Wartapalaindonesia.com, EDUKASI – Artikel ini merupakan isi bab ketiga dari buku “Cara Menjadi Relawan Garis Depan di Lokasi Gempa”. Bab tiga berjudul Kegiatan kemanusiaan di Desa Focus Area. Berisi 14 artikel (nomor 14 hingga 28).
Buku ini ditulis oleh Ahyar Stone. (Pemimpin Redaksi Wartapala. Anggota Dewan Pengarah SARMMI). Terbit pertama Januari 2024. Penerbit Jasmine Solo, Jawa Tengah. Buku ini diterbitkan atas kerja sama Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Wartapala, SARMMI. Selamat membaca. (Redaksi).
a. Perbedaan Trauma Healing dengan Psikososial
Psikososial merupakan salah satu kebutuhan dasar korban bencana pada fase tanggap darurat. UU Nomor 24 Tahun 2007. Tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 53 menyebutkan : Pemenuhan kebutuhan dasar meliputi bantuan penyediaan kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial, penampungan dan tempat hunian.
Di lokasi gempa, “psikososial” dan “trauma healing” adalah dua istilah yang akrab di kalangan relawan. Kendati demikian masih ada relawan yang belum paham makna dari masing-masing istilah tersebut. Indikasinya, di lapangan masih sering terjadi miskonsepsi antara psikososial dan trauma healing.
Relawan yang mendatangi lokasi gempa pada hari-hari awal fase tanggap darurat — misalnya hari kedua atau kelima — untuk memberikan bantuan psikologis kepada anak seperti menyelenggarakan permainan, sering menyebutnya dengan trauma healing. Padahal istilah ini kurang tepat.
Mengutip Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi empat dan Pedoman Penyakit dan Gangguan Jiwa Kemenkes yang dimuat situs akutemanmu.id, Post Traumatic Stress Disorder pada korban bencana muncul setelah enam bulan. Di bawah enam bulan yang muncul adalah Acute Stress Disorder. Jadi korban bencana pada fase tanggap darurat belum mengalami trauma.
Bantuan psikologis relawan tersebut, tepat kalau disebut dukungan psikososial atau pertolongan psikologis awal, Psychological First Aid (PFA).
Tidak tepat disebut trauma healing karena pertama, penyintas belum bisa disebut trauma. Kedua, trauma healing hanya bisa dilakukan oleh professional seperti psikolog, konselor atau psikiater.
Berbeda dengan psikososial atau PFA yang bisa dilakukan oleh siapa saja selama orang tersebut memahami prinsip-prinsip PFA, dan pernah mengikuti pelatihan bersama tenaga profesional.
Senada dengan itu, hasil lokakarya di tingkat Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia, menyepakati tidak memakai trauma healing karena seakan-akan para penyintas memiliki trauma dan merasa tidak nyaman.
Istilah trauma healing diganti dukungan psikososial karena trauma healing sudah spesifik untuk memulihkan trauma. Padahal tidak semua penyintas mengalami trauma.
Penyintas merupakan padanan kata survivor dari bahasa Inggris yang berarti “orang yang selamat”. Kata penyintas muncul pertama kali sekitar tahun 2005. Kata tersebut dipopulerkan oleh para relawan kemanusiaan saat terjadi bencana.
b. Anak-anak Juga Memiliki Persoalan
Sama halnya dengan kelompok dewasa, anak-anak korban gempa juga memiliki persoalan sendiri yang dapat berdampak pada psikologis mereka, misalnya stress. Berada pada situasi yang tidak menentu juga menimbulkan perasaaan tidak nyaman yang berdampak kurang baik pada perkembangan emosinya.
Pada situasi normal, anak-anak di desa focus area, biasa bermain kejar-kejaran di jalan tak beraspal yang membelah desa mereka. Bermain mobil-mobilan yang mereka buat dari pelepah pisang. Atau permainan tradisional lain khas desa terpencil dan terisolir.
Suasana riang mereka itu, mendadak berkurang tatkala desa mereka kena gempa.
Meski demikian, semangat bermain mereka tetap ada. Hanya saja lantaran sekolah libur dan bosan di pengungsian, serta kurang mendapat pengawasan, anak-anak kerap bermain di dekat rumah yang nyaris roboh dan keluyuran di area-area yang tergolong berbahaya untuk mereka.
Tetapi tatkala ada getaran kecil — yang mereka duga gempa susulan — mereka berlarian meninggalkan arena bermain. Pemandangan serupa terlihat pula ketika hujan deras turun mendadak, mereka berlari takut ada longsor.
Tentu tidak semua anak menunjukan reaksi seperti itu. Ada yang reaksinya berbeda. Atau malah tidak bereaksi sama sekali, alias diam.
Mengutip Buku Panduan Dukungan Psikososial bagi Anak Korban Bencana Alam. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ketika menghadapi situasi yang berbahaya, setiap manusia — termasuk anak-anak — akan mengeluarkan reaksi naluriah berupa tindakan fight (menghadapi), flight (menghindari), atau freeze (terdiam).
Berbagai reaksi itu merupakan respon yang normal sebagai upaya manusia untuk menyelamatkan diri dari bahaya yang mengancamnya. Reaksi-reaksi ini seringkali masih tampak setelah bahaya yang dihadapi sudah berlalu.
Umum terjadi setelah melewati bencana, para penyintas akan segera berespon ketika ia mengalami kejadian yang dipersepsikan mirip dengan episode yang terjadi saat bencana.
c. Tujuan Psikososial Anak
Anak-anak adalah kelompok rentan. Mereka perlu diprioritaskan dan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda dengan kelompok dewasa. Salah satu bentuk kebutuhannya adalah psikososial khusus anak.
