Oleh : Danang Arganata, WI 200050
Editor Wartapala
Wartapalaindonesia.com, EDUKASI – Terdapat pelbagai macam jenis media. Beberapa di antaranya adalah media massa cetak, media daring (online), dan media televisi. Masing-masing memiliki fokus utama, gaya khas, dan narasinya tersendiri.
Media televisi, misalnya. Fokus utamanya ada pada visual. Yaitu pada gambar bergeraknya (video).
Coba lihat acara berita di televisi. Asumsikan ada dua bahan berita untuk ditayangkan sebagai berita utama (headline): 1) skandal politik nasional, dan 2) bencana banjir bandang di suatu daerah yang itu terekam kamera.
Mana yang akan terpilih sebagai headline? Tentu yang visual-nya paling menarik perhatian penonton. Sekarang mana yang lebih menarik? Politisi lalu lalang di dalam gedung dewan atau aliran air deras yang meluluhlantakkan sebuah desa? Tentu bencana banjir bandang yang akan dipilih.
Media massa cetak, berikutnya. Fokusnya pada foto dan narasi yang sampai jelas lagi tuntas. Di luar hal tersebut, media cetak memiliki kertas ukuran besar untuk mencetak berita.
Sehingga segala yang jadi isu terbaik di hari ini, sebanyak-banyaknya diupayakan dimuat sebagai headline di halaman pertama menyesuaikan ukuran kertasnya.
Isu yang lain untuk dibahas, rubrik-rubrik dan segmentasi berita yang lain, berlanjut termuat di halaman berikutnya dan seterusnya.
Dari sana, media massa seperti koran, majalah, tabloid, menjadi bahan bacaan untuk dinikmati seperti membaca buku.
Media online, lain cerita. Kecepatan produk beritanya, baik berupa narasi, foto, atau pun video, itu diunggah ke internet agar segera jadi konsumsi netizen (pengguna media internet), adalah tujuan utama.
Media online di sisi penyebarluasan informasi, banyak memiliki kelebihan. Di antaranya laman media online yang bisa terkoneksi pada pelbagai media sosial seperti twitter, facebook, dan instagram story.
Sehingga dari situ akan mudah informasinya untuk mencapai khalayak lebih luas di mana pengguna media sosial di atas, di Indonesia, merupakan yang terbesar.
Dari macam-macam media tersebut, sebenarnya apa fungsinya?
Menurut UU Nomor 40 Tentang Pers, Pers — dalam hal ini perusahaan media atau kantor berita — memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Di samping fungsi di atas, Pers juga dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Dari pengertian itu, siapa pun bisa dan boleh membuat sebuah perusahaan media asal punya modalnya. Sesuai makna fungsi ekonomi.
Di era sebelum media online berkembang besar-besaran seperti saat ini, atau di era sebelum 2000an, bisnis media didominasi oleh media cetak. Koran, tabloid, majalah, banyak digemari pembaca.
Sedang untuk media elektronik, yang tumbuh di era 2000an, media televisi yang bersiaran lewat frekuensi publik, adalah raja media elektronik.
Dalam praktiknya, untuk mengoperasikan sebuah bisnis media, keperluan modal biaya untuk produksi bukanlah jumlah yang sedikit.
Maka tak heran, bos media kebanyakan adalah para pemodal kapital. Hanya pemodal-pemodal yang sanggup menanggung biaya produksi, hanya merekalah pemain di bisnis ini.
Di sebuah bisnis, pasti memiliki produsen dan konsumen. Di bisnis media, produsen adalah para bos media dan wartawan, sedang konsumennya adalah masyarakat.
Posisi masyarakat, di dalam sirkulasi bisnis media massa cetak dan televisi, hanyalah sebagai pembaca, yang tak ubahnya adalah konsumen sebagaimana disebut di atas.
Ketika perkembangan internet yang pesat terutama dari awal 2010an, menghasilkan entitas bisnis media baru berbentuk media online.
Dalam konteks bisnis, pemodalan media online terbilang kecil. Media online cukup butuh server dan domain yang bisa dibeli dengan harga murah untuk bisa beroperasi.
Akan tetapi, di tengah menjamurnya media online, terutama saat ini, posisi masyarakat tetaplah hanya sebagai pembaca, hanya konsumen.
Bedanya cuma pada perubahan perilaku, dari pembaca cetak ke pembaca internet, yang tak ubahnya sama juga sebagai konsumen seperti disebut di atas.
Iklim pemberitaan tetaplah dikuasai oleh pemodal besar penguasa media. Masyarakat tetaplah konsumennya saja. Tak akan cukup modal untuk bersaing dengan bos-bos media dari era sebelumnya.
Apalagi di sektor media online itu, ada server dan domain yang harganya mahal yang kemudian menjamin fitur lebih hebat.
Menjadikannya terbeli hanya oleh para bos media untuk semakin memperbesar ekspansi bisnisnya.
Modal kekuatan untuk langsung mengecilkan masyarakat yang seandainya ia mencoba membuat media online hanya dengan modal ala-ala.
Lantas apakah dampaknya buruk bila masyarakat hanya menjadi pembaca saja di sirkulasi bisnis media?
Jawabnya, ya dan tidak.
Tentu terjawab dengan tidak apabila perusahaan pers melaksanakan amanat UU Pers dengan benar yaitu fungsi media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Terjawab iya bila sebaliknya. Bila pers tidak menjalankan fungsinya.
