam — bekas bacokan di pohon, torehan di batu, tanda-tanda tak tertulis.

Saya memilih terus maju. Mereka sempat mundur, khawatir saya akan tersesat. Tapi saya percaya pada ilmu medan yang saya pelajari dari para senior Mapala — Iwan Bungsu, Tedi Kardin, Rafiq Pontoh, Herman Lantang, Bongkeng.

Dan saya berhasil mencapai jalur setapak lebih dulu dari mereka.

Cerita ini kemudian menyebar di Kanikeh. Konon saya bisa “terbang.” Bahkan Bapak Raja berseru, “Orang Indonesia seng bisa hilang di Binaya. Orang bule jang macam-macam. Harus dengar kata orang Indonesia.”

Ashley Masih Bernyawa
Kabar baik akhirnya datang: Tim Ilham menemukan Ashley tergantung di sisi tebing — penuh luka, tubuhnya mulai diliputi belatung, tapi masih hidup. Lokasi Paul Claxton juga ditemukan, sayangnya ia telah meninggal dunia.

Kami kembali ke basecamp, melaporkan hasil temuan dan menyiapkan evakuasi. Tim medis segera bergerak: Heri Macan (Wanadri), dr. Steven Hill, dan tim dari Kanikeh berjalan kaki tiga hari dari Wahai menuju Binaya.

Bapak Emil Salim (Menteri Lingkungan Hidup) dan Ibu Erna Witoelar (Ketua Raleigh Indonesia) datang langsung dengan helikopter dari Ambon. Saya masih ingat, saat Bu Erna menyentuh bahu saya, matanya berkaca-kaca, “Lody, tolong jemput mereka, ya…”

Saya hanya mengangguk. Kagum sekaligus tersentuh: seorang menteri datang langsung ke lapangan.

Saya, Norman Edwin (Mapala UI), dan MG Alif (KAPA UI) ikut dalam heli. Tapi kabut tebal menggantung di atas Binaya. Kami hanya bisa berputar di udara. Karena terlalu bersemangat mengintip lokasi, saya tak sengaja menyentuh tuas kemudi. Pilot membentak. Wajar.

Tapi begitu mendarat, ia malah minta maaf. Saya pun menjawab, “Harusnya saya yang minta maaf.”

Akhirnya, evakuasi udara dibatalkan. Semua harus kembali ditempuh lewat darat.

Caption foto: Evakuasi jalur darat dengan teknik rapeling. (red).

Evakuasi Jenazah Paul: Rapeling dan Kamera
Kami naik kembali, kali ini untuk mengevakuasi jenazah Paul. Ia tergantung kepala di bawah, tertahan ransel di bibir tebing.

Kami pasang tiga jalur tali: dua untuk Ilham dan Norman menurunkannya, satu untuk saya yang harus memotret sambil rapeling.

Kamera menggantung di leher, dada tertekan tali. Heri Macan dari bawah berteriak, “Jangan sampai kamera itu ketinggalan, Lo!”

Setiap kali tubuh Paul membentur tebing, darah menetes. Kami tercekat. Di satu titik, tali sempat kendur — tubuh Paul nyaris jatuh. Ilham dan Norman menahan sekuat tenaga. Mereka luar biasa tangguh.

Setelah berhasil diturunkan, jenazah dibungkus dengan bivibag gore-tex miliknya. Kami gotong bersama menuju jalan setapak. Warga dan TNI sudah menunggu. Tim evakuasi utama turun lebih dulu.

Di basecamp, suasana senyap. Kapten Chris Kendal berbisik, “Kami tak tahu Indonesia punya jungle expert seperti kalian. Erna nggak pernah cerita.” Norman memberikan buku pendakiannya pada Chris. Sang kapten memintanya menandatangani.

Caption foto: Proses pembungkusan jenasah Paul Claxton. Heri Macan baju putih,
Ilham kaos hitam, They So Jin kaos merah, Lody baju loreng. (red)

Adat Kanikeh dan Pemakaman Sementara
Jenazah tiba di Kanikeh menjelang subuh. Namun menurut adat, jenazah tak boleh masuk desa. Harus segera dikuburkan. Karena helikopter belum pasti, jasad disemayamkan sementara di sekolah, lalu dikuburkan dekat lapangan bola. Warga sempat memprotes keras, tapi akhirnya setuju.

Beberapa hari kemudian, Duta Besar Inggris datang dengan helikopter. Kubur dibongkar. Saya tak bisa membayangkan seperti apa kondisinya.

Antara Cahaya Alam dan Garis Takdir
Tugas utama saya di Operation Raleigh sebenarnya di laut: jadi koordinator selam di Pulau Sawai, bersama dr. June Margreth Luhulima Nainggolan. Tapi saya juga ditugaskan sebagai fotografer oleh almarhum Rudy Badil dari Kompas.

Saya bawa Nikon F2AS, FM2, lensa 80–200 mm dan 24 mm, serta tripod Manfrotto. Semua foto saya ambil dengan cahaya alam. Karena seperti kata Pak Tirtoandayanto: “Cahaya alam itu nyawa.”

Biasanya saya memotret bersama Paul Claxton. Tapi entah kenapa, hari itu dia tidak mengajak saya. Mungkin memang sudah begitu jalan ceritanya. (RA)

Catatan redaksi: Kisah ini diceritakan oleh Lody Korua kepada jurnalis Wartapala Ratdita Anggabumi. Om Lodi (begitulah Ratdita memanggilnya) juga berpesan jika ada teman-teman SAR Binaya yang ingat detail lain di kisah ini, silakan ditambah atau dikoreksi, karena wajar jika ada yang terlewat — ini sudah lebih dari 30 tahun lalu. Tapi kata om Lody,” Jujur saja, rasa di dada itu… masih terasa seperti kemarin”.

Kosa kata seng artinya tidak. Jang artinya jangan. (*)

Foto || Koleksi pribadi Lody Korua
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

 

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.