Tujuan menyelenggarakan psikososisal anak adalah untuk mengurangi beban emosi mereka. Melindungi dan meningkatkan kesejahteraan psikososial anak, termasuk terhindar dari kekerasan dan penelantaran. Menangani masalah atau gangguan kesehatan mental akibat bencana pada anak dan keluarganya.
Juga untuk mengatasi rasa bosan mereka selama di pengungsian. Untuk menjaga hubungan pertemanan antar anak. Mencegah anak-anak bermain di sekitar puing rumah. Mencegah anak-anak keluyuran di tempat berbahaya.
Tujuan lain dari dukungan psikososial seperti yang dimuat di Buku Panduan Dukungan Psikososial Bagi Anak Korban Bencana Alam terbutan Kementerian PPPA. Adalah meningkatkan resiliensi (ketangguhan) dari masing-masing anak untuk dapat menghadapi situasi saat ini ketika bencana dan masa depan.
Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bangkit meski telah menghadapi berbagai permasalahan ataupun situasi yang tidak menyenangkan.
d. Ciri-ciri Fun Game Untuk Psikososial Anak
Psikososial khusus anak dapat dilakukan melalui kegiatan berbentuk edukasi dan kegiatan rekreasional.
Kegiatan berbentuk edukasi dapat melalui sekolah darurat. Sedangkan rekreasional melalui kegiatan yang bersifat menyenangankan bagi anak. Misalnya bermain di permainan yang menyenangkan atau fun game.
Ciri fun game yang tepat untuk psikososial anak adalah pertama : melibatkan partisipasi aktif tiap anak. Kedua : mudah dilakukan oleh anak-anak. Ketiga : tidak menguras pikiran. Keempat : menimbulkan suasana gembira. Kelima : membangun kebersamaan.
Bentuk permainan dapat melalui permainan tradisional yang biasa dimainkan oleh anak di desa focua area. Bisa juga dengan permainan lain. Misalnya bermain lingkaran sambil menyanyi dan sebagainya. Agar anak-anak tidak bosan, setiap hari bentuk permainan diubah.
Untuk menghindari kekurangan stok permainan, relawan garis depan dapat berkreasi dengan cara satu bentuk permainan dikombinasikan dengan permainan lain, sehingga membentuk permainan baru yang menyenangkan.
Melalui fun game, anak-anak memiliki wadah untuk mengekspresikan dirinya secara bebas. Pada permainan yang terstruktur, anak dapat belajar mengenai nilai-nilai yang dapat diperoleh dari kegiatan permainan yang mereka lakukan.
e. Relawan Sebagai Role Model
Semua permainan dikordinir oleh relawan garis depan. Jika fun game memerlukan peralatan, ini disediakan pula oleh relawan garis depan. Untuk menyemarakkan suasana, anak-anak yang ikut psikososial diberi makanan ringan, teh gelas dan sebagainya.
Relawan garis depan yang menyelenggarakan psikososial anak, wajib bersikap ramah kepada anak. Menyayangi anak dengan tulus dan tidak dibuat-buat. Senantiasa memberi kesempatan anak berpartisipasi. Menghargai tiap partisipasi sehingga anak tidak malu saat mengikuti fun game.
Kemudian mengenal perilaku anak sehari-hari seperti kebiasaan, rutinitas, pergaulan anak. Peka pada kondisi, kebutuhan dan memahamai pikiran, perasaan serta sudut pandang anak dan sebagainya.
Relawan garis depan yang menjadi penyelenggara atau fasilitator psikososial anak harus demikian, karena dia akan menjadi role model, yaitu figur yang dijadikan contoh oleh anak dalam bersikap dan bertingkah laku.
f. Pelaksanaan Psikososial
Tempat melaksanakan psikososial anak yang paling ideal adalah di area terbuka. Misalnya lapangan dan halaman posko kemanusiaan.
Waktu pelaksanaan bisa pagi hari, siang atau sore. Tetapi tak perlu lama dan tak perlu dilaksanakan tiap hari.
Jika kegiatan dilakukan pagi hari dapat memilih fun game yang mendorong proses berpikir ringan atau menyerap energi.
Jika kegiatan dilakukan pada siang hari, pilih fun game yang menambah semangat, melibatkan banyak gerakan dan menghilangkan kepenatan.
Sedangkan jika psikososial dilakukan pada sore hari dapat dipilih fun game yang tak terlalu banyak berpikir, serta dapat membuat suasana santai.
Bila di desa focus area ada pula sekolah darurat dan TPA darurat, jadwal pelaksanaan psikososial anak disesuaikan dengan dua kegiatan ini. Jangan terjadi tabrakan jadwal. Sebab sekolah darurat dan TPA darurat juga bentuk lain dari psikososial anak.
Membiarkan anak-anak desa focus area bermain sambil membantu relawan garis depan di posko kemanusiaan, juga berfungsi sebagai psikososial anak.
Inilah sebabnya posko kemanusiaan relawan garis depan harus ramah anak. Makin banyak bentuk psikososial di desa focus area, makin bagus untuk mendukung psikososial anak.
Namun penting untuk diperhatikan dalam situasi gempa, banyak relawan yang melakukan kegiatan bersama anak. Pastikan agar anak tidak menjadi obyek kegiatan yang berkali-kali. (as).
Foto || SARMMI (SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia)
Editor || Danang Arganata, WI 200050
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di wartapala.redaksi@gmail.com || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)