Sepenggal Kisah Iwan Santoso Menjaga Jalur Blembem Gunung Kembang Bersih dari Sampah (Bagian pertama)

Caption foto : Ketua Basecamp Gunung Kembang Wonosobo, Iwan Santoso menerima penghargaan usai tampil sebagai narasumber Indonesia Mountain Tourism Conference 2024.  (WARTAPALA INDONESIA / Ahyar Stone). 

Wartapalaindonesia.com, FEATURE – Iwan Santoso namanya. Jabatannya Ketua Basecamp Gunung Kembang Wonosobo, Jawa Tengah. Mas Iwan — begitu ia biasa dipanggil – orangnya energik, percaya diri, humoris dan rambut gondrongnya kerap dihiasi syal segitiga warna merah.  

Sekilas penampakan Iwan, lebih mirip rocker angkatan 90-an dari pada “komandan penjaga kebersihan” jalur pendakian Gunung Kembang via Blemben.

Menjaga agar sampah tidak bertambah di jalur pendakian, dan memunguti sampah yang sudah terlanjur bertebaran di sana, sehingga gunung bersih dari sampah – istilah kekiniannya zero waste mountain – sungguh tidak mudah. Perlu ketelatenan, bertindak edukatif, ramah tapi tetap tegas.  

Modal berikut yang tak kalah penting adalah tidak mudah uring-uringan, alias dilarang baperan, karena menerapkan zero waste mountain, berarti siap “dimusuhi” beberapa pihak. Termasuk pihak penjaga basecamp di gunung lain.

Bagimana “jalan mendaki” Iwan Santoso dan teman-temannya menerapkan zero waste mountain?

Berikut sepenggal kisah yang disampaikan Iwan Santoso saat tampil sebagai narasumber Indonesia Mountain Tourism Conference 2024. Selamat membaca.

Gunung adalah Pintu Langit
Saya dan teman-teman punya organisasi penggiat alam yang bernama Skydoors. Ini organisasi tertua di Wonosobo. Jawa Tengah. Skydoors artinya pintu-pintu langit.

Pintu langit tidak cuma satu. Pintu langit ada banyak. Puncak gunung juga pintu langit.

Kalau langit kita ibaratkan rumah, maka sebelum masuk rumah, pintunya harus kita bersihkan dulu. Melihat gunung-gunung di Indonesia yang kotor karena banyak sampah, kami prihatin.

Saya juga prihatin sekaligus tersinggung dengan orang asing yang mengatakan, “Kalau kamu tersesat di gunung Indonesia, ikuti saja sampah yang bertebaran, kamu pasti kembali ke jalur pendakian”.

Sebagai putra Indonesia, saya tersinggung dengan perkataan seperti itu. Makanya saya ajak banyak pihak, “Ayo kita buat pendaki mancanegara tersesat, dengan cara kita buat gunung menjadi bersih”.

Sudah bertahun-tahun saya ngobrol-ngobrol dengan banyak pengelola gunung. Ngobrol tentang, “Bagaimana membuat gunung menjadi bersih.”

Tapi karena kami tidak punya basecamp, obrolan kami kurang ditanggapi. Kami dianggap omong doang tapi tak bisa merealisasikan.

Alhamdulillah, Tuhan mengijinkan. Akhirnya kami bisa mengelola gunung dan punya basecamp di Gunung Kembang. Kami mulai bisa melakukan edukasi.

Makhluh Halus Bisa Disingkirkan, Apalagi Sampah
Kalau bicara tentang sampah di gunung, saya yakin kita sangat mampu mengelolanya. Saya ada satu pengalaman nyata.

Waktu saya mau mengelola Gunung Kembang, saya diberi tempat berupa gedung di perkebunan. Ini yang kami gunakan sebagai basecamp. Gedung ini sudah kosong sejak tahun 1996.

Warga setempat menyampaikan kalau gedung itu angker, karena banyak mahluk halusnya. Sebelum saya masuk atau sebelum buka basecamp, saya panggil 6 orang paranormal.

Ternyata semua paranormal itu menyampaikan hal yang sama. Gedung ini banyak penghuninya, makhluk halus yang tidak kelihatan.

Saya tanya ke paranormal itu, “Bisa nggak makhluh halus itu disingkirkan?”.

Ternyata 6 paranormal tadi, jawabannya sama, “Bisa”.

