Caption foto : Ilustrasi, setelah muncul stigma negatif terhadap pencinta alam dan menjadi narasi yang dominan di kalangan masyarakat, banyak bermunculan istilah-istilah baru seperti penikmat alam, penggiat alam, pecandu alam, dan sebagainya. (WARTAPALA INDONESIA / Wandi Wahyudi)
Oleh : Wandi Wahyudi, WI 200223
Anggota Luar Biasa (ALB) Mata Alam Unfari Bandung.
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Berdasarkan realitasnya, istilah pencinta alam sering menuai perdebatan di kalangan masyarakat yang secara sadar memperhatikan perilaku orang-orang yang mengatasnamakan pencinta alam. Karena masyarakat justru melihat kontradiksi antara istilah yang dianggap baik itu, dengan realitas perilakunya.
Sederhananya, banyak orang yang tergabung dalam institusi sosial seperti komunitas pencinta alam — dan mengaku pencinta alam — tapi justru sikap, perilaku, dan tindakannya cenderung merusak alam atau lingkungan.
Pandangan negatif terhadap seseorang/kelompok pencinta alam, merupakan stigma masyarakat yang terjadi secara alamiah.
Stigma tersebut muncul dari proses sosial di mana individu atau kelompok diberi label negatif dan dikucilkan karena atribut-atribut tertentu, yang dianggap tidak sesuai dengan norma atau nilai masyarakat.
Erving Goffman, dalam bukunya “Stigma : Notes On The Management Of Spoiled Identity” (1963), menggambarkan stigma sebagai suatu atribut yang menunjukkan bahwa individu tersebut adalah “orang yang cacat” dalam konteks sosial tertentu, yang kemudian menyebabkan mereka mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Di antara perlakuan diskriminatif tersebut ialah dikucilkan, dijauhi, dan dicap “buruk”.
Sebagai contoh sederhana, seorang Mapala membuang sampah sembarangan. Bersamaan dengan itu, ada mahasiswa lain yang menyaksikan secara langsung aksi tersebut. Dengan begitu, si mahasiswa menilai, “Katanya Mapala. Tapi buang sampah sembarangan”.
Buang sampah sembarangan merupakan tindakan yang sudah keluar dari norma umum yang mengatakan, “Buang sampah harus pada tempatnya”. Kebetulan yang melanggar norma tersebut adalah seorang Mapala, yang secara atrbibusi seharusnya mencintai alam.
Selain tindakannya bertentangan dengan norma umum, juga bertentangan dengan dirinya sendiri, dan atribut yang melekat padanya sebagai seorang Mapala. Sehingga stigma yang muncul tidak hanya pada aspek personalnya sebagai individu, tetapi juga terhadap institusinya yaitu Mapala. Begitu pun yang terjadi di masyarakat. Tentu dengan kasus yang lebih banyak dan beragam.
Setelah stigma negatif tersebut menjadi narasi yang dominan di kalangan masyarakat, banyak bermunculan istilah-istilah baru seperti penikmat alam, penggiat alam, pecandu alam, dan sebagainya.
Istilah-istilah tersebut muncul sebagai negasi terhadap istilah pencinta alam. Mereka menganggap bahwa mengatasnamakan “pencinta alam” itu sesuatu yang berat.
Penggunaan istilah lain itu, juga kerap dijadikan semacam satire, atau sindiran secara halus terhadap istilah pencinta alam.
Contoh kalimat satire tersebut, misal : “Maaf, saya bukan pencinta alam. Saya cuman penikmat alam”.
Secara implisit, kalimat diatas merupakan sebuah negasi terhadap istilah “pencinta alam”. Selain karena grammer “pencinta alam” itu rentan terhadap stigma negatif masyarakat, juga karena “pencinta alam” mengandung makna yang cukup berat untuk diaktualisasikan.
Asumsi sederhananya, barang siapa yang mengaku atau mengatas namakan sebagai “pencinta alam” (individu/kelompok), maka secara tidak langsung ia telah mengemban tanggung jawab besar secara moral, untuk membuktikan kecintaannya terhadap alam.
Berdasarkan hal itu, orang yang enggan memikul beban besar (meskipun mulia) itu kemudian mencari alternatif lain. Dan salah satu alternatifnya adalah dengan membuat istilah baru, satu paket dengan definisi atau tafsirnya.
Berdasarkan teori psikologinya Leon Festinger, fenomena tersebut dapat kategorikan sebagai tindakan disosiasi kognitif. Suatu tindakan di mana seseorang mengalami konflik antara tindakan dengan nilai yang mereka yakini, sehingga mereka menggunakan strategi disosiasi kognitif untuk mengurangi ketegangan psikologis. Jadi, mereka menghindari istilah “pencinta alam” untuk menghindari konflik dengan nilai yang terkandung di dalamnya.
Setiap orang atau kelompok memiliki kebebasan untuk menggunakan istilah apa pun, berikut definisi dan maknanya. Hal ini dijamin undang-undang sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Akan tetapi, dalam konteks ini, terlepas dari perbedaan istilah, pada hakikatnya tetap bergantung pada nilai yang sama. Bahwa “cinta” terhadap alam adalah nilai universal yang berlaku pada seluruh umat manusia di muka bumi. Terlepas bagaimana bentuk pengejawantahannya.
Dan terkait stigma negatif terhadap “pencinta alam”, dapat dipandang sebagai kritik alamiah yang harus disikapi secara kritis oleh siapa pun secara individu, maupun kelompok. Khususnya Organisasi Pencinta Alam (OPA), dan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) yang memiliki sistem pendidikan dan kaderisasi. (WW).
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)