Yayasan Kehati Desak Pemimpin Indonesia Utamakan Konservasi Lahan Basah, Ini Alasannya

Caption foto : Masyarakat menjual makanan khas laut yang didapat dari hasil tangkapan nelayan di sekitar Ekosistem Mangrove di Desa Kaliwlingi Kabupaten Brebes Jawa Tengah. (WARTAPALA INDONESIA / Yayasan Kehati)

WartapalaIndonesia.com, JAKARTA – Hari Lahan Basah Sedunia, 2 Februari 2024 ini, kembali diperingati. Mengangkat tema “Lahan Basah dan Kesejahteraan Manusia” (Wetlands and Human Welbeing), peringatan Hari Lahan Basah Sedunia 2024 mengingatkan kita betapa krusialnya lahan basah bagi kesejahteraan manusia, baik ekonomi, kesehatan fisik, mental, maupun keamanan terhadap bencana.

Dengan manfaat yang begitu besar dan luas lahan basah yang diperkirakan 20,6 juta hektar, atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan, Indonesia berkepentingan besar untuk menjaga kelestarian lahan basah. Terutama, seiring kondisi banyak lahan basah di negeri ini yang kondisinya mengkhawatirkan oleh karena berbagai faktor, terutama alih fungsi lahan.

Direktur Program Yayasan Kehati, Rony Megawanto, Jumat (2/2/2024), mengungkap, keberadaan lahan basah sangat penting secara ekologis, hidrologis, ekonomi, maupun pengurangan dampak bencana hidrometeorologis di Indonesia yang dari waktu ke waktu intensitasnya cenderung meningkat, terutama seiring meningkatnya dampak perubahan iklim.

Oleh karena itu, melalui dalam peringatan Hari Lahan Basah Sedunia 2024 ini, Yayasan Kehati mendesak semua pihak terkait, terutama calon pemimpin Indonesia ke depan untuk lebih mengarusutamakan konservasi lahan basah di negeri ini.

“Sebagai pemegang tampuk kepemimpinan dan penentu kebijakan Indonesia ke depan, para calon pemimpin negara, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif yang saat ini berkontestasi, perlu memasukkan konservasi lahan basah sebagai bagian dari program mereka ke depan,” ujar Rony.

Kebijakan perlindungan, pengelolaan, dan pemanfaatan lahan basah yang lestari, lanjut Rony tidak hanya akan membantu pembangunan ekonomi berkelanjutan, tetapi juga akan menjadi penopang kuat untuk mencapai tujuan iklim Indonesia, yaitu berkontribusi megurangi emisi gas rumah kaca pada akhir dekade ini.

“Tema Hari Lahan Basah Sedunia 2024 sejalan dengan indikator kesuksesan yang kami syaratkan, bahwa program konservasi tidak hanya memberikan dampak ekologi, namun juga harus berdampak secara ekonomi,” kata Rony.

Berikut beberapa manfaat lahan basah :

Sebagai Mata Pencaharian

Lahan basah merupakan penggerak ekonomi lokal. Pada umumnya lahan basah dikelola menjadi areal pertanian ataupun perkebunan. Sebagian besar lahan basah dimanfaatkan masyarakat untuk budi daya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, padi, jagung, dan tanaman hortikultura buah (Masganti et al. 2014). Sekitar 9,53 juta lahan basah di Indonesia berpotensi untuk lahan pertanian, dengan rincian 6 juta ha berpotensi untuk tanaman pangan.

Sebagai Sumber Air Bersih

Kebutuhan air di Indonesia adalah sebanyak 175 miliar kubik per tahun. Jumlah yang dapat dipenuhi dari ketersediaan air yang mencapai 690 miliar kubik per tahun. Kalimantan dan Papua yang dihuni oleh 13% populasi di Indonesia menyediakan sekitar 70% sumber daya air. Papua merupakan provinsi dengan area gambut terluas di Indonesia dengan besaran mencapai 6,3 juta hektar (ha), disusul oleh Kalimantan Tengah dengan luasan mencapai 2,69 juta hektar. Di Pulau Jawa, Sungai Citarum dan Sungai Ciliwung merupakan 2 sumber air minum terbesar. Sayangnya, 2 sungai ini juga menyandang predikat sebagai 2 sungai paling tercemar di Indonesia.

Sebagai Sumber Makanan Yang melimpah

Luasan lahan basah di Indonesia menawarkan potensi sumber pangan yang besar. Lahan basah dapat dikelola menjadi areal perikanan, pertanian ataupun perkebunan. Misal, ekosistem dataran banjir sangat penting bagi kegiatan perikanan darat. Lahan rawa pasang surut juga sudah lama dikenal sebagai lahan budi daya pertanian yang potensial untuk dikembangkan

sebagai penghasil pangan (tanaman padi, palawija,sayur mayur, buah-buahan. Sejak lama juga masyarakat/petani rawa mengembangkan berbagai tanaman budi daya, khususnya tanaman pangan seperti padi, palawija, ubi, talas, sagu dan lainnya.

Mitigasi Bencana

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 90 persen bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi atau bencana yang berhubungan dengan aktivitas cuaca dan air. Fakta-fakta di lapangan membuktikan bahwa lahan basah dengan kondisi yang masih baik dapat mencegah bencana seperti kekeringan, banjir, kebakaran hutan, dan tsunami. Ekosistem mangrove dengan ketebalan 200 meter serta kerapatan 60 batang dan diameter 15 cm dapat meredam energi gelombang tsunami hingga 50%. Lahan basah daratan setiap hektarnya mampu menyerap 3,7 juta gallon air banjir, dengan demikian lahan basah mengurangi banjir dan meredakan kekeringan.

Sebagai Penyimpan Karbon

Lahan gambut menyimpan karbon dengan jumlah yang sangat besar. Diperkirakan karbon yang tersimpan di dalam lahan gambut di Indonesia sebesar 44,5 Gt, dengan luasan lahan gambut sebesar 20,74 juta ha (Rieley et al .2008).

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021 menyatakan bahwa total luas ekosistem mangrove Indonesia mencapai 3,36 juta hektar atau setara dengan 20,37 persen dari total luas mangrove dunia. Pada tahun 2015, Penelitian Murdiyarso dan kawan-kawan menyebutkan bahwa Mangrove Indonesia mampu menyimpan 3,14 miliar ton karbon atau sepertiga dari stok karbon pesisir global. Jumlah itu belum termasuk ekosistem padang lamun, makroalga, hingga mikroalga.

Sumber Keanekaragaman Hayati

Lahan basah merupakan wilayah dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi seperti hutan rawa, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput, dan lain-lain.

Belum lagi ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman hayatinya sendiri yang juga sangat tinggi, yaitu sebanyak 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Sekitar 47 jenis diantaranya merupakan tumbuhan spesifik hutan mangrove. Terkait satwa, Setidaknya terdapat 200 spesies burung yang bergantung pada ekosistem mangrove, atau sekitar 13% dari seluruh burung yang ada di Indonesia. (FAI)

Kontributor || Fadlik Al Iman
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB

Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)

bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.