Nah, dari pengalaman ini saya jadi tambah semangat, karena, “Yang tidak kelihatan saja bisa dibersihkan. Apalagi yang kelihatan”.

Ini artinya, kita semua termasuk pengelola-pengelola gunung harusnya sangat bisa. “Lha wong sampah itu kelihatan kok”.

Sampah itu kalau malas ngambilnya, ya tinggal disapu, atau dibakar. Intinya jangan membuat kotor.

Tentu, sayang sekali kalau gunung di tempat kita yang indah-indah, rusak hanya karena sampah. Tidak sebanding nilai sampah dengan nilai keindahannya.

Semua Orang Ingin Gunung Bersih
Bicara tentang pengelolaan gunung, 6 tahun belakangan ini saya ketemu dengan semua pengelola gunung. Tahun 2002 saya ketemu dengan pengelola taman nasional di Indonesia.

Begitu saya tanya ke mereka, “Pengelola mana yang ingin jalurnya kotor?”

Ternyata enggak ada yang menjawab. Berarti semuanya ingin bersih.

Sampai detik ini saya mengelola Gunung Kembang, sudah hampir 50 ribuan pendaki yang naik Gunung Kembang. Saya tanya ke pendaki, “Mau naik di gunung yang bersih atau yang kotor?”.

Belum ada satu pun pendaki yang menjawab ingin naik gunung yang kotor. Semua ingin naik di gunung yang bersih.

Jadi kesimpulannya adalah, “Pengelola ingin jalurnya bersih. Pendaki ingin naik di gunung yang bersih”

Tetapi kalau semua gunung itu tetap kotor, “Ini brengsek sekali”. Ngak fair namanya. Sudah sama-sama kepingin bersih, “Tapi kok gunung masih tetap kotor?”

Meminimalisir Kerusakan
Kalau bicara tentang alam, kita sangat sadar bahwa, di mana area dijamah manusia, pasti muncul banyak kerusakan. Terhadap kerusakan itu, kita hanya bisa berusaha meminimalisir. Ini sudah kami buktikan.

Maksudnya, kalau kita bicara tentang pengelolaan gunung, “Gunung yang harusnya rusak 5 tahun, bisa 10 tahun baru rusak”.

Karena yang biasa terjadi di lapangan adalah, pendaki yang saat naik gunung terus area itu kotor, dia tidak akan bersih-bersih. Tetapi dia akan cari area baru yang bersih untuk mendirikan tenda. Nah, ini kerusakannya jadi tambah luas

Kalau area itu selalu bersih, pendaki tidak akan bergeser. Dia akan ada di situ, dan di situ terus. Nah situasi seperti ini juga perlu dipahami teman-teman sesama pengelola gunung.

Mendaki Gunung Kembang Tidak Ribet
Keprihatinan kami juga muncul karena banyak teman-teman sesama pengelola gunung, ingin kedatangan tamu mancanegara yang notabene uangnya besar dan prosesnya tidak ribet.

Tamu mancanegara kalau mendaki, pasti perlu porter dan guide. Artinya semua dapat tambahan rejeki.

Harapan kami, teman-teman ini juga paham, tamu dari mananegara itu sudah terbisa dengan yang bersih di negara asalnya. Jadi kalau ingin mengundang tamu dari mancanegara, “Ayo kita buat dulu gunung jadi bersih”.

Dengan cara seperti ini, kemungkinan suatu saat bukan hanya pendaki Indonesia yang mendaki di luar negeri. Tetapi gantian orang dari luar negeri yang mendaki gunung-gunung Indonesia.

Ternyata budaya orang Indonesia, belum bisa seperti ini. Bisa dibuktikan di mana-mana. Di hampir semua gunung ada tulisan, “Bawah turun sampahmu”. Ada tulisan besar, “Jangan buang sampah sembarangan”.

Tapi realisasinya tidak terlalu signifikan. Ternyata kami harus action. Risiko kami action, kami dianggap basecamp yang banyak aturan. Basecamp yang ribet.

Sementara ini, banyak orang yang belum mau ke sini. Masih ada yang takut datang ke Basecamp Gunung Kembang karena menganggap di sini ribet.

Sebenarnya kami tidak membuat ribet. Tidak membuat repot. Justru kami care. Kami justu peduli dengan keselamatan pendaki. Itu yang menjadi prioritas kami.