Namun tentu butuh penelitian untuk memvalidasi apakah perusahaan media di era kini tetap berpegang teguh melaksanakan fungsi pers sesuai Undang-Undang atau tidak.
Terutama apakah pers masih berfungsi sebagai kontrol sosial atau tidak.
Terjawab iya pada media dengan ceruk pasar niche (spesifik), yang tidak mainsteam (umum).
Ceruk pasar media yang niche seperti media berbasis hobi, secara spesifik, produksinya ditujukan hanya untuk hobi tertentu. Bukan untuk pembaca pada umumnya.
Oleh karena itu, masyarakat yang menghobi, yang membaca, yang menikmati media tersebut, merupakan konsumen utama dan objek utama bisnis medianya.
Dalam kebijakan media tersebut, sungguh terlaranglah menganggap pembaca hanya sekadar pembaca selaiknya media mainstream menganggap pembaca hanya pembaca.
Sebab mereka objek utama ceruk pasar media niche, wajib terlibat membersamai media itu.
Sehingga di lingkar bisnis media niche, tak semata-mata bos media saja yang dominan.
Masyarakat yang adalah komsumen-konsumen mereka (penghobi, pembaca, penikmat tersebut), juga dibutuhkan untuk terlibat aktif dalam perjalanan sirkulasi bisnisnya.
Terlarang hukumnya jika hanya sekadar pasif membaca. Dianggap pembaca hanya membaca.
Tapi, apakah masyarakat bisa terlibat di dalam suatu produksi media?
Meminjam istilah Horses, sebuah kanal YouTube yang biasa membahas filosofi, dalam bahasannya bejudul Echo Chamber, Explained” mereka menyebut bahwa website (situs internet) di era awal penggunaannya (periode 1990-2000an) dinamai website 1.0.
Dinamai demikian karena dalam praktik publikasi konten yang diproduksinya, adalah hanya hasil dari pembuat website tersebut.
Di periode 2010an – sekarang, seiring dengan berkembangnya kemajuan teknologi informasi, kemudahan fitur-fitur internet semakin menjangkau seluruh lapisan masyarakat, muncullah era berikutnya, website 2.0.
Di mana di era ini, tidak hanya pemilik website yang bisa mengakses dan memproduksi konten-kontennya, tetapi pengguna internet yang lain juga bisa mendapatkan akses untuk memproduksi kontennya sendiri untuk website tersebut atas kemudahan-kemudahan yang diberikan teknologi internet.
Masuk ke dalam konteks media online, dengan iklim media online sekarang ini, maka bisa diinisiasi Situs Pemberitan Online 2.0.
Di mana pembaca, penikmat, pengguna internet yang mengakses suatu media online, bisa pula untuk turut aktif memproduksi, menulis, memberitakan, mengkreasikan sendiri kontennya untuk media online itu sendiri.
Sehingga dalam sirkulasi bisnis media tersebut, baik pemilik, wartawan, mau pun konsumennya, bisa saling memproduksi konten-konten yang berkaitan dengan medianya.
Menjadikan masyarakat yang dalam kontek di atas, tak hanya menjadi konsumen, tetapi juga turut jadi produsen.
Lalu, apa koneksi semua pembahasan ini dengan pecinta alam?
Wartapala Indonesia adalah media online yang lahir untuk segmentasi ceruk pasar niche, yaitu pecinta alam dan lingkungan hidup.
Dalam perjalanannya, Wartapala Indonesia bersama Organisasi Pecinta Alam (OPA) dan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) bertarung untuk melawan stigma bahwa pecinta alam sama dengan “perusak alam”.
“Perusak alam” yaitu mereka yang bikin kotor jalur pendakian dengan sampah dan tindakan merusak lainnya, yang sesekali terekam kamera dan viral lalu jadi bulan-bulanan netizen.
Diskusi di sana selalu terlaksana untuk penguatan argumentasi melawam stigma negatif tersebut. Seperti contohnya, pecinta alam adalah organisasi kader, yang di dalamnya dididik insan-insan untuk mencintai dan melestarikan lingkungan.
Contoh lain, diskursus pecinta alam itu bukan hobi, melainkan gaya hidup (lifestyle). Sehingga spektrumnya jadi lebih luas. Ibu-ibu yang menerapkan zero waste, pekerja kantoran yang mengerti bagaimana membuang sampah, sampai relawan-relawan yang aktif menggelas kegiataan mitigasi bencana, seluruhnya adalah pecinta alam.
Menariknya, lifestyle merupakan rubrik yang selalu ada di media mainstream. Namun ketermuatan berita pecinta alam bisa dikatakan minim bahkan terabai dibanding berita mode, kecantikan, atau kesehatan.
Dengan keadaan ini, berita pecinta alam, baru terbilang aktif terwadahi oleh media niche seperti Wartapala Indonesia.
Namun kabar baik, dalam praktik jurnalistiknya, Wartapala Indonesia, mengundang seluruh lapisan masyarakat untuk turut memproduksi berita berkaitan dengan pecinta alam dan lingkungan hidup serta mitigasi kebencanaan.
Terdapat pula edukasi tentang penulisan oleh bagian editorialnya, dipublikasikan online, dan dipromosikan oleh perangkat media sosialnya. Menerapkan skema Situs Pemberitaan Online 2.0.
Yang selanjutnya untuk menjadi simpulan pembahasan tulisan ini. Karena sudah saatnya pecinta alam mulai memproduksi beritanya sendiri dan tidak menunggu media mainstream datang meliput. (da).
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)