Tragedi di Carstensz Pyramid: Standar Keamanan Harus Ditingkatkan

Oleh : Laksmi Prasvita
Ketua Zerosixers Trekking Club, Klub Pendaki Gunung Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI


Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF –
Pendakian Carstensz Pyramid kembali memakan korban. Dalam tragedi terbaru, pendaki yang dikenal sebagai Mamak Pendaki (Lilie Wijayati) dan Elsa Laksono kehilangan nyawa di jalur menuju puncak. Kejadian ini menambah daftar panjang insiden fatal di gunung tertinggi Indonesia. Dalam lima bulan terakhir saja, sudah beberapa pendaki meregang nyawa. Satu korban pun sudah terlalu banyak, karena itu berarti kehilangan nyawa manusia.

Tragedi ini seharusnya menjadi peringatan bagi seluruh komunitas pendakian—operator, guide gunung, taman nasional, dan pemerintah—untuk melakukan investigasi dan evaluasi menyeluruh. Keselamatan harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar mengejar rekor keberhasilan atau ambisi menaklukkan puncak.

Summit Fever
Keputusan untuk mendaki atau tidak seharusnya didasarkan pada faktor keselamatan, bukan obsesi mencapai 100% success rate. Namun, di banyak ekspedisi, tekanan untuk selalu berhasil membuat banyak pihak mengabaikan tanda-tanda bahaya.

Banyak kecelakaan terjadi karena faktor cuaca yang diabaikan. Angin kencang, badai, atau hujan deras bisa meningkatkan risiko hipotermia, longsor, atau kehilangan jalur. Carstensz sendiri dikenal dengan pola cuacanya yang tidak stabil, di mana hujan biasanya turun sekitar pukul 13.00-14.00. Oleh karena itu, ada kesepakatan umum bahwa pendakian dilakukan sejak dini hari agar bisa mencapai puncak antara pukul 09.00-12.00 dan mulai turun sebelum pukul 14.00. Jika melewati batas ini, summit atau tidak summit, semua pendaki harus turun.

Namun, dalam banyak kasus, aturan ini sering diabaikan. Guide dan operator harus lebih tegas dalam menerapkan standar keselamatan ini. Guide gunung yang baik bukanlah mereka yang selalu membawa kliennya ke puncak dengan statistik 100% summit rate, tetapi mereka yang bisa berkata “tidak” ketika kondisi tidak aman.

Pelajaran dari Pendakian K2 di Musim Dingin
Pendekatan berbasis analisis cuaca yang tepat telah terbukti menjadi faktor penentu sukses atau gagalnya ekspedisi. Salah satu contoh terbaik adalah pendakian K2 di musim dingin tahun 2021 oleh tim Nepal yang dipimpin oleh Nirmal Purja dan Mingma Gyalje Sherpa. Mereka menjadi tim pertama yang berhasil mencapai puncak K2 di musim dingin — sebuah prestasi yang sebelumnya dianggap hampir mustahil.

Keberhasilan mereka bukan hanya karena kekuatan fisik, tetapi karena strategi matang dalam menganalisis cuaca. Mereka menggunakan data dari tiga sumber prakiraan cuaca independen untuk menentukan jendela pendakian terbaik. Dengan perhitungan yang akurat, mereka memutuskan kapan harus bergerak ke puncak dan kapan harus menunggu.

Sebaliknya, pada saat yang sama, dua pendaki lain — John Snorri dari Islandia dan Ali Sadpara dari Pakistan, bersama pemandu mereka — kehilangan nyawa karena naik tanpa perhitungan yang matang terhadap kondisi cuaca ekstrem K2. Perbedaan ini menunjukkan bahwa keberhasilan dan keselamatan dalam pendakian bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi juga keputusan yang didasarkan pada data dan pengalaman.

Helikopter ke Lembah Kuning: Mempermudah, tapi Berisiko
Salah satu kebiasaan dalam pendakian Carstensz adalah menggunakan helikopter ke Lembah Kuning. Ini dilakukan karena alasan keamanan dan efisiensi waktu, menghindari jalur darat yang berisiko. Namun, ada efek samping yang sering diabaikan: risiko Acute Mountain Sickness (AMS).

Pendaki yang langsung diterbangkan ke ketinggian sekitar 4.200 mdpl tidak punya waktu cukup untuk aklimatisasi. AMS bisa terjadi dalam bentuk ringan seperti sakit kepala, mual, atau lemas, tapi juga bisa berkembang menjadi edema paru atau edema otak yang fatal jika pendaki dipaksakan naik tanpa adaptasi yang cukup.

Banyak pendaki mungkin tidak menyadari gejala AMS karena euforia mencapai puncak atau karena tekanan untuk menyelesaikan pendakian. Inilah yang membuat keputusan pendakian semakin berisiko, terutama jika guide dan operator tidak cukup tegas dalam mengevaluasi kondisi pendaki sebelum melanjutkan ke puncak.

Faktor ini harus diperhitungkan oleh semua pihak. Idealnya, pendaki yang diterbangkan dengan helikopter harus diberikan waktu tambahan untuk aklimatisasi sebelum memulai pendakian. Jika ada tanda-tanda AMS, maka keputusan untuk tidak melanjutkan harus diambil tanpa kompromi.

Peran Guide, Operator, dan Pemerintah
Dalam kondisi alam yang ekstrem seperti Carstensz, semua pihak harus mengambil tanggung jawab untuk meningkatkan keselamatan pendakian:

  1. Pendaki harus mengenali batas kemampuan mereka sendiri dan tidak memaksakan diri hanya karena FOMO atau ambisi pribadi.
  2. Guide gunung harus memiliki sertifikasi yang mumpuni. Di Indonesia, guide tersertifikasi oleh Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI). Mereka wajib memahami risiko cuaca, AMS, dan bertindak sebagai pemimpin di lapangan yang berani membuat keputusan sulit demi keselamatan tim.
  3. Operator pendakian harus memahami bahwa jika cuaca tidak memungkinkan, mereka harus siap mengirim logistik tambahan untuk menunggu cuaca membaik, bukan justru memaksakan pendakian.
  4. Taman Nasional Lorentz, yang mengelola Carstensz, harus lebih aktif memberikan peringatan ketika kondisi cuaca tidak aman dan mempertimbangkan aturan lebih ketat terkait izin pendakian saat cuaca buruk.
  5. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas pendakian yang lebih aman, termasuk tempat perlindungan darurat (shelter) di jalur pendakian. Carstensz adalah bagian dari Seven Summits Dunia, tetapi fasilitasnya masih minim dibandingkan dengan gunung-gunung lain di daftar tersebut.

Keselamatan di Atas Segalanya
Tragedi di Carstensz seharusnya menjadi peringatan keras bagi semua pihak. Pendakian adalah perjalanan penuh risiko, dan keselamatan harus selalu menjadi prioritas utama.

Gunung akan selalu ada, tetapi nyawa tidak bisa kembali. Tidak ada puncak yang layak dibayar dengan nyawa. Sudah waktunya bagi seluruh komunitas pendakian untuk lebih bertanggung jawab dan memastikan bahwa setiap pendakian dilakukan dengan standar keselamatan yang lebih ketat. (lp).

Foto || Cikal Bagus Pribadi Syamsi
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.