Siapa pun semestinya ingat, serendah apa pun gunung, pendakian ke sana tetap termasuk wisata minat khusus. Salah satu olahraga ekstrim. Artinya orang tidak bisa serta merta mendaki dengan asal-asalan. Harus ada safety.

Yang membuat kesan mendaki Gunung Kembang ribet, karena pendaki yang baru sampai ke basecamp, kami ajak aklimatisasi dulu.

Mereka datang dari jauh. Mungkin dari Jakarta. Atau dari Jogja dan Semarang yang biasanya naik motor kalau ke sini.

Di sini mereka kami wajibkan istirahat sejenak. Karena kalau langsung dicek kesehatannya, padahal kondisinya capek, hasil tensinya pasti tidak stabil.

Saat mereka aklimatisasi, kami punya kesempatan untuk mengingatkan. Kami bukan sweeping barang bawaan mereka. Tapi kami mengingatkan mereka untuk cek ulang barang bawaannya. Inilah yang sering dikatakan kami bikin ribet.

Mereka dari rumah sudah packing rapi. Sampai di basecamp harus dibongkar. Dibuka semuanya. Inilah yang sampai sekarang masih banyak yang menganggap, kami bikin ribet. Padahal tujuan kami untuk keselamatan mereka juga.

Selesai mereka packing ulang, kami sarankan untuk cek kesehatan. Setelah cek kesehatan dan hasilnya dianggap layak, barulah mereka registrasi.

Saat registrasi, mereka harus melampirkan daftar (list) barang bawaan yang berpotensi menjadi sampah.

Setelah mereka mendata barang bawaannya, kami sampaikan ke mereka,” Besok sebelum turun, kalian cek lagi sampahmu, karena nanti ada pengecekan di bawah. List yang kalian tulisan, besok kami bawa”.

Di basecamp kami tulis pengumuman, denda pelanggaran sampah Rp. 1 025 000. (satu juta dua puluh lima ribu rupiah, red). Banyak yang menganggap denda kami terlalu besar.

Padahal, walaupun dendanya sebesar 1 milyar, kalau mereka tidak melakukan pelanggaran, denda sebesar itu juga tidak ada artinya, karena mereka tidak akan didenda. Tapi melihat denda itu, mereka sudah takut duluan.

Kalau tidak ada aturan, orang akan seenaknya buang sampah sembarang karena dia tidak ada perasaan takut. Sama Tuhan saja dia tidak takut.

Itu kan aneh. Begitu muncul angka nominal denda, mereka ketakutan.

Hal-hal seperti itulah yang oleh pendaki, kami dikesankan mencari-cari.  Padahal kami tidak seperti itu. Justru kami adalah satu-satunya basecamp yang ingin menghapus aturan. 

Kami tahu, pendaki takut tentang aturan, kami justru membantu pendaki untuk menghapus aturan-aturan di gunung.

Caranya, kalau pendaku sudah tertib, sadar dan tidak lagi buang sampah di gunung, ngapain lagi ada aturan?

Harapan kami nanti, pendaki datang, registrasi dan kami percaya mereka tidak buang sampah. Kalau konsisinya sudah begini, segala aturan tidak diperlukan lagi.

Siapa Sebenarnya yang Bikin Ribet?
Pengelola gunung, pelaku wisata dan para pendaki mestinya memahami, kami tidak ingin bikin ribet. Kalian ingin gunung bersih, saya juga ingin bersih.

Sebenarnya kalau bicara ribet, mereka itulah yang sebenarnya bikin saya ribet.

Karena kalau saya tidak menerapkan aturan, keinginan mereka agar gunung jadi bersih, tidak akan terealisasi.

Ribet mereka 1 kali. Ribet saya berkali-kali. Kalau kami kedatangan 100 pendaki, maka ribet kami 100 kali.

Tapi okelah kami lakukan, karena tujuan kami hanya ingin membuat gunung bersih dari sampah. Kalau gunung jadi bersih, kita semua akan nyaman dan aman. Kita semua senang. (Bersambung).

Sepenggal Kisah Iwan Santoso Menjaga Jalur Blembem Gunung Kembang Bersih dari Sampah (Bagian kedua) – WARTAPALA INDONESIA

Kontributor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Editor || Nindya Seva Kusmaningsih, WI 160009

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.